20 episodes

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Truth Daily Enlightenment Erastus Sabdono

    • Religion & Spirituality
    • 4.7 • 6 Ratings

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

    Berpikir Dewasa

    Berpikir Dewasa

    Berpikir dewasa artinya memandang Tuhan dan mengusahakan bagaimana kita membalas kebaikan Tuhan dan meresponi kasih Tuhan. Bukan hanya mengumandangkan kasih-Nya, mengucap syukur, mengelu-elukan Yesus yang lahir di kota Betlehem, mengagung-agungkan kebaikan Allah. Sudah tentu itu tidak salah. Tetapi ada satu langkah lagi yang mestinya kita lakukan sebagai orang percaya—yang mestinya harus akil balik, harus dewasa—yaitu meneruskan kasih kepada sesama dengan kasih seperti yang Allah berikan kepada dunia ini. Ini tidak berlebihan, sebab mengasihi sesama bukan hanya dikenal oleh orang-orang Kristen. Agama-agama di dunia juga mengajarkan kasih, belas kasihan, kebaikan dan kemurahan terhadap sesama. 

    Apakah kekristenan hanya memiliki kasih seperti itu? Jika hanya demikian, maka tidak perlu Yesus datang ke dunia. Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, artinya Allah mau mengembalikan kita menjadi model manusia seperti yang Dia inginkan, model manusia sesuai yang Allah inginkan. Dengan kualitas emosi, perasaan yang di dalamnya juga kasih, sesuai dengan standar manusia yang dikembalikan ke rancangan Allah semula tersebut. Kiranya ini bukan hanya menjadi pengetahuan yang ada di dalam pikiran kita sehingga kita berfantasi teologi, berfantasi ajaran. Namun, kita benar-benar mengalami apa artinya menjadi manusia yang dibarui, di mana semakin hari kita semakin menjadi manusia sesuai dengan rancangan Allah semula tersebut dan kita memiliki gerak emosi, gerak perasaan dan seluruh tindakan sesuai dengan standar manusia baru, sesuai dengan standar manusia yang dirancang Allah tersebut. 

    Jadi jangan kita merasa bahwa kekristenan kita sudah selesai sampai di sini. Kita harus menjadi Kristen yang benar-benar memperagakan kehidupan anak-anak Allah dengan seluruh geraknya, gerak hidup anak-anak Allah sesuai dengan standar manusia rancangan Allah semula. Sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah menjadi umat pilihan, kita telah ditentukan standarnya (Ef. 1:4-5). Hal ini bukan sekadar sebutan kosong, melainkan mengandung gelar anak-anak Allah dengan sifat-sifat yang harus dipenuhi sebagai anak-anak Allah. Maka, jika kita benar-benar menyandang gelar sebagai anak-anak Allah dan memenuhi sifat anak-anak Allah di dalam hidup kita, pasti gerak hidup kita adalah gerak hidup anak-anak Allah. Dan itulah yang memuaskan hati Allah. 

    Jadi kalau Alkitab mengatakan berulang-ulang Yesus menjadi yang sulung, secara implisit atau di balik kalimat tersebut ada tuntutan bahwa kita harus mengikuti jejak-Nya, jejak Anak Allah. Seperti Yesus menyandang gelar Anak Allah dan layak menyandang gelar itu dengan mengenakan sifat-sifat Anak Allah yang ada di dalam-Nya, kita juga menyandang gelar anak-anak Allah, layak menyandang gelar itu dengan sifat-sifatnya, dan salah satu sifatnya adalah mengasihi sesama. Kalau kita mengenakan sifat yang sama, maka kita juga akan memandang orang dan tidak menginginkan seorang pun binasa. Tidak cukup kita mengumandangkan kasih Allah, tetapi kita juga harus memiliki tindakan kasih yang nyata.

    Seperti kasih Allah kepada manusia, demikian pula kita meneruskan kasih ini kepada sesama. Dan Allah sungguh menghendaki ini berlaku di dalam hidup kita. Sejujurnya, sering kali kita tidak memenuhi hal ini dengan baik. Sebab banyak orang yang fokusnya pada diri sendiri, bukan kepada orang lain. Jadi kita tidak heran kalau ada orang Kristen lebih bengis dari orang non-Kristen; lebih tidak berbelas kasihan terhadap sesama dibanding orang-orang non-Kristen. Bagaimana dengan kita? Kasih yang kita miliki mestinya lebih dari itu, kasih Allah yang ditaruh di dalam diri kita. “Seperti Bapa mengutus Aku,” kata Tuhan Yesus. “Aku mengutus kamu.” Bukankah ini sama dengan, “Seperti Aku menerima mandat dari Bapa untuk mengasihi kamu, maka dengan kasih yang sama, kamu teruskan ini untuk orang lain.” Dan itu satu hal yang pasti memuaskan hati Bapa di surga. 

    Jangan sampai waktu menutup mata,

    Mental Bangsawan

    Mental Bangsawan

    Satu hal yang mestinya sungguh-sungguh membahagiakan kita, yaitu kesadaran bahwa kita adalah anggota keluarga Kerajaan Allah. Kita adalah bangsawan surgawi. Ini bukan omong kosong. Ini merupakan maksud keselamatan diberikan. Soal sakit menjadi sembuh, miskin menjadi kaya secara materi, yang tidak memiliki teman hidup lalu mendapat jodoh, yang mandul mendapat anak, yang menganggur dapat pekerjaan, yang di tempat kerja dari bawahan menjadi atasan, itu semua sebenarnya bukan masalah prinsip; memang itu masalah, tapi bukan masalah prinsip. Sebab, apa pun masalah yang kita hadapi, itu tidak ada artinya dibanding dengan status kehormatan kita sebagai bangsawan surgawi.

    Dan tentu, penghayatan ini tidak hanya di gereja, namun harus dapat menjadi seperti garis panjang yang kita terus renungkan, “Aku adalah seorang bangsawan Kerajaan.” Kalau kita menganggap ini adalah omong kosong, sebenarnya kita tidak menghargai Tuhan Yesus yang berjuang dan berkurban agar kita memiliki status ini. Selanjutnya, Roh Kudus akan menuntun kita (bagi yang mau dituntun) agar kita bukan hanya memiliki status, melainkan juga keadaan dan mental bangsawan surgawi. Bukan hanya berstatus anak dari bapak anu, tapi juga berkeadaan seperti bapaknya. Inilah perjuangan yang harus kita miliki; bukan berkeadaan statis, melainkan progresif. 

    Firman Tuhan di 1 Petrus 2:9 mengatakan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih …” Kita adalah umat pilihan, namun jangan karena sering menyebut kalimat ini, kita gagal menghayatinya. Kita harus menghargainya. Tidak semua orang terpilih. Jadi, kalau ada keluarga atau tetangga kita yang bukan orang terpilih, mereka tidak dituntut untuk menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Kita tidak bisa mengenakan ukuran baju kita ke badan dia, sulit bicara tentang langit baru dan bumi yang baru. Namun, yang menyedihkan adalah kalau ada orang Kristen yang asing terhadap hal langit baru bumi baru. 

    Dengan kita mensyukuri dan menghayati status sebagai umat pilhan dengan benar, kita bisa menghargai pilihan itu. Dengan menghargai pilihan tersebut, kita bisa menjalani hidup sebagai anak-anak Allah. Kalau sudah gagal menghayati, bisa gagal paham juga, nanti. Bicara mengaku dirinya anak-anak Allah, tapi tidak menganggap bahwa pilihan menjadi anak Allah itu sesuatu yang sangat berharga. Kita adalah orang-orang berdosa, tetapi Tuhan sebagai bangsawan atau Raja Surgawi, mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Ironis, banyak pendeta tidak menghayati dengan benar. Dan karena sudah biasa bicara soal menjadi anak-anak Allah, sehingga tidak memandang hal menjadi anak-anak Allah itu berharga. Masalahnya, jemaat ikut ketularan buruk. Makanya Tuhan mengingatkan kita lagi, betapa berharganya menjadi anak-anak Allah.

    Maka, jangan kita gagal menghayatinya. Menjadi anak Allah itu luar biasa. Karena Bapa di surga adalah sempurna, maka anak-anak-Nya juga harus sempurna. Kita harus berlatih tidak melakukan kesalahan. Biar kita miskin secara materi, tidak berpendidikan tinggi, penampilan juga tidak elok, tapi kita adalah anak-anak Allah. Dan itu lebih elok dari bintang film, dari anak pejabat di dunia ini, asal kita menjalani hidup sebagai anak Allah. Alkitab katakan, “Tuhan memilih orang bodoh, orang yang terbuang.” Jadi, yang pertama, syukuri kita adalah umat pilihan; “Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani.” Imam itu pelayan Tuhan, rajani itu berkerajaan. Imam atau imamat itu bisa berarti pengawal, hulubalang. 

    Kalau nanti kita sudah meninggal, Tuhan memberikan tubuh baru kepada kita. Kita jadi hulubalang di rumah Bapa. Tuhan Yesus Rajanya kita dan kita melayani Tuhan Yesus selamanya. Yang melayani Tuhan di bumi akan melayani Tuhan di surga. Jadi, sebagai anak-anak Allah, harus melayani Tuhan. Kalau tidak melayani, tidak akan layak jadi anak-anak Allah. Melayani Tuhan itu artinya kita menyenangkan Dia. Jujur, berbelas kasihan terhadap orang, tidak melukai, tidak menyakiti,

    Tidak Ada Pilihan

    Tidak Ada Pilihan

    Orang Kristen abad pertama, murid-murid Yesus dan pengikut Yesus, awal di abad pertama, mereka hidup di dalam penganiayaan yang sangat berat; dalam persekusi, penganiayaan yang sangat berat. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka, melepaskan kebahagiaan dan kenyamanan hidup mereka, demi memercayai Yesus. Memercayai Yesus sebagai Kurios, Tuhan, dan Juruselamat. Dengan harga yang sangat mahal, yaitu seluruh kehidupan mereka. Bagi orang Kristen yang benar-benar mencintai Tuhan pada waktu itu, penderitaan bisa menjadi kesukaan karena di balik penderitaan tersebut mereka memiliki kemuliaan. 

    Seperti yang dikatakan dalam Roma 8:18 bahwa, “Penderitaan zaman sekarang ini tidak ada bandingannya, tidak setara dengan kemuliaan yang akan diperoleh bagi orang-orang yang menderita bersama Tuhan Yesus atau menderita bagi Tuhan.” Orang Kristen bisa menikmati penderitaan sebagai berkat, sebagai jalan untuk memperoleh kemuliaan. Jadi mereka tidak menolak, bahkan seakan-akan mereka sengaja menantang. Sebab memang tidak ada pilihan, mengikut Yesus harus menderita. Demikian dikatakan di dalam surat 2 Timotius 3:12, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.” 

    Jadi inilah yang harus dialami oleh para murid Tuhan Yesus. Dan yang ajaib, luar biasa, menakjubkan adalah mereka tidak takut menghadapi keadaan-keadaan yang sulit itu; “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Tim. 3:12). Pertanyaannya bagi kita, penderitaan apa yang kita alami sebagai pengikut Kristus di abad 21 ini? Kalau mereka mengalami penderitaan aniaya fisik; apa yang kita peroleh, apa yang kita alami? Ini yang menjadi masalah bagi kita. Apakah kita tidak mengalami penderitaan? Pasti harus dialami.

    Kalau mereka menghadapi aniaya fisik, kita mengalami aniaya batin, aniaya jiwa. Ketika kita menolak kenikmatan hidup, ketika kita menolak hidup wajar seperti manusia lain, ketika kita menolak dosa dengan melukai daging kita, membunuh nafsu-nafsu dalam diri kita yang tidak sesuai dengan kesucian Allah; itu menyakitkan. Tetapi kita harus melakukannya. Kesediaan menjadi orang yang tidak dihormati, kesediaan untuk menjadi orang yang dihina, diinjak-injak, dilecehkan tanpa membalas. Kesediaan untuk menjadi orang yang dianggap tidak penting, direndahkan tapi tidak membalas; inilah penderitaan yang kita alami dan juga kita nikmati. 

    Kecuali ketika kita dilukai, kita membalas dengan kemarahan, membalas dengan perkataan, hal itu mungkin dinikmati juga tetapi itu menikmati dosa. Kita mau belajar menikmati sikap kita yang meneladani Yesus ketika diludahi, ditempeleng. Yesus berkata, “Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Ini adalah sikap yang benar. Ketika kita punya kesempatan berbuat dosa, kita menolak, sakit daging kita. Tetapi dengan cara ini kita memberi diri mengikut Yesus. Kalau orang-orang Kristen abad mula-mula, mereka menderita penderitaan fisik, penderitaan badani; kita menderita penderitaan jiwa, batin. Dan itu indah, karena semua ini mengerjakan kesempurnaan di dalam hidup kita. 

    Mungkin sebagian kita bukan orang yang tidak bermoral, melainkan orang yang sangat bermoral, santun, baik, bahkan pendeta, tapi ada bagian-bagian hidup kita yang harus disalibkan. Yang itu tidak akan pernah kita ketahui kecuali kita duduk diam di kaki Tuhan, menghayati kekudusan, kesucian Allah, dan Tuhan mencerahi kita. Kalau hanya ilmu teologi yang kita klaim sebagai kebenaran, kalau hanya teori-teori tentang Tuhan yang kita bisa rangkai dari ayat ke ayat, dengan latar belakang bahasa asli dan lain sebagainya, hal itu tidak membuat mata hati kita tercelik untuk melihat kelicikan-kelicikan dan kesombongan-kesombongan terselubung di dalam diri kita. 

    Dan ini sejujurnya yang kita lihat dalam kehidupan hamba-hamba Tuhan yang baik, tetapi ada kesombongan terselubung, ada kebanggaan terselubung. Coba,

    Mengurusi Pekerjaan Tuhan

    Mengurusi Pekerjaan Tuhan

    Bagi kita yang sudah dewasa rohani, yang bertumbuh di dalam iman, kita harus sampai pada tahap di mana kita hidup hanya untuk mengurusi pekerjaan Tuhan. Kedengarannya ini berlebihan, tetapi inilah standar hidup orang percaya. Hidup kita hanya untuk mengurusi pekerjaan Tuhan. Kalau kita menjaga pola hidup, pola makan yang baik, menjaga kesehatan, kalau kita kerja keras, kita melakukan apa pun, dalam rangka karena kita mau mengurusi atau sedang mengurusi pekerjaan Tuhan. Tuhan juga memang memberi kesenangan kepada kita; tidur nyenyak, makan enak atau kita menikmati pemandangan alam sewaktu-waktu. Tetapi fokus kita hanya bagaimana kita melakukan pekerjaan Tuhan. 

    Prinsip-prinsip hidup kekristenan atau prinsip-prinsip hidup Kristiani yang benar ditunjukkan oleh Paulus dalam surat dan kehidupannya. Misalnya di Filipi 1:21 Paulus menulis, ” Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Jadi, sepenuhnya dia hidup bagi Kristus. Tidak ada yang diharapkan dari dunia ini, tidak ada kebahagiaan yang dia harapkan dari dunia ini. Karenanya dia berkata, “Dan mati adalah keuntungan.” Orang yang belum mempersembahkan hidupnya sepenuhnya bagi Tuhan, tidak akan pernah bisa berkata “mati adalah keuntungan.” Hanya orang yang hidup sepenuhnya bagi Tuhan, yang hidupnya hanya untuk mengurusi pekerjaan Tuhan yang bisa berkata, “mati adalah keuntungan.” 

    Ini tidak berlebihan, sebab firman Tuhan juga mengatakan, “Baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31). Dalam 2 Korintus 5:14-15 dikatakan, “Kalau Tuhan Yesus sudah mati untuk kita, kita semua sudah mati,” artinya kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri, tapi hidup untuk Dia yang telah mati bagi kita. Jangan sisakan hidup kita untuk diri sendiri, artinya semua yang kita miliki, kita klaim milik Tuhan. Kita harus punya kepekaan bagaimana mengelola semua yang kita miliki untuk pekerjaan Tuhan. Itu bukan berarti harus diberikan ke gereja semua. Jadi bagaimana? Bagaimana Roh Kudus pimpin mengelola uang itu. Tentu mendukung pekerjaan Tuhan di gereja, betul. 

    Tapi jangan lupa, yang pertama, orang tua kita; mereka harus kita perhatikan. Bagaimana kita bisa hidup nyaman, kalau orang tua kita tinggal di daerah kumuh yang tidak nyaman? Bagaimana kita bisa naik mobil baik, kalau orang tua naik mobil tua yang bisa mogok setiap saat? Yang kedua, bagaimana kita bisa mandiri dan tidak jadi beban bagi orang lain. Yang ketiga, bagaimana kita memperhatikan keluarga besar di mana kita ditaruh. dan tidak sedikit kita berutang budi kepada om, tante, opa, oma. Balas budi baik mereka. Lalu, yang keempat, masyarakat sekitar kita; dari pembantu, sopir, pegawai kita. Di situlah pelayanan yang sesungguhnya, kita memperhatikan sesama dan menjadi kesaksian hidup. Selanjutnya, yang kelima, tentu tidak boleh lupa kita mendukung pekerjaan Tuhan di lingkungan gereja, di pendidikan sekolah tinggi teologi, dan lain sebagainya, yang semua terarah kepada Tuhan.

    Kita bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan luar biasa memelihara hidup kita dan pekerjaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita. Mari kita berkemas-kemas pulang ke surga. Kita percaya Elohim Yahweh, Allah yang hidup, Dia meneliti, melihat hidup kita setiap saat, memeriksa diri kita setiap waktu. Jangan berbuat dosa sekecil apa pun, sehalus apa pun dosa itu. Dan jangan hidup untuk diri sendiri. Mulai hari ini, mari kita memulai hidup untuk mengurusi pekerjaan Tuhan. Dari perkara kecil, sejak muda. Kita bertekad untuk memilih jalan ini, walaupun dunia mengarahkan kita dalam kenyamanan.

    Menemukan Kemuliaan Tuhan

    Menemukan Kemuliaan Tuhan

    Tidak ada kemuliaan apa pun selain Tuhan. “Kemuliaan” berasal dari kata “mulia.” Mulia artinya “agung,” bisa berarti “besar, bernilai tinggi, sangat berkualitas, luhur.” Jadi, tidak ada kemuliaan selain Tuhan. Satu kali ada seorang datang kepada Yesus dan berkata, “Guru yang baik, apa yang harus aku lakukan supaya aku beroleh hidup yang kekal?” Yesus menjawab, “Tidak ada yang baik selain Allah.” Ini sama dengan “tidak ada yang mulia selain Allah.” Jika kita percaya hal ini, maka dalam hidup ini yang kita cari hanya Tuhan. Jangan dibalik. Mencari dunia dengan memakai Tuhan sebagai alat, kekuatan, sarana. Kita harus menggunakan apa pun yang ada pada kita, semua potensi; kemampuan, harta, uang, untuk menemukan Tuhan.

    Memang menemukan Tuhan bukan sesuatu yang mudah. Jadi, jangan merasa sudah menemukan Tuhan hanya karena sudah beragama, ke gereja, sudah berdoa. Menemukan Tuhan artinya bersekutu dengan Tuhan, menjadi satu dengan Tuhan (in bound in God). Ini harus diperjuangkan, karena kita tidak bisa menjadi satu ikatan dengan Tuhan, tidak bisa ada dalam persekutuan dengan Tuhan kalau karakter kita tidak mengimbangi Allah. Allah yang mulia hanya bisa bersekutu dengan manusia yang mulia. Roh Kudus akan menolong kita untuk menjadi manusia yang mulia, memiliki sifat-sifat Allah; kelembutan, belas kasihan, kemurnian, dan sifat-sifat Allah yang lain. Dan memang inilah rancangan Allah semula: menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Allah. 

    Tetapi kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia kehilangan kemuliaan; kehilangan sesuatu yang bernilai. Dan yang bernilai itu hanya Allah. Manusia tidak bisa segambar dan serupa dengan Allah, manusia tidak memiliki sifat-sifat Allah. Dan inilah yang dimaksud kehilangan kemuliaan. Sebab, tidak ada kemuliaan selain Allah. Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus hendak mengembalikan manusia segambar dan serupa dengan Allah, yang sama dengan agar manusia menemukan kemuliaan itu. Dan kemuliaan itu adalah sifat, karakter dari Allah. 

    Jadi, bagaimana kita bisa menemukan kemuliaan itu? Kalau kita menemukan Allah. Bagaimana kita bisa menemukan Allah? Kalau kita terikat dalam persekutuan dengan Tuhan. Dan itu bukan hanya datang ke gereja, bernyanyi memuji Tuhan, melainkan setiap saat hidup di hadirat Allah, setiap saat hidup dalam persekutuan dengan Allah. Hal ini harus benar-benar diperjuangkan. Karena, mengubah karakter, watak, sifat kita yang duniawi, yang kedagingan, yang telah tercemari oleh dunia, terpapar oleh sifat-sifat dosa, tidak mudah. Karakter dosa itu melekat dan seakan-akan menjadi bagian yang menyatu tak terpisahkan, bagian integral di dalam diri kita. 

    Tetapi, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Roh Kudus menolong kita sehingga kita bisa terus bertumbuh untuk mengenakan kodrat ilahi; memisahkan manusia daging dan manusia roh, lalu membuat manusia daging kita dimatikan, supaya manusia roh kita tumbuh kuat, atau dengan kalimat lain supaya Kristus hidup di dalam diri kita. Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang berharga. Jangan membuang waktu, tenaga, pikiran untuk hal yang tidak mulia. Jadi kalau Alkitab berkata, “Apa gunanya orang beroleh segenap dunia kalau jiwanya binasa?” Segenap dunia, kurang banyak apa? 

    Karena dunia ini bukanlah sesuatu yang bernilai tinggi, bukan sesuatu yang mulia. Yang mulia hanya Tuhan. Kemuliaan hanya kita peroleh di dalam Tuhan. Jadi, jangan sampai kita membuang waktu, tenaga, pikiran, untuk hal yang sia-sia dan tidak bernilai. Kita bersyukur mendapatkan peringatan ini sebelum melanjutkan hari hidup kita. Sebelum melewati minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun panjang ke depan, kita dilengkapi dengan firman ini, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya. Apa gunanya orang beroleh segenap dunia kalau jiwanya binasa?”

    Jadi, kita harus camkan hal ini! Kita meteraikan di dalam jiwa, hati, dan pikiran kita bahwa tidak ada yang mulia kecuali Allah!

    Menyembelih Diri

    Menyembelih Diri

    Hubungan kita dengan Elohim atau Allah adalah hubungan Bapa dan anak. Dan itu indah sekali. Sebab, kita menemukan simetrisnya, analoginya dengan kehidupan kita. Kalau kita cerdas, kita dapat menangkap kebenaran-kebenaran di dalam kehidupan kita yang kita alami, kita jalani dalam hubungan antara orang tua dan anak, yang itu bisa kita kenakan dalam hubungan kita dengan Allah sebagai Bapa. Ketika anak masih kanak-kanak atau belum dewasa berkata kepada orang tua, “I love you,” itu membahagiakan orang tua, walaupun anak belum bisa buat apa-apa, bahkan ketika anak masih sering merepotkan. 

    Tapi, kalimat itu tidak bisa diucapkan oleh anak dewasa tanpa membayar harga cintanya. Anak yang tidak dengar-dengaran kepada orang tua, yang tidak mau belajar dengan baik, bahkan melakukan pelanggaran-pelanggaran—apalagi pelanggaran berat seperti narkoba—tentu menyusahkan hati orang tua. Dan apabila setelah dewasa ia tetap melakukan berbagai kejahatan, lalu berkata, “Mama, I love you,” itu lebih menyakitkan lagi. 

    Masalah besar adalah banyak orang tidak merasakan dan tidak mengerti perasaan Allah. Jadi ketika Tuhan terluka, kita tidak merasakan; tidak tahu, tidak peka. Itu mengerikan sekali. Walaupun tentu Tuhan memberitahu, tapi kita sering keras kepala. Banyak orang keras kepala. Seperti banyak di antara orang-orang Kristen yang mulutnya mengatakan, “Aku menyembah (memberi nilai tinggi), aku cinta pada-Mu,” tapi tidak buat apa-apa. Itu menyakitkan hati Bapa. Pada akhirnya, kita bisa mengerti bahwa hidup kita memang harus untuk Tuhan. 

    Untuk Tuhan, artinya untuk orang di sekitar kita. Itu maksudnya. Kita harus berani “menyembelih diri” supaya bisa memberkati sesama dan menjadi saluran untuk menyentuh Allah. Yesus, Imam Besar, Dia disembelih di kayu salib untuk bisa membawa orang percaya kepada Bapa. Kalau Imam Besar di Perjanjian Lama, yang disembelih itu domba. Dalam hidup orang percaya, kita harus “menyembelih diri.” Kalau kita ingin melihat anak-anak diberkati, tidak mempermalukan mereka, maka sembelih diri kita! Banyak orang tua yang tidak menyembelih dirinya. Sehingga membuat anaknya malu. 

    Kita belum bisa jadi contoh kalau belum menyembelih diri! Para pendeta kalau mau menjadi berkat dalam khotbahnya, harus menyembelih diri! Para worship leader, singer atau choir, supaya bisa menjadi berkat bagi jemaat waktu memimpin puji-pujian, harus menyembelih diri supaya bisa menjadi keharuman. Bukan berarti kita tidak boleh punya rumah bagus atau mobil bagus, kalau memang bagian kita. Siapa yang bisa larang kalau Tuhan yang beri untuk bagian kita masing-masing? Tapi kalau itu menjadi kenyamanan, berarti kita tidak menyembelih diri kita. 

    Tuhan sembelih kita lewat banyak hal. Itu cara untuk menghancurkan kesombongan kita. Harga diri, nama baik dirusak, ekonomi berantakan; itu disembelih. Dan kita harus terima. Itu pisau Tuhan, supaya kita tidak melakukan kesalahan. Kalau kita tidak menyembelih diri, kita disembelih. Contoh, dari muda kita tidak mengerti bagaimana seharusnya hidup dengan tertib. Pokoknya dididik makan enak. Sate, sop, soto, minyak, dimakan semua. Akhirnya, kita disembelih di meja operasi. Coba kalau dari muda kita makan sayur-mayur, buah-buahan, biji-bijian, maka kita tidak disembelih dokter di meja operasi. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menyembelih diri. 

    Padahal Alkitab dalam Amsal 23:2-3 berkata, “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu! Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu.” Setelah tua, kita baru sadar. Tapi sudah hampir terlambat atau sudah terlambat. Ini kesalahan. Tapi yang terpenting, jangan sampai kita disembelih di kekekalan. Kalau kita masih hidup dalam kedagingan, tidak hidup dalam kesucian, bagaimana kita bisa terbang tinggi? Yang sudah berjuang terus untuk hidup suci saja, naiknya tidak gampang, tapi pasti naik. Makin hari, makin naik. Walaupun sedikit, tapi ada rasa naiknya.

Customer Reviews

4.7 out of 5
6 Ratings

6 Ratings

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Timothy Keller Sermons Podcast by Gospel in Life
Tim Keller
Tara Brach
Tara Brach
The Bible in a Year (with Fr. Mike Schmitz)
Ascension
Omar Suleiman
Muslim Central
Undeceptions with John Dickson
Undeceptions Ltd
BibleProject
BibleProject Podcast