PODCAST KONKLUSI Ayu Alfiah J. & Yaqut Al Amnah

Physical distancing dalam rangka melawan pandemi Covid-19 menimbulkan efek positif dan negatif. Mereka yang masih enjoy menjalani karantina bisa mendukung mereka yang sudah kuwalahan menghadapi ruang gerak yang dipersempit karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown. Saatnya kita berjuang bersama, saling menguatkan daya juang dan melewati tragedi ini bersama-sama.

Kapan terakhir kali kamu nonton film Indonesia? Apa judulnya? Untuk membuktikan rasa cinta Indonesia itu mudah kok: nonton film-film produksi Indonesia, pelajari, cerna, cermati dan ulangi. Kali ini kita ngobrol soal film Indonesia dengan pegiat alih wahana, Kekasih Semesta (@kekasihsemesta). Selamat mendengarkan

Derasnya arus informasi dan pesatnya perkembangan teknologi, menimbulkan efek tersendiri buat masyarakat modern. Banyak hal berubah. Cara-cara lama yang merepotkan kian ditinggalin. Dari hal praktis sehari-hari, sampai cara mendapatkan teman atau pasangan hidup. Sekarang, lagi marak aplikasi kencan yang bisa mempertemukan seseorang dengan pasangannya. Tidak selalu pasangan hidup seperti suami atau istri, ada juga yang hanya ingin mencari teman, pacar, atau orang yang bisa diajak berhubungan seksual. Beragam motif dan digunakan oleh banyak orang dengan beragam status sosial. Kenapa seseorang memilih aplikasi kencan untuk mendapatkan pasangan? Apa orang modern semakin sulit mendapatkan pasangan karena orang-orang semakin individualis? Relevan gak sih buat orang Indonesia?

Universitas Indonesia (UI), tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu kampus yang menarik perhatian banyak orang Indonesia. Entah karena gengsi atau prestasi. Yang jelas, ia punya nama yang besar. Tidak heran jika menjadi bagian darinya adalah sebuah kebanggaan. Hanna Hanifah, mahasiswi S2 Jurusan Antropologi UI menceritakan bagaimana perjalanannya belajar di sana. Tentang kampusnya, tentang jurusannya. Apa sih yang menarik dari Kampus Kuning tersebut? Apa itu antropologi? Apa bedanya dengan sosiologi?

Pertanyaan “kapan nikah” sekaligus intervensi berangkat dari dasar pemikiran yang tak utuh. Banyak orang kemudian memaksakan kehendaknya pada orang lain. Standar yang berlaku harus sama antara dirinya dengan orang lain. Padahal, bukankah setiap orang punya hak untuk tidak menikah, tidak punya anak dan tidak berkeluarga? Seberapa pentingnya mengurusi kehidupan orang lain?

Ada yang bilang, muslim tidak boleh mengucapkan selamat natal. Mereka melarangnya alasan akan merusak iman dan aqidah. Tapi, tak sedikit muslim yang justru turut mengikuti perayaan natal. Bisakah kedua kubu itu saling menghargai tanpa menghakimi satu sama lain?

Ada yang bilang, banjir adalah akibat dari perayaan tahun baru yang penuh dosa sebab yang merayakan sama saja dengan berbuat maksiat dan mengerjakan apa yang dilarang oleh Tuhan. Tapi, bukankah pemanasan global sudah semakin parah? Bukankah tak ada hubungannya banjir dengan perayaan tahun baru?