1h 34 min

Eps. 09: Prime Mover 2112 Podcast

    • Filosofía

Pada dekade 1980-an, perang dingin antara Negara Dunia Pertama (blok Kapitalis) dengan Negara Dunia Kedua (blok Komunis) mencapai puncaknya. Kekuatiran akan pecahnya perang nuklir menjadi keresahan kolektif yang terekam dalam budaya populer, terutama musik rock. Banyak lagu lahir di masa itu yang menarasikan pesan perdamaian. Kita dapat temukan gejala tersebut pada musik populer Barat, tentunya. Meskipun demikian, tidak semua menelusuri rute tematik yang sama. Di belahan utara benua Amerika, RUSH justru mulai memasuki masa kontemplatif, dan bahkan cenderung spiritual dengan cara mereka sendiri. Di tengah gempitanya narasi “look good and feel good” di panggung musik populer dunia, RUSH justru menampilkan diri mereka sebagai observer, alias si pengamat. Demikianlah, ungkap Firman Norosoma, penulis yang banyak mengulas aktivitas seni dan budaya.

Kepada 2112 Podcast, Firman menceritakan bagaimana minatnya terhadap progressive rock bertumbuhkembang semasa remaja pada akhir abad keduapuluh hingga awal abad keduapuluh satu. Mulai dari bangku sekolah, hingga peran di lapak-lapak kaset bekas sepanjang Jalan Gembong hingga Jalan Pemuda di Surabaya yang tidak ubahnya “community center” bagi penggemar genre musik populer yang “tidak populer ini.” Kisah Firman boleh jadi terdengar remeh, akan tetapi, sejatinya menceritakan bagaimana konsumsi terhadap budaya populer global memberi makna pada sekelompok kecil remaja Indonesia pada masa itu. Simak perbincangan antara Barto dan Yuka dengan Firman yang ngalor-ngidul dalam episode kesembilan ini.

Pada dekade 1980-an, perang dingin antara Negara Dunia Pertama (blok Kapitalis) dengan Negara Dunia Kedua (blok Komunis) mencapai puncaknya. Kekuatiran akan pecahnya perang nuklir menjadi keresahan kolektif yang terekam dalam budaya populer, terutama musik rock. Banyak lagu lahir di masa itu yang menarasikan pesan perdamaian. Kita dapat temukan gejala tersebut pada musik populer Barat, tentunya. Meskipun demikian, tidak semua menelusuri rute tematik yang sama. Di belahan utara benua Amerika, RUSH justru mulai memasuki masa kontemplatif, dan bahkan cenderung spiritual dengan cara mereka sendiri. Di tengah gempitanya narasi “look good and feel good” di panggung musik populer dunia, RUSH justru menampilkan diri mereka sebagai observer, alias si pengamat. Demikianlah, ungkap Firman Norosoma, penulis yang banyak mengulas aktivitas seni dan budaya.

Kepada 2112 Podcast, Firman menceritakan bagaimana minatnya terhadap progressive rock bertumbuhkembang semasa remaja pada akhir abad keduapuluh hingga awal abad keduapuluh satu. Mulai dari bangku sekolah, hingga peran di lapak-lapak kaset bekas sepanjang Jalan Gembong hingga Jalan Pemuda di Surabaya yang tidak ubahnya “community center” bagi penggemar genre musik populer yang “tidak populer ini.” Kisah Firman boleh jadi terdengar remeh, akan tetapi, sejatinya menceritakan bagaimana konsumsi terhadap budaya populer global memberi makna pada sekelompok kecil remaja Indonesia pada masa itu. Simak perbincangan antara Barto dan Yuka dengan Firman yang ngalor-ngidul dalam episode kesembilan ini.

1h 34 min