2 min

• Jawablah Duhai Jiwaku [Puisi by Felix Siaw] • (个_个‪)‬ Fainqy Khumayra

    • Islam

Seorang Muslim memang harus selalu dalam keadaan memeriksa diri sendiri. Menyelam sampai ke dasar hati, meneliti tiap lintasan pikiran, mengenali kerumitannya.
Mencurigai ada rasa bangga diri yang bersembunyi dibalik syiar, mengkhawatirkan menganggap diri suci saat menasihati orang yang lain. Takut bahwa nifaq sudah bersarang di jiwa.
Aku harusnya takut berkata bahwa berbuat untuk kebaikan orang lain, padahal yang aku pikirkan hanya diri sendiri, ayat dan hadits aku tak gunakan kecuali untuk membela diri.
Mungkin alasan yang aku buat bisa untuk mengingkari, namun api amarah itu membakar, panasnya terasa, menjalari tiap urat yang membawa darah yang panas menyengat.
Namun seringkali aku terlalu gengsi akan mengakui dan memohon ampun. Namun tiap langkahku makin menjauhkan diriku dari kebaikan, dari ketenangan, dari kebahagiaan.
Bukankah begitulah adanya penyakit manusia yang termasuk paling awal? Ingin dilihat oleh manusia. Ingin dipuji oleh manusia, ingin dianggap lebih oleh manusia.

Sebab itu Qarun bersikap supermewah, karena itu Qabil membunuh Habil, sebab itu juga Fir'aun menyembelih bayi-bayi, sebab itu juga Iblis menolak bersujud.

Ngeri, membayangkan mereka yang berjihad, akrab dengan Al-Qur'an, dan dermawan. Amal-amal yang termasuk paling bergengsi, bisa hancur dan terhina hanya sebab ingin dilihat.

Kemudian aku menginterogasi diriku. "Apa sebabmu mencinta?", "Apa sebab amarah?", "Apa sebab ridha?", "Apa sebab benci?". Adakah karena Allah?

Bila itu selalu aku jawab "karena Allah", mengapa hatiku lebih sakit saat namaku yang dinista, sedangkan aku lebih mudah menerima saat nama-Nya dinista?.

Bila aku jawab hidupku "karena Allah", lalu apa alasanku tak ikut sibuk dalam urusan yang Allah perintahkan padaku? Jawablah duhai jiwaku, jangan diam saja. [Puisi by Ustadz Felix Siaw]

Seorang Muslim memang harus selalu dalam keadaan memeriksa diri sendiri. Menyelam sampai ke dasar hati, meneliti tiap lintasan pikiran, mengenali kerumitannya.
Mencurigai ada rasa bangga diri yang bersembunyi dibalik syiar, mengkhawatirkan menganggap diri suci saat menasihati orang yang lain. Takut bahwa nifaq sudah bersarang di jiwa.
Aku harusnya takut berkata bahwa berbuat untuk kebaikan orang lain, padahal yang aku pikirkan hanya diri sendiri, ayat dan hadits aku tak gunakan kecuali untuk membela diri.
Mungkin alasan yang aku buat bisa untuk mengingkari, namun api amarah itu membakar, panasnya terasa, menjalari tiap urat yang membawa darah yang panas menyengat.
Namun seringkali aku terlalu gengsi akan mengakui dan memohon ampun. Namun tiap langkahku makin menjauhkan diriku dari kebaikan, dari ketenangan, dari kebahagiaan.
Bukankah begitulah adanya penyakit manusia yang termasuk paling awal? Ingin dilihat oleh manusia. Ingin dipuji oleh manusia, ingin dianggap lebih oleh manusia.

Sebab itu Qarun bersikap supermewah, karena itu Qabil membunuh Habil, sebab itu juga Fir'aun menyembelih bayi-bayi, sebab itu juga Iblis menolak bersujud.

Ngeri, membayangkan mereka yang berjihad, akrab dengan Al-Qur'an, dan dermawan. Amal-amal yang termasuk paling bergengsi, bisa hancur dan terhina hanya sebab ingin dilihat.

Kemudian aku menginterogasi diriku. "Apa sebabmu mencinta?", "Apa sebab amarah?", "Apa sebab ridha?", "Apa sebab benci?". Adakah karena Allah?

Bila itu selalu aku jawab "karena Allah", mengapa hatiku lebih sakit saat namaku yang dinista, sedangkan aku lebih mudah menerima saat nama-Nya dinista?.

Bila aku jawab hidupku "karena Allah", lalu apa alasanku tak ikut sibuk dalam urusan yang Allah perintahkan padaku? Jawablah duhai jiwaku, jangan diam saja. [Puisi by Ustadz Felix Siaw]

2 min