1 hr 36 min

Eps. 14: Middletown Dreams 2112 Podcast

    • Philosophy

Menurut buku of “Rush, Rock Music, and the Middle Class: Dreaming in Middletown” karya Chris McDonald (2009), kritik Rush terhadap kehidupan suburban dan strategi untuk melarikan diri dari kehidupan tersebut tidak lain merupakan cerminan dari aspirasi sekaligus kecemasan kelas menengah. Kecemasan akan ketidakpastian, akan kondisi berada di tengah-tengah yang terhimpit dan terombang-ambing oleh bermacam persoalan. Antara dorongan libertarian dengan keteraturan sekaligus konformitas, antara kekuatan intelektual yang berbenturan dengan kenyataan lemahnya posisi kelas menengah secara ekonomi-politik.

Namun di sisi lain, keterombang-ambingan inilah yang justru membukakan kesempatan bagi kelas menengah untuk berkontemplasi. Memikirkan kembali dalam-dalam perjalanan hidupnya dan memaknainya. Dalam hal inilah, karya seni (apapun bentuk seninya) memegang peran besar menjadi medium ataupun pemantik hadirnya momen kontemplatif tersebut. Dalam momen seperti inilah, lagu (terutama syair/liriknya) dapat menghantarkan manusia untuk dapat berdialog dengan dirinya sendiri, yang merupakan syarat utama kontemplasi. Inilah yang sejatinya dialami oleh Gandu Permana, seorang guru drum yang juga lulusan Desain Produk asal perguruan tinggi ternama Surabaya. Gandu adalah admin dari komunitas maya penggemar Rush yang bernama Rushgasm. Kepada Barto dan Yuka, Gandu menceritakan bagaimana lagu-lagu Rush merepresentasikan fragmen-fragmen penting dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari naik-turun dan pasang-surut penghidupan, hingga perjalanan spiritual yang mempertemukannya pada pertanyaan besar: “Bagaimanakah kehidupan hendak membentuk saya kali ini?”

Berbeda dengan obrolan di 2112 Podcast yang biasanya, perbincangan Barto dan Yuka dengan Gandu dalam episode keempat belas ini lebih - jika dapat dikatakan demikian - kontemplatif. Obrolan mereka menempatkan siapapun yang mendengarkan podcast ini, baik penggemar berat Rush ataupun bukan, bahwa kita tidak lebih dari tiga karakter dalam lirik lagu “Middletown Dreams” (Power Windows, 1985), yaitu si salesman, si anak muda bergitar yang minggat dari kotanya, si Madonna setengah baya. Meskipun demikian, Peart secara tidak langsung menegaskan bahwa kelas menengah punya satu kekuatan sederhana yang mampu mendorong mereka untuk melakukan hal-hal penting dalam hidup: mimpi.

Dreams flow across the heartland
Feeding on the fires
Dreams transport desires
Drive you when you're down
Dreams transport the ones
Who need to get out of town

Menurut buku of “Rush, Rock Music, and the Middle Class: Dreaming in Middletown” karya Chris McDonald (2009), kritik Rush terhadap kehidupan suburban dan strategi untuk melarikan diri dari kehidupan tersebut tidak lain merupakan cerminan dari aspirasi sekaligus kecemasan kelas menengah. Kecemasan akan ketidakpastian, akan kondisi berada di tengah-tengah yang terhimpit dan terombang-ambing oleh bermacam persoalan. Antara dorongan libertarian dengan keteraturan sekaligus konformitas, antara kekuatan intelektual yang berbenturan dengan kenyataan lemahnya posisi kelas menengah secara ekonomi-politik.

Namun di sisi lain, keterombang-ambingan inilah yang justru membukakan kesempatan bagi kelas menengah untuk berkontemplasi. Memikirkan kembali dalam-dalam perjalanan hidupnya dan memaknainya. Dalam hal inilah, karya seni (apapun bentuk seninya) memegang peran besar menjadi medium ataupun pemantik hadirnya momen kontemplatif tersebut. Dalam momen seperti inilah, lagu (terutama syair/liriknya) dapat menghantarkan manusia untuk dapat berdialog dengan dirinya sendiri, yang merupakan syarat utama kontemplasi. Inilah yang sejatinya dialami oleh Gandu Permana, seorang guru drum yang juga lulusan Desain Produk asal perguruan tinggi ternama Surabaya. Gandu adalah admin dari komunitas maya penggemar Rush yang bernama Rushgasm. Kepada Barto dan Yuka, Gandu menceritakan bagaimana lagu-lagu Rush merepresentasikan fragmen-fragmen penting dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari naik-turun dan pasang-surut penghidupan, hingga perjalanan spiritual yang mempertemukannya pada pertanyaan besar: “Bagaimanakah kehidupan hendak membentuk saya kali ini?”

Berbeda dengan obrolan di 2112 Podcast yang biasanya, perbincangan Barto dan Yuka dengan Gandu dalam episode keempat belas ini lebih - jika dapat dikatakan demikian - kontemplatif. Obrolan mereka menempatkan siapapun yang mendengarkan podcast ini, baik penggemar berat Rush ataupun bukan, bahwa kita tidak lebih dari tiga karakter dalam lirik lagu “Middletown Dreams” (Power Windows, 1985), yaitu si salesman, si anak muda bergitar yang minggat dari kotanya, si Madonna setengah baya. Meskipun demikian, Peart secara tidak langsung menegaskan bahwa kelas menengah punya satu kekuatan sederhana yang mampu mendorong mereka untuk melakukan hal-hal penting dalam hidup: mimpi.

Dreams flow across the heartland
Feeding on the fires
Dreams transport desires
Drive you when you're down
Dreams transport the ones
Who need to get out of town

1 hr 36 min