20 episodes

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Truth Daily Enlightenment Erastus Sabdono

    • Religion & Spirituality

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

    Semua akan Berakhir

    Semua akan Berakhir

    Kalau kita menyadari bahwa kita adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Surga, maka kita pasti bersedia kehilangan apa pun dan siapa pun. Ini bukan berarti lalu kita mau memisahkan diri dengan orang-orang yang kita kasihi, tetapi maksudnya adalah kita tidak terikat oleh manusia dan harta. Dan selanjutnya, kita mau hidup sebersih-bersihnya sebab kita tidak tahu kapan ujung jalan hidup kita. Kita ini musafir yang sedang menuju langit baru bumi baru. Itulah tempat perhentian kita satu-satunya, tidak ada tempat perhentian lain.

    Kita harus melepaskan diri dari kesenangan-kesenangan dunia dan hobi-hobi yang tidak memuliakan Tuhan. Kita juga rela untuk mematikan semua hawa nafsu guna hidup suci. Dan tahukah bahwa ketika kita menghayati bahwa kita ini musafir di dunia, maka persoalan-persoalan berat akan terasa ringan karena semua ini akan berakhir. Ingat, semua ini akan berakhir. Demikian juga ketika kita sedang senang-senang, suasana nyaman, jangan kita terhanyut di sana. Ingat, semua akan berakhir, semua ada ujungnya. Jadi, kita tidak hanyut dengan kesenangan-kesenangan yang ada. Maka, tidak ada yang boleh kita harapkan di bumi ini, jangan berharap kebahagiaan dari dunia ini. 

    Sebab ketika kita mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, kita pasti bersikap atau berlaku tidak setia kepada Tuhan. Seandainya kita sukses dalam studi, karier, bisnis, banyak uang, jangan berharap semua itu membahagiakan. Sebaliknya, kalau kita sedang menghadapi masalah berat, pengkhianatan, kekecewaan, jangan kita berpikir bahwa kita tidak akan menikmati kebahagiaan karena situasi hidup. Tuhan masih bisa memberikan kita kebahagiaan dan sukacita.  Hidup ini tragis, tapi kalau kita ingat bahwa semua akan berakhir, tragisnya hidup ini tidak akan terasa tragis, karena kita memiliki pengharapan langit baru bumi baru. 

    Inilah yang menjadi kesukaan kita. Satu hal yang mestinya kita miliki, yaitu kebahagiaan kita dijemput oleh Tuhan. Itulah kebahagiaan kita. Seorang musafir pasti merindukan sampai tujuan, tidak ada tempat yang ia merasa betah, karena yang dituju atau tempat tujuan itu—Kerajaan Tuhan Yesus—lebih indah dari segala sesuatu. Jadi, kita tidak akan terikat dengan kesenangan dunia dan terparkir di dunia ini. Kita rindu dijemput oleh Tuhan, dan kita dibawa ke dalam Kerajaan Surga. Kalau kita sudah tidak rindu dijemput Tuhan Yesus, pasti ada sesuatu yang salah dalam hidup kita. Kristen yang normal adalah Kristen yang merindukan dijemput oleh Tuhan, maka jangan berharap dunia ini membahagiakan.

    Kalau sekarang kita berada dalam kondisi hidup yang berat, sangat berat, jangan sampai kita kehilangan kebahagiaan dan sukacita, karena kebahagiaan kita di dalam Tuhan yang sedang menuntun kita ke negeri di mana tidak ada penderitaan, air mata dan kematian; itu yang kita rindukan, kita nantikan. Sebaliknya, kalau kita sekarang hidup dalam keadaan kelimpahan, kesenangan tanpa masalah, jangan berpikir kita akan selalu bahagia dengan keadaan itu, sebab semua akan berakhir. Tentu kita tidak mengharapkan ada bencana di depan, tapi bencana bisa datang setiap saat, baik bencana atas seluruh komunitas masyarakat, atau kehidupan pribadi, semua bisa terjadi. Tetapi kalau kita percaya bahwa hidup ini memang sementara, dan tragis, dan kita menantikan langit baru bumi baru, maka hati kita menjadi kuat karena kita menyongsong kedatangan Tuhan Yesus. 

    Ingat, bahwa ujung perjalanan hidup kita itu bisa kita jumpai kapan saja—bisa hari ini, besok, lusa, kapan pun—karenanya jangan berhenti dalam perjalanan. Artinya teruslah bertumbuh, lepaskan diri dari segala ikatan kesenangan dunia, makin hidup kudus, dan mengambil bagian dalam pelayanan, buatlah sesuatu yang berguna untuk pekerjaan Tuhan, supaya kita tidak hanya menghabiskan waktu kita untuk diri kita sendiri, untuk keluarga kita sendiri, untuk orang-orang yang kita kasihi sendiri. Ada banyak orang yang perlu perhatian kita, yang perlu kita kasihi. Masalahnya,

    MUSAFIR

    MUSAFIR

    Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan menuju satu tempat. Jadi, seorang musafir adalah seorang yang tidak akan menetap di satu tempat dalam waktu lama. Dia akan terus berjalan sampai ke tempat tujuan. Kita adalah musafir-musafir, perantau, atau yang dikatakan dalam firman Tuhan, kita adalah pendatang, atau bisa dikatakan, kita adalah orang-orang yang menumpang di bumi (1 Ptr. 1:17). Dalam teks aslinya, digunakan kata paroikias. Ironis, banyak orang Kristen lupa bahwa dia adalah orang yang menumpang di bumi, sehingga tidak melakukan perjalanan secara benar. Artinya, dia sering berparkir bahkan menetap di sebuah tempat, berarti gagal mencapai tujuan. 

    Bumi ini merupakan tempat kita menumpang sementara. Ini prinsip yang sangat dasariah atau fundamental. Kalau kita tidak mengerti hal ini, tidak merenungkannya dan menghayatinya dengan benar, maka tidak mungkin kita menjadi orang Kristen yang benar. Dengan menyadari dan menghayati bahwa kita adalah orang yang menumpang di bumi—kita adalah musafir, perantau yang sedang mengadakan perjalanan menuju satu tujuan—maka kita tidak akan membiarkan diri kita terikat oleh sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa kesenangan hidup, ikatan dosa atau nafsu atau berupa masalah-masalah yang mencuri perhatian dan fokus kita, sehingga kita tenggelam di dalam masalah-masalah tersebut. 

    Orang Kristen itu seperti bangsa Israel yang hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Lalu Tuhan menyuruh Musa untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan bangsa Mesir. 2000 tahun yang lalu, Tuhan Yesus datang ke dunia memikul dosa-dosa kita. Tuhan Yesus mengajak kita untuk diungsikan, untuk keluar dari dunia ini; dunia ini seperti Mesir, dan Tuhan menghendaki kita menuju Kanaan Surgawi. Kalau bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan menempuh jarak atau distance, tapi kita orang percaya sedang menjalani hidup menuju langit baru bumi baru, kita harus menempuh perubahan hidup. Kalau orang tidak menyadari dan tidak menghayati bahwa dirinya adalah musafir, maka ia tidak peduli dengan perubahan hidup—apakah tambah baik atau tidak—sebab fokusnya hanya kesenangan-kesenangan yang dapat diteguk dari dunia ini atau kenikmatan-kenikmatan dosa dalam daging dan jiwanya atau tenggelam dengan masalah-masalah yang digumulinya. 

    Dan setan berusaha agar orang-orang Kristen gagal fokus. Hati-hati, setan bisa memberi banyak kesenangan, kegirangan yang itu tidak kita nikmati bersama Tuhan. Dan setan menggiring kita ke dalam kegelapan abadi. Setan menawarkan kesempatan-kesempatan berbuat dosa dan menikmatinya sampai kita terikat dengan dosa-dosa itu, dan akhirnya kita tidak pernah bertumbuh. Bahaya, jangan sampai tertipu oleh kuasa kegelapan. Tidak bertumbuh dalam iman, sehingga menjadi pribadi yang materialistis, dan tidak berpikir bagaimana mengalami perubahan untuk semakin berkenan kepada Tuhan dan menyenangkan hati Tuhan. Banyak orang yang hidupnya dibelenggu oleh satu keinginan ke keinginan yang lain, dari satu barang ke barang yang lain. Yang akhirnya, semua yang dimiliki itu pun akan lenyap. Sementara manusia batiniahnya tidak terbentuk. Ini adalah orang-orang yang sebenarnya menyembah Iblis, sebab ketika kita mengingini dunia berarti kita menyembah Iblis. 

    Atau mereka yang didera banyak masalah, sehingga fokusnya hanya masalah itu saja; bagaimana bisa keluar dari masalah tersebut. Benar, kita semua punya masalah. Tapi jangan sampai masalah itu menenggelamkan kita. Kita harus menangkap, kita harus tahu, bagian mana dalam hidup kita yang Tuhan mau ubah melalui masalah tersebut. Jadi yang kita cari bukan hanya penyelesaian masalah itu sendiri, melainkan penyelesaian karakter kita yang masih buruk, karakter kita yang tidak senonoh, karakter kita yang tidak kudus. Tuhan membersihkan karakter-karakter buruk kita dengan masalah-masalah yang ada. 

    Dan kalau kita sadar, kita ini musafir yang sedang menuju langit baru bumi baru, kita tidak akan bersungut-sungut menghadapi keadaan apa pun,

    Menikmati Kematian Diri

    Menikmati Kematian Diri

    Kita nanti akan mengerti betapa asyiknya menikmati kematian diri. Karena ketika kita menikmati kematian diri, kita menikmati Tuhan. Firman Tuhan mengatakan, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Orang yang masih mengabdi kepada tuan lain, dia masih hidup; dia belum mati. Kalau dia mati, dia pasti hanya punya Tuhan. Jadi “mati” di sini maksudnya sama dengan menyangkal diri. Maka, yang pertama, jangan ingini apa pun. Kalau kita mengingini sesuatu, sesuatu itu harus berguna untuk pekerjaan Tuhan, bukan untuk menyenangkan diri kita. 

    Yang kedua, jangan berbuat dosa. Ini terkait dengan yang pertama, karena kita menikmati dosa, menikmati kedagingan, itu membuat kita tidak bisa berjalan seiring dengan Tuhan. Tuhan itu punya tatanan dan sempurna. Dalam 1 Petrus 1:16 tertulis, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Setan tahu bahwa kalau kita hidup kudus itu membahayakan sekali baginya. Tuhan tidak ingin kehilangan satu jiwa pun. Setan rupanya juga tidak ingin kehilangan satu jiwa. Dia mau setiap orang itu masuk dalam persekutuan dengan kerajaan gelap. Maka mari kita melakukan apa yang Tuhan perintahkan: mati. Kalau tidak mati, kita tidak akan bisa dipenuhi Roh Kudus. Bejana hati kita masih ada isi, tidak bisa penuh. 

    Kita sudah terlalu lama dininabobokan dengan agama Kristen yang tidak sesuai dengan kekristenan yang sejati, yang mestinya berbasis pada pribadi Yesus yang melepaskan semuanya demi menunaikan tugas Bapa. Ini benar-benar konyol, tetapi inilah yang wajar dan benar. Kita menjadi orang-orang yang diberkati Tuhan, menjadi kekasih Tuhan, dimiliki Tuhan, dan memiliki Tuhan. Kalau kita tidak benar-benar mati, berarti kita masih memiliki hak, maka kita tidak bisa dimiliki Tuhan dan memiliki Tuhan. Seluruh hidup kita adalah milik Tuhan. Tidak ada yang berhak kita miliki. Tidak salah menikah, punya anak, membangun rumah tangga, tapi dasarnya apa? Kalau dasarnya karena orang lain juga menikah dan punya anak, itu meleset.

    Kadang-kadang kita punya perasaan masih tersinggung atau apa, itu menunjukkan yang kita belum 100% dimiliki Tuhan. Dan sejujurnya, kita masih ada begitu, kadang-kadang. Kalau dikhianati, direndahkan, masih ada luka. Berarti kita masih memiliki diri sendiri, dan itu salah. Tuhan melatih kita untuk memiliki perasaan Tuhan. Kita harus rela kehilangan nyawa, baru memperoleh nyawa, demikian firman Tuhan. Menikmati kematian diri berarti menikmati Tuhan, karena ketika kita mati bagi diri kita sendiri, Yesus hidup di dalam diri kita. Yesus tidak bisa hidup dalam diri kita kalau kita masih hidup. Tuhan tahu kita butuh makan, kendaraan, dan lain-lain. Tuhan tahu, selama kita mengingini hal itu untuk pekerjaan-Nya, Tuhan pasti cukupi, Tuhan pasti memberi. Kalau dikatakan kita tidak boleh punya kesenangan, bukan berarti lalu kita tidak senang hidup. Kita mau sampai ke titik zenit; titik puncak kekristenan.

    Menikmati kematian kita itu indah sekali. Menikmati Tuhan itu indah. Lalu mengapa hadirat Tuhan tidak terasa di dalam gereja? Karena kita tidak berani mati, pemimpinnya tidak berani mati total, sehingga hadirat Tuhan tidak nyata. Karena tidak berani mati, maka kita tidak berjumpa Tuhan. Sehingga jemaat pun akhirnya digiring, dipenjara dalam penjara agama Kristen. Tidak ada perjumpaan dengan Tuhan dan tidak pernah berjumpa. Dan Tuhan bisa membiarkan itu kalau seseorang memang keras kepala. Maka, para gembala—juga para pengajar—harus berani membayar harga. Kalau kita tidak mati, kita tidak akan bisa jadi bejana Tuhan. Satu solusinya: mati. Kita akan membawa hadirat Tuhan di mimbar, kita akan menemukan kebenaran-kebenaran Tuhan yang membuat orang tercandui untuk mendengar khotbah. 

    Kalau hanya mau pintar khotbah, mudah. Baca banyak buku, bikin persiapan di perpustakaan. Tapi untuk menghidupkan Tuhan, kita harus mati. Dan Tuhan pasti menyisakan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari Tuhan. Tidak dibutuhkan gelar kesarjanaan kita, tapi ketika kita hadir, Tuhan hadir bersama kita.

    Mengawasi Diri

    Mengawasi Diri

    Mengapa orang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Perjumpaan dengan ilmu tentang Tuhan mudah sekali diperoleh. Ironis, orang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan, merasa sudah berjumpa dengan Tuhan. Ada satu syarat untuk bisa mengalami Tuhan, yaitu harus rendah hati. Kalau tidak rendah hati, nanti penuh perbantahan, rejection; menolak. Tuhan mengingatkan kita, “Awasi dirimu dan awasi pengajaranmu.” Orang bisa mengawasi pengajaran, tapi tidak mengawasi diri. Tidak ada cara lain untuk kita bisa mengawasi diri sehingga mengenal diri dengan baik kecuali bertemu dengan Tuhan. Orang berdoa juga belum tentu bertemu dengan Tuhan. Sebab kalau tidak sungguh-sungguh mencari hadirat Tuhan, tidak bisa. 

    Karena untuk bertemu Tuhan, syaratnya satu kata: mati. Allah tidak bisa kompromi. Kalau orang belum “mati”, dia belum bisa bertemu Tuhan. Sehingga dia tidak akan mungkin mengajarkan kebenaran yang membuat orang berubah. Tentu kita mengerti maksud “mati” di sini bukan mati secara fisik, lalu dikubur. Namun, yang dimaksud oleh Alkitab adalah kehilangan nyawa. Ini sama dengan menyangkal diri. Dulu, pengertian kita atas kata ‘menyangkal diri’ adalah menolak perbuatan salah. Padahal menyangkal diri lebih dari itu. Menyangkal diri sama dengan kehilangan nyawa, mati. Jadi harus ada satu momentum di mana kita bersedia mati.

    Namun kadang-kadang di momentum tersebut kita berikrar mati, tapi ternyata belum utuh; masih hidup. Masih ada kedagingan, nafsu, cita-cita, kesombongan, harga diri. Nanti ada momentum baru lagi, kita berkomitmen lagi. Sampai pada satu titik kita benar-benar mati. Kalaupun masih ada unsur-unsur manusia lama, itu adalah proses. Namun ingat, kalau kita belum mati, kita tidak bisa menjadi anak-anak Allah. Ini untuk standar umat Perjanjian Baru, yang memang proyeksinya adalah menjadi seperti Kristus, “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Inilah kekristenan yang sejati. 

    Orang Kristen di abad mula-mula dilanda aniaya yang begitu hebat. Dari lahir sampai meninggal dunia, mereka mengalami penganiayaan. Dan penganiayaan atau persekusinya tidak seperti hari ini, yang orang masih memiliki nurani untuk menghargai hak-hak asasi orang lain. Waktu itu bengis, kejam, sadis, jahat. Dipancung kepalanya seperti Paulus, atau seperti Petrus digoreng di belanga panas. Dibakar hidup-hidup. Kenapa Tuhan mengizinkan itu? Karena Tuhan mau memurnikan gereja-Nya. Orang yang mengikut Tuhan Yesus harus kehilangan segala sesuatu. 

    Lukas 16:11-12, “Jadi, kalau kamu tidak setia dalam hal mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu?” Artinya, kita tidak boleh bermilik. Itulah sebabnya di dalam Injil Matius 19:21 dikatakan, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Seseorang yang mau ikut Yesus, tidak cukup melakukan hukum, tapi ia harus menjual segala milik dan memberikannya kepada orang miskin, maka barulah dia memperoleh harta di surga. Ini tentu tidak boleh secara harfiah kita kenakan, belum tentu. Bisa ya, bisa tidak. Tetapi maksudnya adalah jangan ada belenggu, semua harus dilepaskan; ‘mati.’ 

    Itulah sebabnya syarat untuk bisa berjumpa dengan Tuhan adalah kehilangan nyawa. Orang seperti ini baru bisa benar-benar hidup suci. Jadi komitmennya adalah mati demi Tuhan. Kita harus mati untuk diri sendiri, tapi hidup bagi Tuhan. Mestinya kita harus berani, sebab upah yang tersedia itu besar. Paulus mengatakan, “Penderitaan zaman sekarang ini tidak ada artinya dibanding kemuliaan yang kita akan peroleh.” Hamba Tuhan yang belum mati, pasti mencari keuntungan. Dia bisa menjadi pegawai gereja, tetapi tidak menjadi pegawai Tuhan. Karena mereka mencari hidup, bukan memberi hidup.

    Kebodohan

    Kebodohan

    Yang membuat hidup seseorang itu dinamis bergerak dan bergairah adalah tujuan yang hendak dicapai, atau harapan yang hendak dicapai. Kalau orang tidak memiliki tujuan yang menjadi pengharapan untuk dicapai, maka hidup orang tersebut pasti tidak bergairah, pasti tidak bersemangat. Seperti zombie, bergerak tapi tidak memiliki nyawa. Ironis, banyak manusia seperti ini di sekitar kita. Jangan-jangan kita termasuk kelompok itu, apalagi kalau seseorang sudah didera dengan banyak persoalan, ditekan dengan berbagai persoalan, plus dengan melalui atau mengalami kegagalan-kegagalan hidup.

    Betapa malangnya orang-orang seperti ini. Mereka hanya menunggu keadaan makin memburuk. Sejujurnya, sebagian besar manusia itu bodoh. Kebodohan manusia disebabkan karena ia tidak mengenal rencana Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa dunia ini ada bukan karena kebetulan, yang ada dengan sendirinya. Dunia diciptakan karena ada yang merancang dengan keadaan yang sangat sempurna. Sang Pencipta menaruh makhluk ciptaan-Nya yang agung, yang dibuat mirip dengan diri-Nya. Ini fakta penting yang kita harus selalu ingat. Manusia itulah makhluk tersebut, yang lebih elok dari semua hewan, tanaman, atau apa pun.

    Manusia diciptakan mirip dengan diri Allah sendiri, dan makhluk ini satu-satunya yang menerima hembusan nafas Allah. Jadi kita bisa mengerti mengapa Allah begitu mencintai manusia. Karena manusia adalah anak-anak Allah. Hanya, sayangnya, manusia tidak taat, tidak dengar-dengaran, tidak patuh. Sehingga keindahan ciptaan Allah yang sempurna ini tidak bisa dinikmati oleh manusia. Sebab tidak mungkin manusia yang memberontak bisa menikmati ciptaan Allah yang sempurna. Bumi yang begitu elok ini pun ikut terkutuk. Yang nanti suatu hari akan menjadi lautan api.

    Allah Yang Maha Baik, yang penuh belas kasihan, memberi jalan keluar agar manusia yang memberontak ini bisa dipulihkan, bisa diperbaiki. Maka Allah mengutus Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Yesus menebus dosa-dosa kita, sehingga semua perbuatan dosa kita dipikul-Nya di kayu salib. Dan yang kedua, harus juga diingat, Tuhan Yesus mau mengubah kita dari manusia yang memberontak menjadi manusia yang taat. Jadi, setelah kita menjadi Kristen artinya kita harus melakukan kehendak Bapa. Melakukan kehendak Bapa ini sulit karena: pertama, Bapa tidak kelihatan, maka sulit untuk mengerti kehendak-Nya; kedua, daging kita ini lebih bertentangan dari kehendak Allah.

    Yang ketiga, pengaruh dunia di sekitar kita yang semakin jahat. Kebanyakan orang memberontak kepada Allah. Dan yang keempat, ada kuasa kegelapan yang tidak kita lihat juga, yang terus menggoda, mencobai, membujuk supaya kita tidak hidup dengar-dengaran. Makanya banyak orang tidak hidup dalam ketaatan. Hidup itu singkat dan tragis. Hidup memang tidak jelas. Namun, hal ini bukan membuat kita jadi pesimis menghadapi hidup. Tuhan pasti menyertai kita melewati hari-hari, tetapi kita optimis bahwa di balik kehidupan kita di bumi ada langit baru bumi baru. 

    Gairah kita sekarang harus benar, yaitu melakukan kehendak Bapa. Orang yang tidak melakukan kehendak Bapa pasti dibuang. Matius 7:21-23, “Enyahlah kamu dari hadapan-Ku, kamu yang tidak melakukan kehendak Bapa.” 

    Kiranya itu yang harus menjadi gairah hidup kita, sementara kita bekerja, cari nafkah. Gairah kita yang paling kuat, yang menggerakkan hidup kita, adalah melakukan kehendak Bapa. Bapa tidak kelihatan. Maka, untuk bisa kelihatan, kita harus pertajam dengan doa. Seperti kabut, lama-lama akan nampak. Mata iman kita akan tajam. Tuhan tidak kelihatan, tapi Dia hidup. Roh Kudus pasti memimpin kita. Melakukan kehendak Tuhan itu tidak mudah, karena nafsu daging kita ini berlawanan dengan kehendak Allah. Tapi kita harus belajar menyangkal diri. Roh Kudus akan menolong kita. 

    Malangnya, kita sering tidak menyadari kekalahan atau kesalahan itu, lalu menjalani hidup seakan-akan aman, padahal itu mengerikan. Setiap kali kita berbuat salah, kita berkata,

    Berlindung dalam Kesucian

    Berlindung dalam Kesucian

    Percaya kepada Tuhan, mengandalkan dan berlindung kepada-Nya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan penurutan terhadap kehendak-Nya. Seseorang tidak bisa percaya, mengandalkan, dan bergantung kepada Tuhan kemudian berharap pertolongan-Nya, jika tidak hidup di dalam kesucian dan kebenaran-Nya. 

    Jadi, yang pertama, orang yang masih berbuat dosa, dan yang kedua, terikat dengan kesenangan dunia; dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Kalau orang masih hidup dalam dosa, dia pasti mencintai dunia. Orang yang mencintai dunia, pasti tidak hidup di dalam kekudusan. Orang seperti ini tidak bisa percaya kepada Tuhan dengan benar, sehingga ia tidak bisa dan tidak layak berlindung kepada Tuhan; tidak pantas atau tidak layak menerima perlindungan Tuhan. 

    Kita harus bisa sampai pada penghayatan untuk berkata, “Aku perlu Engkau, Tuhan,” dan kita menyadari bahwa kita tidak bisa hidup dalam kehidupan yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Kesadaran itu harus muncul di dalam diri kita, dan akan muncul ketika kita berkata, “Tuhan, pegang tanganku. Tuhan, lindungi aku. Tuhan, aku perlu Engkau.” Maka ia juga bisa menghayati bahwa ia tidak bisa hidup dalam dosa dan percintaan dunia. Penghayatan ini bisa dimiliki oleh orang-orang yang hatinya lurus, yang bertumbuh dalam kedewasaan, yang nuraninya bersih, dan hatinya tidak bengkok. 

    Tetapi kalau hati orang bengkok, tidak lurus, tidak dewasa, dan nuraninya tidak bersih, dia bisa berkata kepada Tuhan, “Lindungi aku, tolonglah aku, Tuhan,” sementara dia masih hidup dalam dosa dan percintaan dunia. Sebenarnya orang-orang seperti ini memperdaya Tuhan. Tentu mereka tidak menghormati Tuhan dan tidak menyembah Tuhan. Dulu ketika kita belum dewasa, ada dalam sikap hati dan sikap hidup seperti itu. Kita begitu manipulatif; memanfaatkan Tuhan. Kita berdoa mohon pertolongan Tuhan, sementara kita masih memuaskan keinginan kita sendiri. Kita tidak sungguh-sungguh hidup di dalam kesucian, tidak sungguh-sungguh hidup dalam percintaan dan kecintaan kepada Tuhan, tetapi percintaan dengan dunia. Mungkin dulu kita seperti itu. 

    Bersyukur kita sadar bahwa itu kesalahan, sikap yang naif dan kekanak-kanakan, dan tentu itu tidak membuat hati Tuhan disenangkan. Maka, kita harus terus bertumbuh dewasa. Kita harus bisa menanggalkan percintaan dunia, melepaskan hobi-hobi, tidak terikat hiburan dunia. Kita mulai menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan kita untuk hidup dalam kekudusan. Sementara itu, Tuhan memperhadapkan kita dengan masalah-masalah yang kadang lebih berat dari masalah-masalah yang pernah kita hadapi, supaya kita bergantung dan berlindung kepada Tuhan; masalah-masalah yang tidak bisa kita selesaikan, kecuali dengan pertolongan Tuhan. Dan kita layak menerima pertolongan Tuhan kalau kita hidup di dalam kesucian. 

    Dari pengalaman itu, maka lahirlah kesaksian hidup dan kebenaran bahwa menyelesaikan masalah-masalah berat hanya bisa dilakukan dengan satu cara: kesucian hidup. Mungkin kita bertanya, “Apa hubungan masalah ekonomi, masalah rumah tangga, masalah hukum, masalah polisi, dengan kesucian?” Sepertinya tidak “nyambung”, tapi sebenarnya ini sangat berkaitan. Hadapi dan lawan masalah kita dengan kekudusan! Buktikan bagaimana tangan Tuhan yang kuat akan melindungi dan menjagai kita. 

    Dan ketika kita masuk pada pengalaman ini, hidup kita akan melimpah dengan kecintaan kepada Tuhan. Ketika hati kita melimpah dalam kecintaan dengan Tuhan, maka kita rela berbuat apa pun untuk Tuhan. Ketika kita rela berbuat apa pun untuk Tuhan, pasti Tuhan akan memercayakan proyek-proyek pekerjaan-Nya. Tuhan mau pekerjaan-Nya dilakukan orang-orang yang betul-betul haus dan rindu menyenangkan hati-Nya; orang-orang yang sudah rela melepaskan segala sesuatu yang ada padanya untuk Tuhan.

    Dalam kehidupan orang percaya yang benar, maka ia akan bisa menghayati bahwa tanpa kesucian ia tidak layak minta perlindungan Tuhan. Orang-orang seperti ini akan terus bertumbuh dalam...

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Omar Suleiman
Muslim Central
Mufti Menk
Muslim Central
Allah Sayang
HijrahEd
Nouman Ali Khan
Muslim Central
Ustaz Wadi Anuar - Umat Akhir Zaman
AFR
Pr Sarah Aye Weekly Sermon
Pr Sarah Aye