FTW Media Magdalene Indonesia
-
- Nieuws
sebuah podcast yang membahas bagaimana macam-macam media menggambarkan perempuan, serta dampaknya di kehidupan sehari-hari.
Podcast ini didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia. Selengkapnya kunjungi womenlead.magdalene.co.
-
Episode 12- Menjadi Konsumen Media yang Berdaya
Enggak terasa FTW Media sudah sampai episode terakhir aja, nih. Dari perjalanan kami mengupas representasi perempuan di media, ternyata masih banyak di antaranya yang nggak sensitif gender dalam pemberitaannya.
Masalahnya beragam banget, mulai dari seksisme, seksualisasi, stereotipe, hingga yang suara perempuan yang masih minim terwakilkan di media. Memang sih, saat ini sudah ada beberapa perubahan dengan inisiatif menarik seperti Womenunlimited.id, sebuah database berisi narasumber peeempuan di berbagai sektor. Dalam iklan kita juha bisa melihat kampanye suami sejati dari kecap ABC, dan lain-lain.
Tapi perubahan kayak gini nggak akan menjamur kalau konsumen kayak kita juga enggak mendukungnya. Kita bisa lho, mendorong produsen atau media untuk menggambarkan gender dengan lebih fair.
Yuk simak episode terakhir FTW Media ini!
Nah, kamu punya komentar, masukan atau pertanyaan terkait bahasan ini? Kamu bisa sampaikan melalui editor@magdalene.co atau bisa melalui pesan di media sosial kami ya! -
Episode 11 - Di mana Suara Perempuan dalam Pemberitaan Media
Pernah nggak sih, kamu memperhatikan berapa jumlah narasumber perempuan dalam berita-berita yang kamu baca setiap hari? Satu? Dua? Memang jarang ya, kita melihat narasumber perempuan dikutip dalam artikel serius, apalagi terkait topik seperti politik dan ekonomi?
Ini bukan kebetulan, loh. Faktanya, fenomena macam ini terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Laporan dari Tempo Institute menyatakan bahwa dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11 persen atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan.
Kenapa ya, masih sedikit narasumber perempuan yang dikutip media? Kenapa sih, suara mereka penting untuk dimunculkan? Terus, gimana dong caranya meningkatkan suara narasumber perempuan dari berbagai sektor? -
Episode 10 - Marking dan Stereotyping Perempuan di Media
Pernah enggak sih kamu perhatiin orang-orang melanesia atau Indonesia Timur lebih sering digambarkan sebagai preman, atau orang jahat di sinetron dan film.
Kalau pun mereka tidak digambarkan jahat, biasanya dijadikan bahan olok-olokan dan digambarkan tidak bisa tertib dan suka membuat onar.
Penampilan mereka pun biasanya digambarkan sebagai orang berkulit gelap dengan rambut yang keriting. Padahal tidak semua Melanesia berpenampilan seperti itu loh.
Alih-alih memberikan edukasi dan representasi yang baik untuk teman-teman minoritas, media malah menyebarkan representasi keliru seperti ini yang ujungnya bakal sangat merugikan kelompok minoritas.
Lantas, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengurangi representasi keliru ini? Sebetulnya, sudah sejauh mana sih media memperbaiki isu ini agar mereka lebih inklusif terhadap kelompok minoritas? -
Episode 9 - Seksploitasi Penyanyi Perempuan
Di dunia dangdut, bukan hal langka mendapati penyanyi perempuan bergoyang erotis dan kerap mendapat pelecehan dari penonton laki-laki. Mulai dari saweran yang diselipkan di belahan dada hingga aksi meraba bagian tubuh si penyanyi perempuan saat si penonton laki-laki berjoget bersamanya di panggung. Emang harus banget ya seperti ini?
Bagaimana dengan genre musik yang lain? Sayangnya di genre lain pun, sebagian penyanyi perempuan enggak luput dari eksploitasi, mulai secara ekonomi sampai seksual.
Apa memang mustahil bagi penyanyi perempuan untuk mendapatkan ruang aman untuk berkarya? Apa saja yang bisa kita lakukan agar ruang aman tersebut dapat terwujud? -
Episode 8 - Realita, Cinta, dan Romantisasi Kekerasan di Layar Lebar
Tahun lalu, film asal Polandia "365 Days" sempat ramai diperbincangkan setelah tayang di Netflix.
Bercerita tentang romansa antara mafia Italia Massimo Torricelli dengan Laura Biel, seorang direktur penjualan sebuah hotel di Warsawa, Polandia, film ini menuai banyak kritik karena dianggap mengglorifikasi kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kritik terhadap film tersebut juga berlaku untuk banyak film yang mengangkat tema kekerasan seksual lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
Apa saja akibat pelanggengan kekerasan terhadap perempuan dalam film ya? Ada enggak sih, film-film lain yang ngomong soal kekerasan terhadap perempuan tapi enggak diglorifikasi? -
Episode 7 - Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron
Kamu pasti familiar banget dengan plot sinetron "Pintu Berkah" dan "Kisah Nyata", di mana karakter istri di dalam sinetron tersebut selalu digambarkan teraniaya dan terlampau baik. Ketika ia digambarkan menjadi antagonis, sifat jahatnya tampak enggak realistis banget.
Makin ke sini, rasanya banyak sinetron Indonesia yang semakin seragam: Tokoh perempuannya digambarkan entah sangat tipikal mulai dari super-pasrah dan terzalimi, tukang gosip, materialis, perayu, pelakor, atau mertua galak.
Ketika ada protes dari penonton soal kualitas plot dan karakter dalam sinetron, pihak industri sering berkilah "Loh kami kan cuma mengikuti selera pasar". Alasan klasik banget.
Apa iya industri memang memotret selera pasar? Apakah memang benar selera masyarakat selalu monoton dan cenderung menyudutkan perempuan? Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa mendorong keberagaman cerita dalam sinetron?