4 min

#14 Dibalik Bunyi Hujan Catatan Damar Ancala

    • Personliga dagböcker

Bunyi hujan yang membasahi atap begitu terdengar nyaring.
Langit terus bergemuruh hingga mencipta hening.
Batinku tersudut di pojok kamar tanpa bergeming.
Mataku terpejam dibalut kalut corak lukisan abstrak yang memenuhi dinding.

Kudengar sebuah nada berlirik sendu.
Kuterawang kembali jalan panjang ke belakang. Nampak bayang-bayang segala peristiwa terputar ulang.
Kemudian kutemui sebuah pikir
bahwa mungkin dengan semua yang terjadi padaku adalah agar membawaku untuk lebih dekat pada Pencipta hujan.

Pernah suatu ketika merasa bahwa waktuku tinggal sebentar saja berada di bumi.
Lantas hati bertanya, bekal apa yang bisa kubawa saat aku berpulang?
Amal apa yg bisa kuandalkan saat menjelang pertemuan?
Rasa-rasanya tak ada satupun atau sekecil apapun,
dan apakah Rasulku akan mengakui aku sebagai umatnya kelak saat dikumpulkan?
Sementara kehinaan dan kotornya diri adalah apa yang melekat sekarang.

Jika memang benar sebentar lagi waktuku untuk menikmati hujan di bumi ini,
akan kusampaikan permintaan maaf untuk setiap orang yang pernah menjumpai kesalahanku.

Bapak dan ibu, maafkan anak bungsumu yang masih menyusahkan.
Saudara sekeluarga,
maafkan saudaramu ini yang masih sama menyusahkan.
Sahabat-sahabatku, maafkan aku yang tak pernah berbuat atau berbagi kebaikan pada kalian selama kita saling berkawan,
dan teruntuk semua orang baik yang membaca tulisanku atau tidak,
maafkan atas segala kesalahan yang pernah terucap dan tersentuh. Duhai yang Maha Suci,
Mohon ampuni aku yang maha kotor ini.

Duhai yang Maha Besar,
Mohon ampuni aku yang maha kecil ini.

Duhai yang Maha Kuasa,
Mohon ampuni aku yang lemah tak berdaya ini.

Duhai yang Maha Penerima Taubat, Mohon ampuni aku yang banyak melakukan maksiat ini.

Duhai yang Maha Pemaaf,
Mohon ampuni aku yang kerap lalai dan khilaf ini,

dan duhai Rabb-ku Yang Maha Penyayang,
Mohon matikan aku seperti keadaan orang-orang yang kau sayangi.

Bunyi hujan yang membasahi atap begitu terdengar nyaring.
Langit terus bergemuruh hingga mencipta hening.
Batinku tersudut di pojok kamar tanpa bergeming.
Mataku terpejam dibalut kalut corak lukisan abstrak yang memenuhi dinding.

Kudengar sebuah nada berlirik sendu.
Kuterawang kembali jalan panjang ke belakang. Nampak bayang-bayang segala peristiwa terputar ulang.
Kemudian kutemui sebuah pikir
bahwa mungkin dengan semua yang terjadi padaku adalah agar membawaku untuk lebih dekat pada Pencipta hujan.

Pernah suatu ketika merasa bahwa waktuku tinggal sebentar saja berada di bumi.
Lantas hati bertanya, bekal apa yang bisa kubawa saat aku berpulang?
Amal apa yg bisa kuandalkan saat menjelang pertemuan?
Rasa-rasanya tak ada satupun atau sekecil apapun,
dan apakah Rasulku akan mengakui aku sebagai umatnya kelak saat dikumpulkan?
Sementara kehinaan dan kotornya diri adalah apa yang melekat sekarang.

Jika memang benar sebentar lagi waktuku untuk menikmati hujan di bumi ini,
akan kusampaikan permintaan maaf untuk setiap orang yang pernah menjumpai kesalahanku.

Bapak dan ibu, maafkan anak bungsumu yang masih menyusahkan.
Saudara sekeluarga,
maafkan saudaramu ini yang masih sama menyusahkan.
Sahabat-sahabatku, maafkan aku yang tak pernah berbuat atau berbagi kebaikan pada kalian selama kita saling berkawan,
dan teruntuk semua orang baik yang membaca tulisanku atau tidak,
maafkan atas segala kesalahan yang pernah terucap dan tersentuh. Duhai yang Maha Suci,
Mohon ampuni aku yang maha kotor ini.

Duhai yang Maha Besar,
Mohon ampuni aku yang maha kecil ini.

Duhai yang Maha Kuasa,
Mohon ampuni aku yang lemah tak berdaya ini.

Duhai yang Maha Penerima Taubat, Mohon ampuni aku yang banyak melakukan maksiat ini.

Duhai yang Maha Pemaaf,
Mohon ampuni aku yang kerap lalai dan khilaf ini,

dan duhai Rabb-ku Yang Maha Penyayang,
Mohon matikan aku seperti keadaan orang-orang yang kau sayangi.

4 min