9 episodes

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

Radio Rodja 756 AM Radio Rodja 756AM

    • Religion & Spirituality

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Zulhijjah 1445 H / 10 Juni 2024 M.















    Download kajian sebelumnya: Shalat Khauf







    Kajian Tentang Shalat dalam Keadaan Sangat Genting







    Pada kesempatan sebelumnya, kita sudah membahas tentang shalat khauf, yaitu shalat ketika keadaan genting, seperti saat menghadapi musuh. Kita telah membahas bahwa shalat khauf memiliki empat cara yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kini, kita akan membahas satu cara lagi, yaitu ketika keadaan menjadi sangat genting sekali.







    Jika sebelumnya keadaan genting saat menghadapi musuh masih memungkinkan kaum muslimin untuk membuat barisan, dari satu sisi masih ada kelonggaran karena masih bisa mengkondisikan keadaan, tapi dari sisi lain ada kegentingan karena berhadapan dengan musuh.







    Namun, kali ini kita akan membahas keadaan yang sangat genting, seperti di tengah-tengah peperangan, di mana kita tidak bisa mengondisikan diri, tidak bisa berbaris, atau bahkan berdiri.







    Disebutkan bahwa apabila ketakutan menjadi sangat tinggi atau keadaan genting menjadi luar biasa sampai-sampai mereka tidak bisa shalat berjamaah seperti sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi mereka masih punya harapan bahwa keadaan tersebut bisa berakhir sebelum berlalunya waktu yang mukhtar (waktu ikhtiar), maka mereka disunnahkan untuk mengakhirkan shalatnya. Misalnya, waktu shalat ashar memiliki waktu mukhtar sampai sebelum matahari menguning. Ketika matahari menguning, itu adalah waktu darurat, sehingga tidak boleh mengakhirkan shalat sampai waktu tersebut kecuali ada udzur.







    Namun, apabila tidak ada harapan untuk itu dan waktu ikhtiar telah habis, sedangkan keadaan masih sangat genting, maka disebutkan bahwa mereka terpaksa shalat dengan cara isyarat sesuai kemampuan mereka. Misalnya, jika harus tiarap, maka shalat dalam keadaan tiarap; jika bisa duduk, maka shalat dalam keadaan duduk; jika bisa berdiri, maka shalat dalam keadaan berdiri; jika bisa rukuk, maka harus ada rukuknya; jika bisa sujud, maka harus ada sujudnya. Jika tidak bisa, maka rukuk dan sujudnya dilakukan dengan isyarat, yaitu dimana isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat rukuk.







    Lalu bagaimana jika tidak bisa melakukan isyarat, misalnya dalam keadaan tiarap? Kita tidak bisa membungkukkan badan lebih rendah ketika sujud daripada ketika rukuk. Maka lakukan isyarat semampunya.







    Jika tidak bisa shalat kecuali dalam keadaan berjalan, maka lakukan shalat dalam keadaan berjalan. Jika tidak bisa shalat kecuali dengan naik kendaraan, maka lakukan shalat dengan naik kendaraan. Hal ini karena keadaan yang sangat genting. Seperti ini sebenarnya tidak boleh dilakukan dalam shalat, tapi karena keadaan sangat genting sekali. Bahkan jika tidak bisa menghadap kiblat, maka shalatlah tanpa menghadap kiblat. Ini sudah merupakan keadaan darurat. Para ulama mengatakan الضرورات تبيح المحظورات (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang asalnya diharamkan).







    Setelah melakukan shalat dengan cara yang seperti itu, jika kemudian keadaan aman kembali, maka tidak perlu mengulangi shalat tersebut, baik waktunya masih tersisa ataupun sudah lewat. Karena shalat tersebut itu masih sesuai dengan tuntunan...

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 27 Dzulqa’dah 1445 H / 4 Juni 2024 M.















    Kajian Tentang Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan







    Kita akan melanjutkan poin tentang beberapa kesalahan yang harus dihindari. Ada tiga poin yang sudah kita bahas, terakhir adalah memaksakan pendapat tanpa memberi penjelasan, yaitu tanpa menyertakannya dengan argumentasi.







    Khusus remaja, tentunya dalam proses kedewasaan, akal mereka sudah semakin sempurna dan matang. Tentu mereka tidak bisa menerima atau menelan apapun mentah-mentah. Mereka sudah bisa berpikir kritis, dan kadang-kadang ini yang menjadi masalah bagi orang tua yang tidak siap untuk berargumentasi dengan remajanya dan masih menganggap mereka seperti anak kecil yang harus nurut saja.







    Memang anak harus menaati dan menuruti orang tua dalam perkara yang makruf. Hanya saja, kita juga harus pahami bahwa ketika anak itu remaja, akalnya sudah berkembang dan dia tidak bisa menerima begitu saja apa yang kita katakan. Tentunya kita juga ingin dia tidak menerima omongan siapapun di luar sana tanpa alasan. Maka itu harus dibangun dari rumah. Jangan kita biasakan dia menelan apapun mentah-mentah. Sehingga tanpa disadari, orang tua telah memberikan contoh taklid kepada anak.







    Orang tua harus siap untuk menyampaikan argumentasi, dan itu bukan suatu hal yang salah jika anak meminta argumentasi. Itu harus dipahami dan dimaklumi oleh orang tua. Maka kadang-kadang kita perlu, misalnya, menyampaikan satu instruksi, pendapat, atau pandangan dengan menyertakan argumentasi. Tidak lagi dengan kata-kata yang mengandung pemaksaan seperti “ikuti saja, titik,” atau “jangan banyak tanya, jangan banyak bicara.” Itu membungkam bukan hanya mulutnya, tetapi juga otaknya.







    Hal ini tidak baik bagi anak remaja, khususnya untuk mendidik mereka berpikir kritis. Begitulah fitrahnya manusia, seiring dengan bertambahnya usia, maka semakin matang akalnya. Maka jangan dimentahkan dengan kata-kata seperti yang banyak diucapkan oleh orang tua, “Kamu ikuti saja kata ibu, titik. Jangan banyak tanya.”







    Kita juga ingin dia itu mengikuti kata-kata kita, tapi tentunya berbeda ketika kita menghadapi bocah dengan anak remaja. Kalau bocah, mungkin kita berkata seperti itu karena dia belum bisa berpikir, belum matang akalnya, bahkan masih sangat mentah. Tapi, remaja berbeda.







    Demikian seperti nabi ketika berkomunikasi atau berdialog dengan remaja. Nabi selalu menyertakan alasan: mengapa beliau perintahkan, mengapa beliau anjurkan, mengapa beliau suruh demikian. Padahal beliau seorang nabi. Kita sudah angkat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ketika Nabi Ibrahim mengajak Ismail untuk melaksanakan perintah untuk menyembelihnya, Nabi Ibrahim tidak langsung mengambil pisau dan mengeksekusi. Tidak, tapi beliau menghargai kematangan akal anaknya, Ismail, yang saat itu, kata Allah, sudah masuk usia rusyd, dimana dia sudah bisa berdiri sendiri dan mengurus dirinya sendiri.







     فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ







    “Bagaimana menurut pendapatmu?” (QS. As-Saffat[37]: 102)







    Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.







    Download mp3 Kajian

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 27 Dzulqa’dah 1445 H / 4 Juni 2024 M.







    Kajian sebelumnya: Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji















    Kajian Tentang Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji







    Kita masih pada bab larangan dari sikap membangga-banggakan diri dan sikap melampaui batas atau berbuat zalim kepada orang lain. Hadits yang telah kita bahas adalah hadits pertama dari bab ini, yaitu hadits ‘Iyadh bin Himar Radhiyallahu ‘Anhu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,







    إنَّ اللهَ تَعَالَى أوْحَى إلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ، وَلاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ







    “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang bersikap melampaui batas kepada orang lain, dan tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas yang lainnya.” (HR. Muslim)







    Hadits ini menunjukkan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi ‘Alaihish Shalatu was Salam. Allah memerintahkan kepada beliau untuk menyampaikan kepada umat agar bersikap tawadhu (rendah hati), karena dengan sikap tawadhu dan rendah hati ini, maka seorang tidak akan mendzalimi saudaranya. Maka hendaknya seorang mukmin memiliki sifat rendah hati.







    Rendah hati ini sebagai penawar dari kedzaliman. Jika seorang tidak rendah hati, dia takabur, sombong, dan angkuh, maka dia akan melampaui batas terhadap orang lain. Tetapi ketika dia memiliki sifat tawadhu, maka dia tidak akan mendzalimi orang lain. Ini satu arahan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.







    Dan janganlah seorang membanggakan dirinya atas orang lain. Apa yang perlu dibanggakan? Manusia ini penuh dengan kekurangan, khilaf, kesalahan dan kelemahan. Makanya Rasul ‘Alaihish Shalatu was Salam melarang orang membanggakan dirinya atas orang lain. Apalagi yang menunjukkan kemuliaan seorang hamba adalah ketakwaannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,







    …إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ…







    “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu sekalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat[49]: 13)







    Maka hal-hal yang dibanggakan selain ketakwaan adalah tidak dibenarkan. Misalnya orang bangga dengan keturunan dan hartanya, padahal harta tidak akan mengekalkan dia di dunia ini, harta juga tidak akan menjadi penyelamat baginya di akhirat kelak, kecuali harta yang dimanfaatkan di jalan Allah. Demikian pula keturunan. Keturunan yang dibanggakan tidak akan bisa menolong di hari kiamat kelak, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim. Kata beliau ‘Alaihish Shalatu was Salam,







    مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ







    “Siapa yang diperlambat (masuk surga) oleh amalnya, maka dia tidak bisa dipercepat dengan keturunannya.” (HR. Muslim)







    Jadi, janganlah membanggakan diri.

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 26 Dzulqa’dah 1445 H / 3 Juni 2024 M.















    Kajian tentang Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri







    Kita masih berbicara tentang bagaimana tipu daya iblis terhadap kaum sufi dalam hal merendahkan dan menghinakan diri sendiri. Di antaranya, kemarin kita bahas satu riwayat yang dinukil oleh mereka dari Abu Abdillah Al-Husri. Dia bercerita bahwa selama 20 tahun, Abu Jafar Al-Haddad bekerja tiap hari dengan upah 1 dinar, dan uang itu secara rutin dia infakkan kepada orang-orang fakir. Dia juga berpuasa dan biasa keluar antara Maghrib dan Isya untuk mengetuk pintu-pintu rumah manusia meminta sedekah untuk berbuka puasa kepada mereka. Jadi, orang ini bekerja dan punya penghasilan, tapi semua penghasilan itu dia infakkan. Lalu, dia berpuasa tiap hari, dan antara Maghrib dan Isya untuk buka puasa dia tidak punya uang, sehingga harus mendatangi pintu-pintu rumah manusia dan meminta mereka makanan berbuka.







    Ini perkara yang tidak sejalan dengan pendidikan yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa kita dilarang untuk menginfakkan semua harta hingga tidak tersisa untuk kita, karena diri kita juga punya hak, dan apa yang kita keluarkan untuk diri kita juga terhitung sedekah. Jadi, sedekah yang kita keluarkan untuk manusia tentunya tidak menghabiskan dan meludeskan harta kita sehingga harus meminta-minta kepada manusia. Inilah yang dilarang nabi kepada Sa’ad bin Abi Waqqas ketika ingin menginfakkan separuh dari hartanya. Nabi mengatakan, “Sepertiga saja, dan sepertiga itu juga sudah banyak. Engkau tinggalkan keluargamu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada manusia.”







    Lihat: Wasiat Adalah Untuk Selain Ahli Waris – Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-183







    Jadi, tidak boleh semua kita infakkan sehingga tidak ada yang tersisa untuk diri kita, sebab apa yang kita keluarkan untuk diri kita juga terhitung sedekah. Yang kita keluarkan untuk keluarga kita juga terhitung sedekah, karena mereka punya hak, diri kita juga punya hak yang harus kita tunaikan. Maka sikap seperti ini tentunya keliru. Mungkin sebagian orang berdalil dengan kisah Abu Bakar yang menginfakkan semua hartanya lalu mengira bahwa betul-betul ludes tidak tersisa sedikit pun untuk dirinya. Ini adalah satu pemahaman yang keliru.







    Maksudnya, “semua” di sini bukan artinya habis tidak tersisa sama sekali. Maksudnya adalah sebagian besarnya, bukan semua sehingga setelah itu kita harus mengemis karena tidak punya apa-apa. Menyedekahkan semuanya itu tidak sejalan dengan pengajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.







    Jadi, letakkanlah setiap hak itu pada tempatnya dan menurut porsinya. Tidak mungkin kita bantu tetangga sementara keluarga kita kelaparan, tidak ada sesuatu untuk dimakan sehingga harus meminta kepada manusia untuk mencukupi kebutuhan kita sendiri. Ini adalah prinsip yang salah. Maka Nabi tidak membolehkan Sa’ad bin Abi Waqqas untuk mewakafkan separuh dari hartanya. Sepertiga saja, dan itu juga sudah banyak.







    Bagaimana penjelasan lengkapnya?

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Sabtu, 25 Dzulqa’dah 1445 H / 2 Juni 2024 M.















    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat







    Kita masuk pada bab larangan keras lewat di hadapan orang yang sedang shalat.







    Hadits 337:







    Dari Busar bin Said, bahwa Zaid bin Khalid Al-Juhani mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk bertanya apa yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ tentang orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat. Abu Juhaim berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,







    لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ







    “Seandainya orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat tahu (dosa) apa yang akan ia dapatkan, maka lebih baik dia berdiri selama empat puluh daripada lewat di hadapan orang yang sedang shalat.” Abu Nadhir berkata, “Aku tidak tahu apakah beliau berkata empat puluh hari, atau bulan, atau tahun.” (HR. Muslim)







    Haramnya lewat di depan orang yang sedang shalat







    Dari hadits ini kita mengetahui haramnya lewat di depan orang yang sedang shalat antara ia dengan sutrah. Karena di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengancam. Kata beliau, “Lebih baik seseorang berdiri 40 daripada ia melewati orang yang sedang shalat di hadapannya.”







    Apa yang dimaksud dengan 40? Di situ nabi tidak menjelaskan 40 apa. Apakah 40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun, tidak dijelaskan. Ini dalam rangka memberikan pesan bahwa ini perkara yang berat. Ini bukan perkara yang ringan. Bayangkan, lebih baik seseorang berdiri 40 (tidak diketahui, bisa jadi 40 hari, bisa jadi 40 bulan, atau bisa jadi 40 tahun). Maka dari itu, hati-hati jangan sampai kita melewati orang yang sedang shalat.







    Kata Imam Asy-Syaukani, menjelaskan hadits ini bahwa seandainya orang yang melewati di hadapan orang shalat mengetahui bagaimana besarnya dosa yang ia lakukan, tentu ia akan lebih memilih berdiri 40 dibandingkan dia melewatinya. Berarti hadits ini menunjukkan bahwa melewati di hadapan orang yang sedang shalat itu termasuk dosa-dosa besar yang pelakunya terancam masuk neraka.







    Ini berlaku kalau dia shalat sendirian. Adapun kalau dia shalat berjamaah, maka sutrahnya makmum adalah sutrahnya Imam. Jadi, misalnya kita lewat di depan shaf pertama tapi di belakang imam, maka ini boleh. Karena pernah Ibnu Abbas melakukan itu. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas pernah naik keledai kemudian melewati di hadapan shaf pertama, tepat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia lewat begitu saja dengan keledainya. Kata Ibnu Abbas, “Tidak ada seorang pun yang mengingkariku.” Kalau itu perkara yang mungkar, pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskannya, karena nabi maksum, nabi terjaga dari kesalahan.







    Lalu bagaimana cara mencegah orang yang mau lewat di hadapan orang yang sedang shalat? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.







    Download mp3 Kajian























    Mari turut membagikan link download a href="https://www.

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi, Bogor, pada Jum’at, 23 Dzulqa’dah 1445 H / 31 Mei 2024 M.















    Khutbah Jumat Pertama: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin







    Rasul kita yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam didatangi oleh Malaikat Jibril. Lalu Jibril berkata kepada beliau,







    يا محمَّدُ ! عِشْ ما شئتَ فإنَّك ميِّتٌ…







    “Ya Muhammad, hiduplah sesukamu, sesungguhnya kamu akan meninggal dunia. Cintailah orang yang kamu cintai, sesungguhnya kamu pasti akan berpisah dengannya. Dan beramallah sesuai dengan kehendakmu, sesungguhnya kamu pasti akan diberikan balasan oleh Allah. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malamnya, dan keperkasaannya saat ia tidak membutuhkan manusia.” (Sebuah wasiat yang dikeluarkan Imam At-Thabrani dalam Mu’jam-nya dan dihasankan oleh Syekh Albani Rahimahullah.)







    Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, silakan kamu hidup sesukamu, kamu akan meninggal dunia.” Semua manusia, semua kita pasti akan meninggal dunia. Allah berfirman,







    كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ







    “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 185)







    Kematian itu sesuatu yang pasti. Dan setelah kematian itu yang harus kita pikirkan. Karena setelah kematian kita akan diberikan oleh Allah balasan setimpal sesuai apa yang kita amalkan di dunia.







    Persiapkanlah diri kita menuju kematian. Rasul kita yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam menyuruh kita banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,







    أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ الْمَوْتَ







    “Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.”







    Sekaya apa pun kita, hidup seenak apa pun, tetap kita akan meninggal dunia. Kita akan dibungkus dengan kain kafan kemudian dimasukkan dalam liang lahad. Di sana tidak ada teman, tidak ada siapa-siapa yang akan membantu kecuali amalan kita.







    HP yang selalu kita pegang akan meninggalkan kita. Teman-teman yang sangat kita cintai pun akan pergi dan melupakan kita. Istri dan anak-anak kita juga akan pergi dan meninggalkan kita. Kita akan sendiri di liang lahad, didatangi malaikat Munkar dan Nakir, dan ditanya, “Man Rabbuka?” Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa agamamu? Siapkah kita, saudaraku, untuk hari itu? Karena siapa yang selamat di kuburnya, maka yang setelahnya lebih mudah lagi. Dan siapa yang tidak selamat di kuburnya, kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka setelahnya lebih berat lagi.







    “Silakan kamu hidup sesukamu, sesungguhnya kamu pasti akan meninggal dunia. Silahkan cintai siapa yang kamu sukai, sesungguhnya kamu pasti akan berpisah dengannya.”







    Perpisahan itu pasti, saudaraku, dengan orang-orang yang kita cintai. Mungkin kita yang dahulu pergi meninggalkan mereka atau mereka yang dahulu pergi meninggalkan kita. Yang jelas, mencintai seseorang janganlah berlebih-lebihan. Disebutkan dalam sebuah riwayat,







    أَحْبِبْ حَبِيبَك هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَك يَوْمًا مَا







    “Cintailah saudaramu yang kamu cintai sesuai dengan kadarnya. Bisa jadi akan menjadi musuhmu kelak suatu hari.”

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Our Daily Bread Podcast | Our Daily Bread
Our Daily Bread Ministries
DOSIS DIARIA ROKA
Roka Stereo
The Christian Working Woman
Mary Lowman
A Word With You
Ron Hutchcraft Ministries, Inc.
The Proverbs 31 Ministries Podcast
The Proverbs 31 Ministries Podcast
Joel Osteen Podcast
Joel Osteen, SiriusXM

You Might Also Like

Podcast Dakwah Sunnah
podcastdakwahsunnah
Firanda Andirja Official
Firanda Andirja
Cerita Sejarah Islam
Cerita Sejarah Islam Podcast
Radio Muhajir Project
Muhajir Project
Mufti Menk
Muslim Central
Muhammad Nuzul Dzikri Podcast
Zilzal Ananta