2 Folgen

Mengenang W.S Rendra

Indah Berpuisi Indah Ratu Nurfadilla

    • Kunst

Mengenang W.S Rendra

    Kangen - W.S Rendra (Voice Indah Ratu Nurfadilla)

    Kangen - W.S Rendra (Voice Indah Ratu Nurfadilla)

    Mengenang W.S Rendra

    • 1 Min.
    Maskumambang - W.S Rendra (voice Indah RN)

    Maskumambang - W.S Rendra (voice Indah RN)

    Kabut fajar menyusut dengan perlahan.

    Bunga bintaro berguguran

    di halaman perpustakaan.

    Di tepi kolam,

    di dekat rumpun keladi,

    aku duduk di atas batu,

    melelehkan air mata.


    Cucu-cucuku!

    Zaman macam apa, peradaban macam apa,

    yang akan kami wariskan kepada kalian!

    Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.


    Kami adalah angkatan pongah.

    Besar pasak dari tiang.

    Kami tidak mampu membuat rencana

    manghadapi masa depan.


    Karena kami tidak menguasai ilmu

    untuk membaca tata buku masa lalu,

    dan tidak menguasai ilmu

    untuk membaca tata buku masa kini,

    maka rencana masa depan

    hanyalah spekulasi keinginan

    dan angan-angan.


    Cucu-cucuku!

    Negara terlanda gelombang zaman edan.

    Cita-cita kebajikan terhempas waktu,

    lesu dipangku batu.


    Tetapi aku keras bertahan

    mendekap akal sehat dan suara jiwa,

    biarpun tercampak di selokan zaman.


    Bangsa kita kini seperti dadu

    terperangkap di dalam kaleng utang,

    yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,

    tanpa kita berdaya melawannya.

    Semuanya terjadi atas nama pembangungan,

    yang mencontoh tatanan pembangunan

    di zaman penjajahan.


    Tatanan kenegaraan,

    dan tatanan hukum,

    juga mencontoh tatanan penjajahan.

    Menyebabkan rakyat dan hukum

    hadir tanpa kedaulatan.

    Yang sah berdaulat

    hanyalah pemerintah dan partai politik.


    O, comberan peradaban!

    O, martabat bangsa yang kini compang-camping!


    Negara gaduh.

    Bangsa rapuh.

    Kekuasaan kekerasan merajalela.

    Pasar dibakar.

    Kampung dibakar.

    Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.

    Tanpa ada gantinya.

    Semua atas nama takhayul pembangunan.

    Restoran dibakar.

    Toko dibakar.

    Gereja dibakar.

    Atas nama semangat agama yang berkobar.


    Apabila agama menjadi lencana politik,

    maka erosi agama pasti terjadi!

    Karena politik tidak punya kepala.

    Tidak punya telinga. Tidak punya hati.

    Politik hanya mengenal kalah dan menang.

    Kawan dan lawan.

    Peradaban yang dangkal.


    Meskipun hidup berbangsa perlu politik,

    tetapi politik tidak boleh menjamah

    ruang iman dan akal

    di dalam daulat manusia!


    Namun daulat manusia

    dalam kewajaran hidup bersama di dunia,

    harus menjaga daulat hukum alam,

    daulat hukum masyarakat,

    dan daulat hukum akal sehat.


    Matahari yang merayap naik dari ufuk timur

    telah melampaui pohon jinjing.

    Udara yang ramah menyapa tubuhku.

    Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.

    Berdengung sepasang kumbang

    yang bersenggama di udara.

    Mas Willy! istriku datang menyapaku.

    Ia melihat pipiku basah oleh air mata.

    Aku bangkit hendak berkata.

    Sssh, diam! bisik istriku,

    Jangan menangis. Tulis sajak.

    Jangan bicara.

    • 4 Min.

Top‑Podcasts in Kunst

Fiete Gastro - Der auch kulinarische Podcast
Tim Mälzer / Sebastian E. Merget / RTL+
life is felicious
Feli-videozeugs
Augen zu
ZEIT ONLINE
پادکست فارسی انسانک | Ensanak
Hesam Ipakchi
Zwei Seiten - Der Podcast über Bücher
Christine Westermann & Mona Ameziane, Podstars by OMR
Besser lesen mit dem FALTER
FALTER