19 episodes

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Truth Daily Enlightenment Erastus Sabdono

    • Religion & Spirituality
    • 4.7 • 6 Ratings

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

    Membayar Utang

    Membayar Utang

    Begitu liciknya setan, ia mengarahkan orang Kristen untuk ‘beragama Kristen,’ di mana agama dijadikan sarana untuk memberi kontribusi, membantu bagaimana hidup bisa dijalani dengan mudah, menolong keluar dari masalah, mendapat kemakmuran jasmani, dan lain sebagainya. Itu sebenarnya meleset. Setan membuat orang Kristen pun sibuk dengan banyak masalah—masalah jodoh, anak, bisnis, dll—yang membuat orang Kristen kehilangan kesempatan dan lupa untuk ikut dalam perlombaan yang diwajibkan. Orang baru menyadarinya ketika ia melihat kekekalan. Ia akan tahu bahwa semua yang ia kejar selama ini, tidak ada artinya. 

    Tuhan dibahagiakan ketika kehidupan ilahi atau kodrat ilahi, berkembang dalam diri kita, dan Tuhan mengamati kita setiap hari. Supaya nanti ketika kita meninggal, sifat Allah sudah penuh ada dalam diri kita, dan itu membahagiakan. Satu hal yang juga sering menyesatkan pikiran kita adalah menganggap Tuhan murahan. Kalau Tuhan berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus” itu tegas sekali. Lalu kita hidup sembarangan, seakan-akan aman-aman saja, dan Tuhan tidak buat sesuatu. Itu mengerikan sekali. Sejatinya, Tuhan sering memukul kita dengan berbagai kejadian, tapi kita tidak memperhatikan; kita budek. Tuhan tidak akan ‘memukul’ kita dengan cara-cara yang tidak sesuai tatanan-Nya. 

    Jadi, untuk membayar utang itu, Tuhan akan membuat proses, kejadian demi kejadian. Kelemahan kita apa, itu ditanggulangi Tuhan, satu per satu Tuhan garap dengan segala peristiwa. Maka, fokus kita harus di situ. Kita hidup hanya 100 tahun paling lama, setelah itu kekekalan. Maka hidup kita sekarang hanya untuk persiapan kekekalan, tidak untuk yang lain. Jadi, menikah, tidak menikah, tidak masalah; punya anak atau tidak pun tidak masalah; miskin atau kaya tidak masalah sebenarnya. Tapi kalau kita menghidupkan Allah dalam diri kita, maka kita tidak mungkin dipermalukan. Alkitab membuktikan, kekasih-kekasih Tuhan bisa terpuruk—Yusuf, Daud, Daniel—namun pada akhirnya tidak mungkin dipermalukan. 

    Maka, jangan melawan Tuhan. Senangkan Tuhan dengan kedagingan yang kita sembelih tiap hari. Kita tidak langsung jadi orang saleh dalam 1 tahun. Butuh waktu 80 tahun—seumur hidup—untuk menjadi orang saleh yang sempurna. Tapi dimulai dari satu hari, dan satu hari dimulai dari satu jam, dan satu jam dimulai dari menit pertama, begitu kita bangun, menit pertama mulai proses. Kita tidak akan menghidupkan Tuhan, kalau kita tidak mati. Karena keduanya tidak bisa hidup bersama. Maka, firman Tuhan mengatakan, “Kamu tidak bisa mengabdi kepada dua tuan.” Kita harus memilih, mana yang kita hidupkan, daging kita atau Roh Kudus. Kalau kita memilih Roh Kudus yang kita hidupkan, maka daging kita harus dimatikan. 

    Yang kita harus pikirkan adalah bagaimana kita membunuh daging kita setiap hari, supaya kita sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. Tapi setan akan mengalihkan dengan mengingatkan masalah-masalah yang sedang kita hadapi—uang sekolah anak, kontrak rumah, kesehatan atau apa pun. Jangan dengarkan dia, jalani saja, kita kerja baik-baik, Tuhan akan beri jalan. Jadi, tidak boleh ada unsur-unsur manusia lama dalam diri kita. Kalau kita bisa mematikan manusia lama, maka Yesus hidup di dalam diri kita. 

    Masalahnya, bagaimana kita bisa membedakan kehendak Allah dan bukan? Pertama, kehendak Allah pasti tidak bertentangan dengan firman Tuhan. Misalnya, tidak mungkin Tuhan berbisik kepada kita, “Hai anak-Ku, ambil istri tetanggamu.” Kedua, akan memberi damai sejahtera. Tetapi kalau damai sejahtera itu karena kesenangan dunia, tentu tidak bisa menjadi ukuran, itu sesat. Ketiga, jika suara Tuhan kita turuti, maka akan menjadi berkat bagi orang lain. Tapi mungkin kita tidak tahu saat itu. Tetapi, kalau orang duduk diam di kaki Tuhan, berdialog dengan Tuhan, mematikan daging setiap hari, maka dia pasti tahu, apakah ini kehendak Tuhan atau bukan.

    Jadi, kalau orang masih hidup menurut daging, tidak dipimpin Roh Kudus,

    Memperagakan Perasaan Tuhan

    Memperagakan Perasaan Tuhan

    Tidak jarang, pada waktu kita menyanyikan sebuah lagu, hati kita tersentuh, air mata kita berlinang, tetapi sebenarnya itu belumlah air mata yang menyenangkan Tuhan. Walaupun itu sesuatu yang bisa menyenangkan Tuhan, tapi belum puncak dari kesenangan Tuhan. Kita bisa memiliki perasaan sentimentil dan mengatakan, “Sampai ‘ku tua nanti, sampai di surga nanti, selalu untuk-Mu.” Tetapi air mata yang berlinang pada waktu kita ada di pelayanan, waktu kita pikul salib—artinya kita menderita karena pekerjaan Tuhan, memikul beban orang lain, menyelamatkan orang, mengambil bagian dalam penderitaan orang lain—itulah air mata yang menjadi persembahan di hadapan Tuhan. 

    Dan terus terang, jarang orang memiliki air mata itu, sebab banyak orang yang melayani pekerjaan Tuhan dengan motif yang tidak murni, tidak dengan hati yang sungguh-sungguh mengasihi umat seperti hati Tuhan. Orang bisa saja memiliki belas kasihan, perhatian, dan kasih kepada orang lain, tetapi belum tentu merupakan penularan dari perasaan Tuhan. Sebab, kalau itu bukan impartasi atau bukan penularan perasaan Tuhan, berarti belum menjadi peragaan Tuhan, dan itu belum menyenangkan hati Tuhan. Jadi, betapa berartinya ayat yang mengatakan, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidup yang kuhidupi dalam daging ini, hidup oleh iman kepada Anak Allah.” 

    Karena jika kita hidup dalam penurutan terhadap kehendak-Nya berarti kita hanya melakukan kehendak-Nya, dan mengekspresikan perasaan-Nya. Dan kalau kita bisa mengekspresikan perasaan Tuhan, sesungguhnya itulah pelayanan yang sejati. Mengekspresikan perasaan Allah bukan hanya dalam kegiatan gereja, melainkan dalam segala hal yang kita lakukan. Itulah sebabnya menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, bukan berbicara kegiatan liturgi di dalam gereja, juga tidak cukup kegiatan pelayanan di dalam gereja, tetapi seluruh gerak hidup kita. Jadi, kalau firman Tuhan mengatakan, “Baik kamu makan atau minum atau apa saja yang kamu lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31), maksudnya dalam segala hal yang kita lakukan, kita melakukannya sebagai ekspresi peragaan dari perasaan Tuhan. Itu bukan hanya kegiatan dalam pelayanan, melainkan seluruh kegiatan hidup kita, dan betapa indahnya kehidupan seperti ini.

    Mestinya dari muda kita melatih hidup seperti ini, tapi terus terang, kita sudah melewati tahun-tahun di mana kita merasa berhak memiliki kesenangan, bahkan di dalam pelayanan pun sering kali ada motif-motif terselubung. Semua kita mestinya bisa menjadi bejana Tuhan. Sungguh indah kalau kita bisa menjadi rumah Allah, kita bisa memperagakan perasaan Tuhan. Orang-orang seperti inilah yang disebut anak-anak Allah (Rm. 8). Kalau hidup kita tidak seiring dengan perasaan-Nya, maka belum bisa disebut sebagai anak-anak Allah. Di Perjanjian Baru, melalui kurban Yesus Kristus yang menebus kita, kita dapat menjadi anak-anak Allah. Jadi, kita ini jangan hanya hidup di bawah anugerah, under the grace, tapi juga in Christ, di dalam Kristus; artinya kita hidup seiring dengan Kristus. 

    Banyak orang Kristen tertipu atau tersesat oleh konsep bahwa mereka hidup di bawah anugerah, dan mereka merasa cukup. Sejatinya, setelah hidup di bawah anugerah, maka kita harus hidup di dalam Kristus. Artinya, kita harus dilatih, dididik untuk bisa memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5-7). Dengan memiliki pikiran dan perasaan Kristus, artinya kita bisa berjalan seirama dengan Dia, di sepanjang hari hidup kita, di sepanjang waktu. Jika tidak, kita munafik. Waktu di gereja, kita berpenampilan bagus, tetapi ternyata dalam kehidupan keseharian tidak, dan itulah warna hidup kita pada umumnya. 

    Tapi hari ini kita mau belajar memiliki prinsip hidup “Selalu untuk-Mu.” Selalu berarti tidak ada waktu di mana kita hidup untuk diri kita sendiri. Maka, di dalam Galatia 2:20, firman Tuhan mengatakan, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.

    Dihormati Allah

    Dihormati Allah

    “Orang-orang yang menghormati Allah, demikian firman Tuhan, akan dihormati Allah. Orang yang memuji Allah dengan benar akan mendapat pujian nanti di dalam Kerajaan Surga.” Jika kita memperkarakan hal ini, mestinya kita memiliki kegentaran kepada Tuhan. Apakah kita sungguh-sungguh telah memiliki hati yang menghormati Allah atau tidak? Apakah sungguh-sungguh kita telah memberikan pujian dan penyembahan yang benar kepada Allah atau tidak? Hanya Roh Kudus yang bisa memberi pencerahan, seberapa kita sungguh-sungguh telah menghormati Allah dan apakah kita sungguh-sungguh telah memiliki hati yang menyembah dan memuji Dia dengan benar.

    Hari ini dunia kita dengan adanya media sosial yang terbuka, orang memiliki kesempatan untuk saling menyerang, saling menyakiti, mem-bully, merendahkan, menghina, memfitnah, menghancurkan nama baik, membunuh karakter dan mungkin kita termasuk salah satu korbannya. Mari, jangan marah, jangan sekali-kali membalas, jangan sekali-kali berdebat. Justru dengan hal itu kita harus memeriksa diri. Apakah kita memang patut dihina, direndahkan, dikritisi, dicela? Mungkin kita orang yang patut diperlakukan seperti itu karena keadaan kita sebenarnya demikian. 

    Jika demikian, berubahlah. Atau kalau kita adalah orang yang sebenarnya tidak patut diperlakukan seperti itu, juga tidak masalah. Hal ini justru mesti mengondisi kita untuk mencari hormat dari Allah. Justru dengan hal ini, kita mencari pujian di dalam Kerajaan Surga, di kekekalan nanti. Dan ini menjadi berkat, blessing in disguise, berkat di tengah-tengah badai, di tengah suasana gaduh. Jadi, kalau kita merespons keadaan dengan baik, maka keadaan yang terburuk pun menjadi baik bagi kita. Jangan kita menghargai diri sendiri, namun biar Tuhan yang menghargai. 

    Orang yang tersinggung waktu dicela adalah orang yang masih mencari hormat bagi diri sendiri. Biasanya mereka kemudian akan membalas, membantah, berargumentasi, berdebat, membalas, mencela. Mereka adalah orang yang sebenarnya mencari hormat sampai pada tingkat gila hormat. Kalau kita dicela dan kita tersinggung, berarti kita masih mencari hormat, masih haus ingin pujian. Tetapi kalau kita tidak patut dicela karena kita tidak bercela seperti yang dituduhkan, maka baiklah kita mengembalikannya kepada Tuhan dan berjuang untuk tidak melakukan hal yang tercela yang dituduhkan kepada kita. 

    Ini memang berat, bicara seperti ini sangat mudah, tetapi melakukan hal ini bukan sesuatu yang mudah. Tetapi justru inilah kasih Tuhan. Anugerah kemurahan-Nya memberi kita situasi-situasi di mana kita bisa tersinggung, bisa terluka, bisa dendam, bisa menaruh kebencian dan punya hasrat membalas. Situasi dan kondisi itu sebenarnya merupakan berkat, merupakan area pelatihan, merupakan medan training Tuhan untuk kita supaya kita menjadi seperti Yesus. 

    Betapa hebat, serangan yang ditujukan kepada Yesus, dikecam, dikritik, bahkan difitnah, tetapi Dia tekun menanggung bantahan itu, seperti yang tertulis dalam Ibrani 12:3-4. Begitu tekun, dan itulah, sebagai jalan yang menyempurnakan Yesus. Dan setelah sampai pada kesempurnaan, Dia menjadi pokok keselamatan, penggubah, atau teladan kita. Yesus harus mengalami semua itu. Bisakah Yesus tersinggung? Pasti bisa Dia untuk sakit hati dan membalas, tapi Yesus tidak melakukannya. Yesus bukan kebal sebenarnya, tetapi Yesus memang memilih untuk tidak melakukan kesalahan apa pun. Kalau Yesus kebal terhadap kesalahan, maka kita tidak bisa meneladani-Nya dan tidak bisa mencontoh Dia.

    Dan firman Tuhan tidak mengatakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5-7). Ketika Ia disalib, Ia mendoakan orang-orang yang menyakiti, melukai Dia dengan hebatnya itu dengan kalimat, “Ampunilah mereka, ya Bapa, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Luar biasa! Itu sebabnya Ia menerima nama di atas segala nama, Ia ditinggikan,

    Misteri

    Misteri

     

    Seseorang makin kurang percaya Tuhan, karena di matanya, Tuhan semakin misteri. Semakin seseorang memandang Tuhan itu misteri, semakin ia menunjukkan kurang percayanya. Memang Tuhan adalah Allah yang Maha Misteri, kita tidak bisa menjajaki keberadaan Allah yang unlimited. Tetapi Tuhan tidak menjadi misteri selama kita menaruh percaya kepada-Nya. Sama seperti anak yang memercayai orang tua. Dia tidak mengenal sepenuhnya keberadaan orang tua, tetapi ketika ia menaruh percaya kepada orang tuanya bahwa orang tuanya aman baginya—mengasihi, melindungi, membela dan ada di pihaknya—maka orang tua tidak menjadi misteri baginya. 

    Masalahnya, mengapa kita memandang misteri kepada Tuhan? Mengapa Tuhan itu menjadi seperti kelam kabut? Karena kita tidak mengenal Dia. Celakanya, apa yang kita dengar sering kali hanya pengetahuan yang tidak memiliki implikasi kuat di dalam kehidupan dan tidak mendorong kita untuk mengalami Tuhan. Di lingkungan para akademisi, yaitu di lingkungan Sekolah Tinggi Teologi, subjektivitas itu sering dipandang negatif, sebab semua harus bisa dijelaskan secara sistematis. Kalau di lingkungan akademis, harus ada referensi buku. Kalau ada tulisan tidak ada referensinya, dianggap tidak akademis. Jadi, tanpa disadari, pengetahuan tentang Tuhan itu diformatkan, dipatok, dibatasi, padahal Tuhan itu Tuhan yang transempiris (melampaui akal). 

    Jangan heran kalau orang yang di lingkungan para akademisi teologi, lalu ada ajaran sedikit yang tidak sesuai dengan yang sudah ada, maka dianggap sesat, bidat. Padahal dunia ini bergerak terus, dinamika hidup tidak pernah berhenti, dan mestinya manuver Tuhan pun tidak boleh berhenti, dan Tuhan tidak juga berhenti, mengikuti perjalanan hidup manusia dengan dinamikanya, perjalanan hidup anak-anak Allah dengan dinamikanya, tapi Tuhan telah dikurung dalam doktrin, teologi, sistematika teologi. Padahal, dalam kehidupan umat manusia, begitu banyak misteri yang belum bisa dipecahkan. Kalau ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menghasilkan karya-karya inovatif yang benar-benar mendatangkan kesejahteraan, kenapa Allah yang menyangkut alam roh tidak bisa dikembangkan? Apa yang dihasilkan oleh teologi? 

    Maka, kita harus mengenali Allah sebagai pribadi yang hidup dan nyata, yang dengan-Nya kita harus bersentuhan. Kalau kita membaca Alkitab, dari Kitab Kejadian sampai Wahyu, begitu jelas perjumpaan, pergaulan, interaksi antara manusia umat Allah dalam pergumulan konkret hidup mereka. Orang-orang sederhana yang mengalami Tuhan, dan Tuhan tidak menjadi misteri, Tuhan nyata karena perjumpaan itu. Temui Dia di keheningan dan jangan membatasi waktu doa atau perjumpaan kita. Kita harus berani mencari Tuhan. Sampai kita bisa memiliki irama menyentuh Tuhan. 

    Ajaibnya, Tuhan sering membawa kita ke masalah yang penuh pertanyaan, “Kenapa terjadi begini, Tuhan? Kenapa semakin memburuk?” Ternyata hal itu Tuhan izinkan supaya kita belajar memercayai Dia di tengah badai sebesar apa pun. Maka, di dalam kondisi paling bingung bagaimanapun, yang penting Tuhan aman bagi kita. Sebab Ia bukan misteri, selama kita memercayai-Nya, Ia aman untuk kita. Lalu, kenapa kita kurang percaya? Karena kita tidak menyentuh Dia. Bayangkan kalau orang hanya punya pengetahuan tentang Tuhan, maka ketika ia menghadapi banyak masalah, penuh pertanyaan, ia menjadi bingung. Dalam keadaan seperti itu, apakah ilmu teologi bisa menjawab? Tidak bisa! Jawabannya hanya bisa kita temukan kalau kita bisa menyentuh Allah dan mengalami Allah. 

    Kalau kita belajar bertemu Tuhan di dalam keheningan, maka hidup kita akan bersih dan kita bisa peka membaca segala keadaan. Namun kita semua harus berjuang untuk hidup dalam kekudusan, sehingga kita akan melihat kemuliaan Allah. Tuhan tahu masalah kita masing-masing, namun Tuhan seperti tutup mata, tapi di situ asyiknya kita belajar memercayai Tuhan. Kita harus tetap memercayai Allah, walaupun tidak ada tanda-tanda kehadiran-Nya,

    Pemburu Tuhan

    Pemburu Tuhan

    Mungkin ada di antara kita yang tidak pernah punya ayah yang baik, sehingga ia tidak memiliki gambar ayah yang baik. Tapi, Allah Bapa kita adalah Allah yang baik, Bapa yang baik. Namun sering kita tidak sadar, bahwa kalau kita memanggil-Nya Bapa, itu artinya kita bisa dan harus menemui-Nya; secara personal, pribadi. Namun dalam praktik, khususnya sebagai pendeta, sering kita menggelapkan hubungan itu dengan memberi kesan bahwa pendeta punya hak istimewa untuk menemui Allah, dan seakan-akan doanya lebih manjur daripada jemaat. Bukan tidak boleh pendeta mendoakan jemaat, tapi jangan memberi kesan seakan-akan pendeta punya hak istimewa untuk menemui Tuhan, sehingga jemaat harus lewat perantara pendeta. 

    Maka, jangan disandera oleh pendeta, padahal setiap kita bisa datang sendiri kepada Tuhan. Jangan suasana Perjanjian Lama—di mana orang-orang tertentu yang dipercayai Tuhan menjadi perantara antara Allah dan umat—masuk dalam kekristenan, yang membuat kita tidak serius memburu Tuhan. Sejak saat ini, mari setiap kita menjadi pemburu Tuhan. Dan setiap kita bisa jadi pemburu Tuhan. Kita diberi kesempatan oleh Tuhan, dan segala kelengkapan untuk menemui Dia. Kita punya hak istimewa yang sama dengan siapa pun, artinya dengan pendeta, teolog. Kita bisa menjumpai Tuhan, menemui Tuhan. Dan kita harus yakin biar keadaan kita carut-marut, compang-camping, busuk, bobrok, rusak bagaimanapun, Allah menerima kita. 

    Bapa memeluk dan mencium ketika kita datang dan berkata, “Aku masih rusak, Tuhan. Aku masih korupsi. Aku punya selingkuhan, Tuhan. Aku baru mengkhianati orang. Aku rusak banget. Ampuni aku.” Darah Yesus meleleh, Bapa mencium harumnya darah Yesus, dan Dia memeluk kita. Namun kemudian memang kita harus belajar berubah, dan Tuhan akan menuntun. Tapi kalau menunggu kita tidak korupsi, tidak mata keranjang, sampai mati kita akan tetap korupsi dan mata keranjang. Kalau saat ini kita adalah orang yang tidak pernah mau menemui Tuhan, kita punya 1001 alasan untuk menghindar, itu karena: 

     

    Pertama, kita ditipu oleh kuasa gelap seakan-akan kita tidak punya hak yang sama seperti pendeta untuk menjumpai Tuhan. 

     

    Kedua, kita terintimidasi dengan keadaan kita. Padahal Tuhan sangat mengerti keadaan kita, dan darah Yesus membasuh ketika Ia memeluk kita. Bapa mencium keharuman darah Yesus, dan Bapa menerima kita. Kalau kita sudah ada di dalam pelukan-Nya, Ia mau melatih kita sempurna, agar kita tidak melakukan dosa yang sama. Seperti pelacur yang ditangkap, dan banyak orang mau melempari dia dengan batu, Yesus menyelamatkan wanita itu. Yesus berkata kepada pelacur itu, “Aku juga tidak akan melempari batu.” Lalu Yesus berkata, “Jangan berbuat dosa lagi.”

     

    Kapan kita akan berurusan dengan Tuhan? Jangan sampai kita menundanya terus, bahkan kita membatalkan, kita sia-siakan keselamatan yang besar itu. Kalau hari ini Tuhan memanggil kita, pulanglah. Setiap kita adalah orang berdosa, namun Yesus sudah mati di kayu salib, Ia bisa menutupi dan membungkus kita, dan kita dibenarkan di hadapan Allah. Kita yang harus merubah cakrawala hidup dengan datang kepada Tuhan. Allah yang disembah oleh Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah yang membelah laut Kolsom, Allah yang menutup mulut singa di kandang singa, Allah yang memadamkan api, Allah yang mengutus Tuhan Yesus Kristus, Putra tunggal-Nya, Allah yang sama yang memanggil kita dalam pelukan-Nya.

    Mengerikan sekali kalau suatu hari kita ada di hadapan takhta pengadilan Tuhan, ternyata kita tidak bekerja untuk Tuhan. Ini sebenarnya inti Injil, yaitu bagaimana keadaan kita, kodrat kita diubah menjadi keadaan anak-anak Allah, seperti atau serupa dengan Yesus, yang dalam segala hal yang dilakukan benar-benar untuk Bapa di surga. Dan Tuhan Yesus yang telah mencapai kesempurnaan, artinya mampu hidup selalu untuk Bapa, menjadi penggubah atau komposer. Setiap kita punya kepribadian yang berbeda-beda,

    Pulang ke Dalam Pelukan-Nya

    Pulang ke Dalam Pelukan-Nya

    Di Perjanjian Lama, kita dapat melihat pola keberagamaan bangsa Yahudi, di mana masing-masing individu atau umat tidak bisa berhubungan langsung dengan Allah. Ada pemimpin, tokoh agama, imam, dan khususnya imam besar yang bisa menjumpai Allah secara langsung dan menjadi mediator atau pengantara antara Allah dan umat. Pola keberagamaan ini ada di seluruh agama dan kepercayaan. Atau paling tidak, pada umumnya demikian. Mestinya kekristenan tidak menganut pola ini. Sebab setiap orang percaya bisa berhadapan langsung dengan Allah, dan pengantaranya hanya satu, yaitu Tuhan Yesus. 

    Kalau di dalam Perjanjian Baru kita disebut anak-anak Allah, di mana Elohim Yahweh—Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah Israel—berkenan menjadi Bapa. Itu berarti setiap kita, memiliki hubungan, relasi atau koneksi antara Bapa dan anak, tidak perlu perantara. Bukan hanya antara Allah dan umat, melainkan Bapa dan anak.  Allah sebagai Bapa menginginkan sebuah hubungan, persekutuan, fellowship, antara kita, sebagai anak-anak Bapa dengan Allah dalam hubungan yang harmonis dan mesra. Jadi, setiap kita, mestinya dengan optimis bisa menjumpai Allah secara pribadi dalam doa dan dalam persekutuan hidup sepanjang waktu. Kalau Henokh bisa berjalan dengan Allah, maka kita mestinya lebih dari itu karena hubungan kita dengan Allah adalah hubungan Bapa dan anak. 

    Tuhan kita Yesus Kristus, Juru Selamat, telah menumpahkan darah dan membenarkan kita, walaupun keadaan kita belum benar atau belum benar-benar benar. Kita dibenarkan, sehingga bisa dibawa menghadap Allah Bapa dan bisa bersekutu dengan keadaan kita yang mungkin masih compang-camping, tapi Bapa mau memeluk kita dan mendandani kita. Seperti anak terhilang, si Bungsu yang pulang setelah mendurhaka, setelah memberontak, bergaul dengan babi-babi. Ketika si Bungsu yang bejat ini pulang, bapaknya memeluk dia; belum didandani, tapi dipeluk. 

    Kita tidak bisa mengukur betapa panjang sabar Allah, betapa besar, betapa tinggi, dan dalam pengertian-Nya terhadap kita. Masalahnya, apakah kita mau datang secara langsung untuk dipeluk? Atau kita merasa ada ukuran ganda? Seakan-akan ada orang-orang tertentu yang bisa menjumpai Allah secara langsung dan memiliki semacam hak istimewa, sebagai pemimpin agama, rohaniwan, atau semacam imam. Ini penipuan, pembodohan. Kenyataannya, tidak banyak orang percaya yang sungguh-sungguh mencari Tuhan, sehingga kalau jujur, sedikit sekali orang yang akrab dengan Allah sebagai Bapa, walaupun mereka menyebut Allah itu Bapa, tidak pernah ada sentuhan kemesraan dengan Dia.

    Jangan menunggu sempurna untuk kita menjumpai Tuhan. Kita yang masih compang-camping, busuk, kita bisa menghampiri Tuhan dan merendahkan diri. Tapi, bagaimana menghilangkan bau busuk itu? Yang pertama, kita harus mengakui dosa dan minta ampun. Darah Yesus menghapus, Allah melihat darah Yesus, akan tercium darah itu yang wangi. Walaupun kemudian kita harus belajar, dididik Bapa untuk memiliki wewangian yang abadi dan permanen seperti karakter Kristus. Tapi setan menipu kita dengan cara mengintimidasi pikiran kita bahwa kita masih duniawi, masih busuk. 

    Pertanyaannya, apakah kita mau begitu terus, terpisah dari Allah? Tuhan tahu kita busuk dan rusak, tetapi Dia mau peluk, Dia hanya ingin kita datang dan memperkarakan keadaan kita. Tuhan tahu kita belum sanggup hidup di dalam kekudusan, tapi Bapa mau kita datang, sebab kalau kita tidak datang maka sampai titik tertentu kita tidak pernah bisa datang dan kita pasti binasa. Tuhan tidak menolerir dosa, tetapi dengan keadaan kita ini, Tuhan mau menerima. Namun banyak yang melarikan diri, masih terus berkubang di dalam dosa. Banyak orang lebih betah di dunia daripada di gereja, lebih betah nonton TV daripada berdoa. Lebih betah baca banyak bacaan daripada baca Alkitab. 

    Si Bungsu menyadari, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa.” Ketika masih jauh, ayahnya telah melihat anak itu. Berarti,

Customer Reviews

4.7 out of 5
6 Ratings

6 Ratings

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Timothy Keller Sermons Podcast by Gospel in Life
Tim Keller
Undeceptions with John Dickson
Undeceptions Ltd
Tara Brach
Tara Brach
Joel Osteen Podcast
Joel Osteen, SiriusXM
The Bible in a Year (with Fr. Mike Schmitz)
Ascension
BibleProject
BibleProject Podcast