Lorong Panjang Truth Daily Enlightenment

    • Christianity

Ketika Allah berkata, “Aku Penebus-Mu” di Perjanjian Lama, konteksnya adalah Elohim Yahweh yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, dan menuntun mereka ke tanah Kanaan yang dijanjikan kepada Abraham untuk didiami oleh keturunannya di bumi. Kalau di Perjanjian Lama, Allah menggunakan keperkasaan-Nya untuk menyelamatkan umat Israel, tetapi di Perjanjian Baru Allah menggunakan kuasa firman, moralitas kesucian di dalam logos-Nya yang dihidupkan di dalam dan melalui Yesus Kristus untuk keselamatan kita. Setelah itu, Tuhan menuntun kita dari Mesir dunia ini ke langit baru bumi baru, Kanaan Surgawi. 

Kalau bangsa Israel dituntun harus menempuh jarak (distance), tetapi kalau umat pilihan Israel rohani dituntun melalui perubahan. Kalau di Perjanjian Lama bangsa Israel dipimpin oleh Musa dengan keperkasaan Allah secara fisik yang membelah Laut Kolsom, yang merobohkan tembok Yerikho, yang membelah Sungai Yordan dan lain-lain, sekarang Tuhan, Allah, Bapa, Elohim Yahweh, menuntun kita dari Mesir dunia ke langit baru bumi baru dengan Roh Kudus. Di dalam perjalanan yang menempuh perubahan itu, ada jalan yang harus kita tempuh. Kalau bangsa Israel melalui padang gurun, kalau kita melalui jalan yaitu Yesus Kristus. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Akulah jalan” (hodos). Hodos berarti jalan atau lorong panjang. Perjalanan kita adalah perjalanan perubahan untuk mengenakan hidup Yesus agar sampai kepada Bapa. 

Maka, kita harus mengerti aletheia (kebenaran-Nya) dan menjadi hidup. Aletheia itu kebenaran, artinya Firman-Logos-Hikmat yang menjadi pengajaran di dalam bahasa manusia yang dimengerti manusia dan diperagakan. Dan yang pertama berhasil melakukan ini, Yesus. Hikmat, Logos dan Firman tidak kelihatan, tetapi akan menjadi kelihatan ketika dikenakan oleh Yesus, dan Yesus mengajar serta menjadi teladan. Karenanya, Yesus berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19). Allah bukan tidak dapat memuridkan kita secara langsung, tetapi harus melalui Yesus yang menjadi alat peraga-Nya. Itulah sebabnya Yesus harus menjadi manusia 100%, sebab Dia harus menjadi teladan kita. 

Jadi kalau Alkitab berkata, “Agar kita menjadi serupa dengan Yesus,” maka Yesus dalam segala hal harus disamakan dengan kita. Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 2:17, “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.” Allah Yahweh menuntun kita melalui jalan Yesus—bukan distance atau jarak—yang menjadi contoh dan teladan, dan yang telah mengurai Logos, Firman, dan Hikmat menjadi ajaran. 

Kalau kita mau menghormati Yesus, tidak cukup mengelu-elukan Dia dengan berbagai status, statement, atau konsep-konsep mengenai Yesus yang luar biasa. Kalau kita menghargai Yesus, cukup dengan mengenakan hidup-Nya dalam hidup kita. Dia harus hidup di dalam hidup kita, baru kita menghargai Dia dan memenuhi rencana keselamatan. Sebab kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Yesus,” berarti kita harus seperti Dia. Kalau tidak seperti Dia, berarti kita tidak percaya kepada-Nya. Kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Yesus,” artinya kita harus melalui jalan-Nya. Sebab Dialah jalan kita. Bukan menempuh jarak, tapi menempuh perubahan. Dan pola perubahan itu jelas, Yesus model dan prototipenya

Jika kita ikut jalan ini, tidak mungkin berbuat dosa. Kita harus suci seperti Yesus suci. Yesus mengosongkan diri, dari yang tidak bersalah, menjadi seorang yang seakan-akan bersalah demi menebus dosa kita. Kalau kita ikut Yesus, kita tidak akan terikat dunia ini. Hati kita akan tertaruh di surga. Sebab Yesus berkata, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada. Kumpulkan harta di surga bukan di bumi” (Mat. 6:20-21). Tidak ada kompromi dengan dunia. Yesus tidak kompromi. Kita melihat moralitas kesucian Yesus yang merupakan lorong panjang...

Ketika Allah berkata, “Aku Penebus-Mu” di Perjanjian Lama, konteksnya adalah Elohim Yahweh yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, dan menuntun mereka ke tanah Kanaan yang dijanjikan kepada Abraham untuk didiami oleh keturunannya di bumi. Kalau di Perjanjian Lama, Allah menggunakan keperkasaan-Nya untuk menyelamatkan umat Israel, tetapi di Perjanjian Baru Allah menggunakan kuasa firman, moralitas kesucian di dalam logos-Nya yang dihidupkan di dalam dan melalui Yesus Kristus untuk keselamatan kita. Setelah itu, Tuhan menuntun kita dari Mesir dunia ini ke langit baru bumi baru, Kanaan Surgawi. 

Kalau bangsa Israel dituntun harus menempuh jarak (distance), tetapi kalau umat pilihan Israel rohani dituntun melalui perubahan. Kalau di Perjanjian Lama bangsa Israel dipimpin oleh Musa dengan keperkasaan Allah secara fisik yang membelah Laut Kolsom, yang merobohkan tembok Yerikho, yang membelah Sungai Yordan dan lain-lain, sekarang Tuhan, Allah, Bapa, Elohim Yahweh, menuntun kita dari Mesir dunia ke langit baru bumi baru dengan Roh Kudus. Di dalam perjalanan yang menempuh perubahan itu, ada jalan yang harus kita tempuh. Kalau bangsa Israel melalui padang gurun, kalau kita melalui jalan yaitu Yesus Kristus. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Akulah jalan” (hodos). Hodos berarti jalan atau lorong panjang. Perjalanan kita adalah perjalanan perubahan untuk mengenakan hidup Yesus agar sampai kepada Bapa. 

Maka, kita harus mengerti aletheia (kebenaran-Nya) dan menjadi hidup. Aletheia itu kebenaran, artinya Firman-Logos-Hikmat yang menjadi pengajaran di dalam bahasa manusia yang dimengerti manusia dan diperagakan. Dan yang pertama berhasil melakukan ini, Yesus. Hikmat, Logos dan Firman tidak kelihatan, tetapi akan menjadi kelihatan ketika dikenakan oleh Yesus, dan Yesus mengajar serta menjadi teladan. Karenanya, Yesus berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19). Allah bukan tidak dapat memuridkan kita secara langsung, tetapi harus melalui Yesus yang menjadi alat peraga-Nya. Itulah sebabnya Yesus harus menjadi manusia 100%, sebab Dia harus menjadi teladan kita. 

Jadi kalau Alkitab berkata, “Agar kita menjadi serupa dengan Yesus,” maka Yesus dalam segala hal harus disamakan dengan kita. Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 2:17, “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.” Allah Yahweh menuntun kita melalui jalan Yesus—bukan distance atau jarak—yang menjadi contoh dan teladan, dan yang telah mengurai Logos, Firman, dan Hikmat menjadi ajaran. 

Kalau kita mau menghormati Yesus, tidak cukup mengelu-elukan Dia dengan berbagai status, statement, atau konsep-konsep mengenai Yesus yang luar biasa. Kalau kita menghargai Yesus, cukup dengan mengenakan hidup-Nya dalam hidup kita. Dia harus hidup di dalam hidup kita, baru kita menghargai Dia dan memenuhi rencana keselamatan. Sebab kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Yesus,” berarti kita harus seperti Dia. Kalau tidak seperti Dia, berarti kita tidak percaya kepada-Nya. Kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Yesus,” artinya kita harus melalui jalan-Nya. Sebab Dialah jalan kita. Bukan menempuh jarak, tapi menempuh perubahan. Dan pola perubahan itu jelas, Yesus model dan prototipenya

Jika kita ikut jalan ini, tidak mungkin berbuat dosa. Kita harus suci seperti Yesus suci. Yesus mengosongkan diri, dari yang tidak bersalah, menjadi seorang yang seakan-akan bersalah demi menebus dosa kita. Kalau kita ikut Yesus, kita tidak akan terikat dunia ini. Hati kita akan tertaruh di surga. Sebab Yesus berkata, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada. Kumpulkan harta di surga bukan di bumi” (Mat. 6:20-21). Tidak ada kompromi dengan dunia. Yesus tidak kompromi. Kita melihat moralitas kesucian Yesus yang merupakan lorong panjang...