19 episodes

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

Truth Daily Enlightenment Erastus Sabdono

    • Religion & Spirituality
    • 4.7 • 6 Ratings

Renungan harian berisi intisari pengajaran aplikatif yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, dengan tujuan melengkapi bangunan berpikir kita mengenai Tuhan, kerajaan-Nya, kehendak-Nya dan tuntunan-Nya untuk hidup kita. A daily devotional containing a brief teaching along with the applications, read by Dr. Erastus Sabdono. The messages will equip you and bring you to better understand God, His kingdom, His will, and His guidance in our lives.

    Tidak Ada Dusta

    Tidak Ada Dusta

    Kenyataan yang kita hadapi, persoalan hidup yang kita hadapi silih berganti datang, seakan-akan Tuhan tidak memproteksi, seakan-akan Tuhan tidak memberi jaring pengaman, dan keadaan kita kalang-kabut, kita terus dalam keadaan sulit, tetapi di situ dibutuhkan ketekunan. Keadaan di mana kita terjepit, susah, rasanya akan dipermalukan, seakan Tuhan benar-benar tidak ada dan tidak hadir, di situ kita harus tetap memandang Tuhan, tanpa mencurigai-Nya. Seperti Abraham layak disebut sebagai bapak orang percaya, yaitu ketika dia harus mempersembahkan anaknya Ishak, tidak ada perbantahan, tidak ada penundaan. Allah bicara, Abraham bertindak, tanpa ada kecurigaan sama sekali, walaupun dia harus memotong-motong habis tubuh anaknya dan membakarnya. Itulah sebabnya dalam kitab Yakobus dikatakan, “ia menjadi sahabat Allah,” tidak ada kecurigaan sama sekali. 

    Tujuan ketekunan itu bukan sekadar agar masalah-masalah kita diselesaikan di dalam kehidupan ini—apakah itu masalah sakit-penyakit, ekonomi, keluarga, karier, dan lain-lain—melainkan pada akhirnya, ketekunan itu membangun persahabatan dengan Allah. Tidak ada dusta di antara kita, tidak ada keraguan antara kita dengan Allah, dan itu mengantar kita ke rumah abadi. Ketekunan kita bukan hanya menghasilkan mukjizat, bukan hanya menghasilkan perkara-perkara ajaib dalam menyelesaikan masalah-masalah fana dunia, melainkan menjalin persekutuan dan hubungan yang harmoni dengan Tuhan. 

    Tidak ada dusta, tapi ada ketulusan, kepercayaan sepenuh kepada Allah. Tidak ada keraguan, tapi ada cinta yang bulat dan utuh. Ada penghormatan yang sepantasnya kepada Allah. Ada takut yang benar kepada Allah, dan itu persiapan untuk masuk rumah abadi. Pemazmur telah menuliskannya, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batu dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya, sebab siapa ada padaku di surga selain Engkau? Hanya Engkau yang ada, karenanya Engkau yang kuingini.” 

    Di tengah-tengah kekacauan dunia ini, kita mau memisahkan dari dunia dan merapat kepada Allah. Kita mungkin seperti orang konyol, seperti orang gagal di mata dunia, kita melarikan diri kepada hal-hal yang tidak berharga di mata manusia. Kita melewati jalan sempit dan sepi yang orang nyaris tidak melaluinya, tapi kita melaluinya. Makin sedikit orang masuk jalan ini, tapi kita memilih jalan ini. Di tengah dunia politik, di tengah-tengah perkara-perkara dunia yang begitu gaduh, kita memisahkan diri untuk mencari Tuhan, kita mengarahkan diri kita ke dalam Kerajaan Surga. Dan sementara itu, Tuhan menggarap kita dengan persoalan-persoalan hidup yang rumit, yang kadang seakan Tuhan tidak peduli masalah kita, Tuhan tidak memberi jalan keluar, tak ada isyarat Dia akan buka jalan, tapi kita tetap percaya. 

     

    Masalahnya bukan sekadar Tuhan menyelesaikan problem-problem sementara, problem-problem fana kita, namun Tuhan mau menyelesaikan masalah batin kita, supaya tidak ada dusta di hati kita terhadap Tuhan. Tak ada dusta, tidak ada keraguan, namun yang ada adalah cinta yang bulat, kehormatan yang pantas, dan takut akan Allah yang pantas. Masalah-masalah kita harus kita pandang tidak ada artinya. Kalaupun seakan-akan Tuhan tidak menolong, kita bisa berkata, “Kalaupun aku harus jatuh, aku hancur di tangan-Mu, jatuh di tangan-Mu, dan hancur di tangan-Mu.” 

    Sekalipun kita menjadi orang yang tidak dikenal, orang yang mungkin dianggap tidak bernilai, tapi kita merapat kepada Allah semesta alam. Hidup kita bernilai ketika kita menjadi sahabat Allah. Maka, kita harus tekun mencari Tuhan, dan Tuhan menggarap kita agar kita punya batin yang dicium Tuhan harum, dan Tuhan berkata, “Yang ini milik-Ku, dan bersama-Ku di kekekalan.” Kalau sampai nama kita di hati Bapa di surga, luar biasa. Perkarakan ini. Butuh ketekunan untuk itu sehingga kita sampai hadirat Tuhan.

    Kita harus berani berprinsip bahwa tidak ada tempat yang mulia, nyaman, aman, dan bahagia selain di hadirat Tuhan. Di sini,

    Ketekunan Maksimal

    Ketekunan Maksimal

    Satu kata ini harus kita miliki, yaitu “tekun, tekun, dan tekun.” Untuk mengalami Tuhan, merasakan kehadiran-Nya di dalam hidup kita, dibutuhkan ketekunan maksimal. Kita pasti pernah, atau paling tidak sebagian kita mengerti apa artinya tekun, ketika kita mengingini sesuatu, kita tekun. Apakah itu dalam dunia pendidikan, di mana kita bukan saja ingin lulus, melainkan ingin mencapai indeks prestasi yang tertinggi atau terbaik—apalagi kalau dalam suasana kompetisi, suasana bersaing dengan orang lain, kita betul-betul tekun, memaksimalkan semua kemampuan untuk mencapai apa yang kita ingini. Atau kalau kita sakit, maka kita tekun mencari pengobatan, bersedia mengubah pola hidup, pola makan, kita tekun melakukan apa pun demi kesembuhan dan lain sebagainya. 

     

    Harusnya untuk Tuhan, ketekunan seseorang haruslah ketekunan yang tertinggi, ketekunan yang maksimal. Kalau kita membaca Alkitab, Allah tidak mudah menyatakan diri kepada orang-orang yang dikasihi atau kekasih-kekasih Tuhan. Berapa lama Yusuf untuk bisa mencapai tingkat tertinggi menjadi sahabat Allah yang menyelamatkan Mesir dan keluarganya di Kanaan? Berapa lama Musa harus diproses untuk menjadi seorang pemimpin yang dipercayai membawa bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan? Empat puluh tahun di padang Midian. 

     

    Sebelum Daud menggulingkan, merobohkan Goliat, berapa lama ia ada di padang rumput bergaul dengan domba-domba, dan dia berlatih untuk bisa melindungi domba-domba peliharaan dengan mempertaruhkan nyawanya? Itu pun belum cukup. Ketika Goliat bisa ditumbangkan, Daud harus masuk sekolah padang gurun yang lebih menyakitkan. Apakah Sadrakh, Mesakh, Abednego, Daniel begitu mudah diangkat? Tidak, mereka harus melewati tahun-tahun di mana mereka harus menunjukkan cara hidup sebagai umat Yahudi yang berbeda dengan umat bangsa lain, dari cara hidup, cara makan, dan di situ ada pertaruhan. 

     

    Ibarat rajawali, kita harus terbang, dan jangan lelah. Kita minta Tuhan kuatkan sayap rohani kita dan memperlebar sayap rohani kita untuk terbang sampai kita mencapai hadirat Tuhan. Kita harus berjuang terus untuk memiliki kesucian, sampai kita bisa bersekutu dengan Tuhan dan Bapa di surga berkenan menaruh nama kita di hati-Nya. Tidak ada harga murah untuk bisa mengalami Tuhan. Alkitab jelas menunjukkan demikian. Jadi, jangan merasa bahwa apa yang kita lakukan ini sudah cukup untuk mengalami Tuhan, belum. Kalau kita sudah menginvestasikan, mempertaruhkan tenaga, pikiran, waktu untuk Tuhan dengan doa, puasa, dan lain-lain, tapi rasanya kita belum mengalami Tuhan secara maksimal, jangan kita menjadi tawar hati.

     

    Jujur saja, masih banyak di antara kita yang masih gamang, belum menentu, belum tetap; Allah itu antara ada dan tidak ada di dalam hidup kita, atau kita menganggap bahwa kita bukan orang istimewa di hadapan Allah yang bisa mengalami Tuhan secara dahsyat seperti pendeta atau orang-orang tertentu. Kita mungkin menjadi kecut dan kecil hati, dan berpikir, “Memang bagianku tidak bisa banyak.” Itu kita ditipu oleh suara hati kita yang bukan dari Tuhan. Tuhan mau dialami, Tuhan berkenan dialami sebanyak-banyaknya. Tetapi orang yang bisa mengalami Tuhan sebanyak-banyaknya adalah orang yang memiliki kapasitas diri sebesar-besarnya. 

     

    Bahaya kalau orang tidak punya kapasitas mengalami Tuhan, lalu dia mengalami Tuhan, dia menjadi sombong. Dan lebih mengerikan, kalau ia manipulatif, memanfaatkan Tuhan, paling tidak untuk kesombongan diri. Jadi kita harus tekun mencari Tuhan. Sementara kita berdoa, kita puasa, kita belajar firman Tuhan. Tuhan terus menggarap manusia batiniah kita, bagaimana kita bisa membulatkan hati mencintai Tuhan, hati yang utuh dan bulat mencintai Dia. Bagaimana kita bisa memiliki sikap hati di mana kita tidak merasa memiliki apa-apa kecuali Tuhan, di mana kita sampai pada level bahwa kehormatan dan kemuliaan kita tidak ada pada apa pun dan siapa pun,

    Sesegera Mungkin

    Sesegera Mungkin

    Sebagai orang yang beretika, kalau kita punya utang, kita mau agar kita dapat segera membayar utang itu. Rasanya kalau belum bisa membayar utang atau kalau kita belum mengembalikan barang yang kita pinjam, kita tidak atau belum tenang. Ini bicara soal utang atau pinjam barang. Kalau bicara mengenai cita-cita atau keinginan tertentu, biasanya orang ingin apa yang dicita-citakan segera tercapai, keinginannya segera didapatkan, sehingga yang lain menjadi tidak penting. Jadi, apa yang dia pandang bernilai bagi dirinya—apakah itu cita-cita atau suatu keinginan—maka ia ingin segera diperoleh. Diusahakan tidak ditunda, segera. 

    Mengapa untuk menjadi anak kesukaan Allah kita tidak bersikap seperti itu? Sesegera mungkin dan rasanya jiwa kita tidak tenang sebelum kita capai atau kita peroleh. Menjadi renungan kita yang benar-benar serius, kapan kita sungguh-sungguh menjadi anak-anak Allah yang berkenan di hadapan-Nya? Kapan? Apakah kita masih menunda? Apa yang mestinya kita harus capai sesegera mungkin? Sebab menghadap tahkta pengadilan Allah itu tidak bisa ditunda, bisa setiap saat jantung kita berhenti berdetak dan kita harus menghadap. Jadi, mengapa kita tunda? Mengapa harus nanti? 

    Jika ada dosa, jika ada kesalahan, bukankah darah Yesus membasuh? Kalau kita berbuat dosa, kita mengakui dosa itu, kita minta ampun dan Tuhan pasti mengampuni. Mengapa tidak segera kita selesaikan? Tentu setelah kita minta ampun, kita harus benar-benar meninggalkan dosa tersebut atau hal yang dapat melukai hati Tuhan. Siapa pun kita, bisa meleset. Begitu banyak masalah yang kita hadapi, begitu banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, banyak persoalan berat di mana hal ini sering membuat kita tergoda untuk fokus terhadap kebutuhan atau persoalan-tersebut. Kita bergumul, bagaimana kebutuhan ini bisa selesai dalam waktu cepat? Bagaimana persoalan yang kita hadapi bisa selesai sesegera mungkin? 

    Tapi kita tidak sungguh-sungguh berambisi untuk mencapai kehidupan yang benar-benar berkenan kepada Allah Bapa sesegera mungkin, secepat-cepatnya. Puji Tuhan, hari ini kita diingatkan. Maka sekarang kita mau mengambil keputusan, apa pun yang terjadi, terjadilah. Kalaupun kita harus jatuh, kita jatuh di tangan Tuhan. Tetapi yang penting bagaimana kita berkenan kepada-Nya. Jatuh di sini bukan jatuh dalam dosa, melainkan jatuh dalam berbagai masalah dan kesulitan. Jadi mau jadi, jadilah; namun bukan berarti kita tidak bertanggung jawab dan asal-asalan. Entah bagaimana, tetapi yang jelas kita ada di tangan Tuhan, karena di situ ada kepastian. 

    Jadi, artinya yang penting bagaimana sesegera mungkin kita menjadi anak-anak Allah yang berkenan di hadapan Tuhan. Seperti utang yang harus kita bayar. Dan memang, firman Tuhan mengatakan dalam Roma 8, “Kita adalah orang-orang berutang, bukan untuk hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” Kita sebagai pemburu Tuhan, ayo jangan tunda hal ini. Yang lain bisa ditunda, bahkan dibatalkan, terserah. Tapi kalau menjadi anak kesukaan Allah, jangan ditunda. Menjadi anak kesukaan Allah itu mutlak, lebih mutlak dari pekerjaan, jodoh, anak, keturunan, rumah, mobil, dan semua fasilitas. Menjadi anak kesukaan Allah mutlak, lebih mutlak dari apa pun, karena bagi kita Allah adalah segalanya. Melayani Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus merupakan kemutlakan satu-satunya. 

    Betapa luar biasa kalau kita menjadi anak kesukaan-Nya, di mana nama kita ada di hati Tuhan. Mintalah kepada Tuhan dan berperkaralah. Masalahnya, bagaimana kita bisa memiliki nama di hati Tuhan? Kalau kita mau nama kita ada di hati Tuhan, maka kita harus membuang semua kekasih hidup kita. Sejujurnya, kadang kita tidak sadar, kalau kita masih punya kekasih, kebanggaan, kesenangan, atau harapan-harapan. Sebagai seorang hamba Tuhan, kita berharap nanti punya gedung gereja sendiri, punya sekolah tinggi teologi, dan lain sebagainya, yang ternyata itu pun jadi ‘kekasih hati’ kita. Tuhan tidak ingin kita punya dambaan lain. Dambaan kita hanya Tuhan.

    Penjaga Kebenaran

    Penjaga Kebenaran

    Dalam bahasa Inggris, ada satu kata, “custodian” yang artinya penjaga. The custodian of truth, penjaga kebenaran. Penjaga kebenaran bukan sekadar melestarikan suatu ajaran atau doktrin serta membelanya mati-matian. The custodian of truth menjaga kebenaran yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, supaya dilestarikan sampai selamanya, dan dihidupi di dalam kehidupan. Apa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah apa yang dikenakan oleh Tuhan Yesus ketika Ia hidup di bumi. Apa yang diajarkan Yesus itu juga diperagakan oleh Yesus. Jadi, ada satu kata dan perbuatan. Tentu, mengukur ini tidak mudah, tapi yang jelas adalah Injil yang Yesus ajarkan itu akan mengubah manusia menjadi manusia yang agung, manusia yang mulia. Satunya kata, ajaran, dan perbuatan.  

    Di dalam Lukas 18:8, Yesus berkata, “Kalau anak manusia datang ke bumi, apakah Ia menjumpai iman di bumi?” Ayat itu menunjukkan betapa langkanya, bahkan hampir-hampir tidak ada orang percaya yang tetap setia. Ada semacam keraguan di situ, ketidakpastian, dan ini merupakan peringatan bagi kita bahwa makin sulit orang hidup dalam iman yang benar, sesuai dengan standar dan ukuran Tuhan. Sekaligus peringatan kepada kita adanya ancaman-ancaman yang membuat banyak orang percaya gagal beriman dengan benar. Tetapi Tuhan pasti menyisakan the custodian of truth, menyisakan orang-orang yang menjaga, memelihara kebenaran, yang ditandai dengan satunya perbuatan dan ajaran. 

    Orang bisa bicara apa pun tentang doktrin, orang bisa berargumentasi apa pun tentang doktrin, tetapi apakah doktrin yang diajarkan itu diperagakan, diterjemahkan dalam perbuatan, dibunyikan dalam perilaku? Jadi, sebenarnya dari satu perkataan orang, kita sudah bisa membaca apakah orang ini bermartabat atau tidak. Tapi saking gelapnya dunia ini, makin tidak jelasnya standar kebenaran dan kesucian, membuatnya benar-benar kacau. Tetapi kita mau teduh di hadapan Tuhan. Kita mau selalu ada di hadapan Tuhan yang akan mengoperasi diri kita, ketidakjujuran, ketidaktulusan, nurani yang kotor, dioperasi oleh Tuhan di dalam kehadiran-Nya, pada waktu kita memiliki perjumpaan dengan Dia. Dan di situlah kita akan makin mengenali kebenaran. 

    Tuhan Yesus berkata, “Kalau kamu dari Allah, kamu tahu, apakah ajaran-Ku datang dari Allah atau dari dunia?” Di akhir zaman ini, ada rasul-rasul palsu, nabi-nabi palsu, pekerja-pekerja palsu, tidak heran karena Iblis juga bisa menyamar sebagai malaikat terang. Iblis itu raja imitasi. Dia belajar sejarah gereja, dia lihat dinamika hidup orang Kristen, dia ikuti doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran, dan dia mencoba untuk masuk di tengah-tengah komunitas persekutuan orang Kristen, seperti ular melingkar di tengah Taman Eden. Iblis pun juga bisa melingkar di mimbar-mimbar gereja tanpa disadari. Dia cakap membuat sosok pendeta yang dianggap berstandar baik. Dia bisa membuat imitasi ketulusan, kerendahan hati, ketegasan terhadap dosa. Jadi, kalau tidak dengan Tuhan, kita tidak bisa melawan Iblis. 

    Tapi dia tidak mampu melihat apa yang akan terjadi, yang bisa itu hanya Tuhan yang transempiris, dan Tuhan menuntun kita di jalan-jalan-Nya, agar kita tidak berbuat dosa, agar kita tidak berbuat salah, agar kita bisa menang. Jadi, kita harus sungguh-sungguh menemukan iman yang benar, bagaimana kehidupan sebagai seorang yang melestarikan kebenaran—dengan kalimat lain, melestarikan kehidupan Yesus. Kehidupan Yesus adalah potret yang benar, namun hari ini dipalsukan dengan berbagai pemalsuan, hanya kalau kita mendekat kepada Tuhan, kita bertemu Tuhan, kita bertemu Roh Kudus, kita dituntun Roh Kudus, baru kita bisa tahu bagaimana sosok, figur, potret dari wajah batiniah Yesus yang benar. 

    Jadi, penjaga kebenaran bukan membela satu doktrin atau satu ajaran, dengan berbagai argumentasi, tulisan, buku, dan lain-lain, melainkan kebenaran yang diperagakan; satunya perbuatan dan perkataan, satunya perbuatan dan ajaran, satunya perbuatan dan doktrin. Ajaran yang benar,

    Bukan Hal yang Sederhana

    Bukan Hal yang Sederhana

    Bukan hal yang sederhana—berarti hal yang sulit, yang berat, yang kompleks, dengan harga yang sangat mahal—untuk bisa menghidupkan Allah di dalam hidup kita, bagaimana Allah itu nyata di dalam hidup kita. Allah itu milik kita semua dan kita dimiliki oleh Allah. Kita harus memiliki optimisme, keyakinan bahwa kita bisa mengalami Allah seperti kekasih-kekasih Tuhan, tokoh-tokoh iman di Perjanjian Lama. Menghidupkan Allah di dalam hidup kita bukanlah sesuatu yang sederhana, ini sesuatu yang berat, yang rumit, yang kompleks. Pasti lebih kompleks dari pergumulan mencari nafkah, studi, karier, jodoh, berumah tangga, atau apa pun. Kalau sampai ada hal yang lebih kompleks atau lebih rumit dari hal mencari Tuhan, berarti Tuhan kurang berharga dibanding sesuatu tersebut. 

    Coba kita perhatikan, ada saat di mana seorang pengusaha bukan mencari uang, melainkan ia dikejar uang, penghasilannya begitu banyak. Dia hanya jalan-jalan dari satu kota ke kota yang lain. Hal mencari uang merupakan hal yang tidak kompleks baginya, sehingga akhirnya uang juga menjadi tidak berharga bagi dia. Dia bisa beli apa saja dengan mudah, dan barang yang dibeli belum tentu dia nikmati. Berbeda dengan Tuhan. Kompleksitasnya itu melampaui segala kompleksitas. Orang bisa berkarier atau mencari nafkah dengan setengah hati, namun masih untung-untungan dia berhasil. Tapi tidak demikian halnya dengan orang yang mencari Tuhan. Orang yang mencari Tuhan untuk menemukan Tuhan benar-benar hidup di dalam hidupnya, harus melepaskan seluruh kehidupannya demi Dia.

    Sebab orang yang mau menemukan Tuhan dan menghidupkan Tuhan adalah orang yang tidak menghidupkan siapa pun dan apa pun, bahkan dirinya sendiri. Orang bisa memikirkan sesuatu, tapi tidak merasakan apa yang dia pikirkan. Tapi Tuhan menjadi satu-satunya objek yang sungguh-sungguh kita jumpai dan kita rasakan. Dan kalau kita serius berurusan dengan Tuhan, ada pengalaman-pengalaman baru yang kita peroleh yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Namun, pengalaman dengan Tuhan ini, sesuatu yang nyata. Yang kita pahami ketika kita mengalami keadaan itu atau mengalami Tuhan dan merasakannya. Dan itu bertahap terus. Kita tidak akan pernah jenuh atau bosan, dan herannya, selalu kompleks. Dari satu kompleksitas ke kompleksitas berikut, karena Allah yang tidak terbatas. Kalau dikatakan kompleksitas, bukan berarti menjadi rumit sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. 

    Jadi, ketika kita rajin berdoa dan punya doa pribadi,  kita seperti memasuki wilayah baru atau kawasan baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Jadi, betapa konyolnya kalau kita hanya menalar Allah dan apa yang kita pahami tentang Allah itu kita kurung dalam sangkar yang namanya buku, karya ilmiah, atau jurnal. Tetapi itulah yang terjadi di banyak Sekolah Tinggi Teologi, yang merupakan warisan dari generasi ke generasi. Pencarian Tuhan dalam persekutuan langsung dengan Allah mesti jalan bersama. Kalau tidak, orang tidak merasakan Allah, dia hanya memikirkan Allah, tapi merasakan dunia. Dia pandai berbicara mengenai Allah, dan bisa selebar-lebarnya, tapi hatinya mencintai dunia, hatinya senang dipuji. 

    Orang-orang seperti ini pasti tidak akan rindu Yerusalem Baru, tidak akan rindu bertemu dengan Tuhan, karena dia hanya memikirkan Tuhan, tapi tidak merasakan Tuhan. Sebab untuk merasakan Tuhan, kita harus mengalami Tuhan. Kita belajar kebenaran, merasa ada hal-hal yang luar biasa yang membuat kita sudah merasa punya pengetahuan begitu rupa, lalu kita pun merasa bahwa keselamatan kita lebih berkualitas, walau tanpa diiringi dengan perjumpaan dengan Allah setiap hari. Bersyukur kita dihajar Tuhan, sebab kita malu kalau kita menoleh ke belakang dan menyadari betapa bodohnya kita. Tapi Tuhan dalam kesabaran yang luar biasa, menunggu kita sampai kita mengerti. 

    Kita belajar kebenaran, tapi kita masih bisa punya hobi-hobi, masih membuka peluang untuk menikmati dunia. Tapi hari ini, kita bukan hanya belajar kebenaran,

    Ditunggu Tuhan

    Ditunggu Tuhan

    Logikanya atau realitasnya, kalau seseorang serius untuk satu hal, maka mengenai hal tersebut dia akan benar-benar fokus dan ia pasti akan menyediakan diri semaksimal mungkin. Seperti seorang yang mengidap penyakit, ia akan berusaha mencari rumah sakit yang baik, dokter yang baik, yang dapat menyembuhkan sakitnya. Kalau kita serius dengan Tuhan, serius dengan keselamatan kekal, serius dengan kehidupan di balik kematian, maka kita pasti serius pula dalam memilih gereja, memilih pendeta. Itu tidak bisa dihindari. Namun banyak orang Kristen yang tidak serius memperkarakan keselamatan kekalnya, tidak serius memperkarakan kualitas hidup atau keadaan hidupnya di hadapan Tuhan. Mereka tidak peduli kehidupan kekalnya yang terkait dengan kualitas hidupnya saat ini. 

    Sementara, kita mau menjadi yang terbaik di mata Tuhan. Soal bagaimana orang lain, kita tidak perlu membandingkan. Jadi, jangan heran kalau kita terus doa, puasa dan mencari Tuhan. Sebab, di setiap zaman Allah pasti punya rencana, punya pesan. Dan kita mau, kita rindu gereja kita menjadi kendaraan, di mana Tuhan menyampaikan pesan-pesan-Nya. Masalahnya, apakah kita serius? Kalau kita ke gereja hanya karena suatu keharusan, pasti kita tidak serius menjalani hidup. Orang yang serius menjalani hidup adalah orang yang harus memiliki jangkauan pandang kekekalan. Kita bukan hewan yang hari ini hidup, besok mati, selesai semua. Kita juga tidak sama dengan prinsip hidup manusia pada umumnya, “Mari kita makan, minum, sebab besok kita mati.” 

    Bagi kita orang percaya, bukan begitu. Kita punya value, nilai yang ada di Alkitab yang harus diterjemahkan dalam bahasa yang tepat pada zaman kita hari ini, dan diperagakan secara nyata. Pada kenyataannya, kita menemukan banyak gereja yang value atau nilai-nilainya masih dikungkung dengan perkara-perkara fana, yang penekanannya masih berkat-berkat jasmani. Itu bukan hanya memperbodoh, tapi juga menggiring umat terparkir di dunia, sama dengan terparkir di api kekal. Tapi kita mau serius memikirkan langit baru bumi baru, walau sebagian besar kita belum mampu menembus batas atau belum mampu untuk dientaskan, karena cara berpikir dunia sudah telanjur membelenggu. Di luar sana itu, tidak berpikir tentang kekekalan sama sekali. Konyolnya, gereja pun tidak mengampanyekan hal ini secara proporsional. 

    Coba kita bayangkan, ketika seseorang meninggal dunia, ternyata ada kekekalan, ada jalan yang tiada ujung, sedangkan dia tidak memiliki persiapan sama sekali, betapa mengerikannya! Banyak orang Kristen mati dalam kemiskinan. Ia tidak buat apa-apa untuk Tuhan. Pertanyaannya, harus buat apa? Layani Tuhan! Apa artinya melayani Tuhan? Dari setiap ucapan, gerak pikiran dan perasaan, tindakan dan perbuatan kita sesuai dengan hati-Nya, itulah cara kita melayani Tuhan. Khotbah atau renungan ini hanya briefing, pengantar. Yang penting adalah cara hidup kita di tiap hari, bagaimana kita mendengar suara Roh Kudus. Ketika kita menjumpai masalah, firman yang mengubah kita. Firman mengatakan, “Kasihi musuhmu.” Itu merupakan logos. Ketika kita dimusuhi, dijahati orang, firman itu menjadi rhema. Dan kalau terus-menerus proses itu berlangsung, kita menjadi anak-anak Allah, karena pikiran Allah masuk di dalam diri kita.

    Tetapi, itu akan kita alami kalau kita peka mendengar suara Tuhan. Dan untuk mendengar suara Tuhan, kita harus bertemu Tuhan, tidak bisa tidak. Tapi kalau kita tidak tiap hari bertemu Tuhan, kita tidak akan punya kepekaan. Kita tidak melihat Tuhan, sementara dunia ini luar biasa ateisnya. Walaupun orang berkata, “Tuhan, Tuhan,” namun kelakuannya tidak menunjukkan sebagai orang yang bertuhan. Itu namanya ateis praktis. Dan pengaruhnya besar sekali. Film, lagu tanpa disadari mengeliminir, membuang, memisahkan Tuhan. Tidak ada suasana Tuhan di situ. Sekarang bagaimana menghadirkan suasana Tuhan? Kita harus bertemu Tuhan setiap hari. Tuhan menunggu kita, tapi sering kali kita tidak tahu bahwa kita ditunggu Tuhan. 

Customer Reviews

4.7 out of 5
6 Ratings

6 Ratings

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Timothy Keller Sermons Podcast by Gospel in Life
Tim Keller
Tara Brach
Tara Brach
The Carson Center Podcast
The Gospel Coalition, Don Carson
Joel Osteen Podcast
Joel Osteen, SiriusXM
The Bible in a Year (with Fr. Mike Schmitz)
Ascension
BibleProject
BibleProject Podcast