PAKET "Pemuda Kristen Curhat‪"‬ Kopem GKI Bintama

Mengampuni bisa jadi adalah teladan Tuhan Yesus yang paling mudah untuk diucapkan, namun juga paling sulit untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Memang benar, manusia adalah ciptaan-Nya yang penuh dengan kesalahan, namun seringkali kita lupa akan hal ini dan terus-terusan menyimpan dendam terhadap semua hal yang menurut kita salah hingga bertahun-tahun lamanya. Maafkan, namun jangan lupakan, begitu kata orang-orang.

Benarkah begitu? Di satu sisi, memang kita harus memaafkan, sebab perasaan dendam yang terus-menerus tinggal di dalam hati sungguh menyesakkan dan menyusahkan. Lagipula, setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri mengapa mereka melakukan kesalahan tersebut. Memaafkan bisa jadi mudah untuk sebagian orang, namun soal melupakan itu hal lain lagi. Namun, apabila Tuhan bisa melakukan seperti itu kepada kita yang terus-menerus melakukan dosa yang sama, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama kepada sesama kita?

Siapa disini yang sering nonton Doraemon? Pasti udah ga asing ya tentunya, terlebih lagi dengan mesin waktu yang dimiliki Doraemon. Kadang jika disituasi kegagalan terjadi, kita ingin menghilang atau memutar balik waktu dan berharap ada mesin waktu yang menuju ke masa lalu atau berharap kita mempunyai kekuatan teleportasi untuk pergi kemanapun yang kita inginkan. Dan terkadang jika kita bisa kembali ke masa lalu ada 2 hal yang akan terjadi hal baik dan hal buruk, yang akan terjadi di kehidupan kita ataupun orang orang yang berada di sekitar kita di masa depannya nanti. Tapi jika kamu menemukan atau mendapatkan mesin waktu untuk kembali ke masa lalu apa yang akan kamu lakukan?

Seorang pujangga dari Inggris yang kita kenal betul bernama William Shakespeare semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa hidup adalah panggung sandiwara dan kita semua aktornya. Sebagai pemuda, tentu saja kutipan ini merupakan sebuah hal yang begitu dekat, mengingat hampir setiap hari kita diminta (bahkan dituntut) untuk selalu bisa menyembunyikan perasaan negatif dan hanya menampilkan kebalikannya. Terlalu sering melakukan ini membuat kita menjadi lelah. Harus sampai kapan kita berpura-pura bahagia di depan orang lain sementara di dalam kita berantakan?

Kehidupan para pemuda tidak pernah jauh dari kegagalan. Seringkali kegagalan ini mereka temukan dalam menggapai mimpi mereka sekali, dua kali, hingga berkali-kali. Meski sudah sering dikatakan dan diingatkan bahwa kegagalan merupakan hal yang lumrah untuk dihadapi, tidak semua orang memiliki mental baja untuk bangkit dan menghadapi masalah yang menghadangnya lagi. Malah terkadang, kegagalan kerap kali membawa para pemuda untuk menunjang kembali keinginannya, merasa tidak berdaya, hingga menyerah dan merasa bahwa dirinya sendiri pula adalah sebuah kegagalan. Tapi apakah benar begitu? Bagaimana seharusnya pemuda berpikir dan bertindak sebagai anak Tuhan dalam menyikapi kegagalan?