9 episodi

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

Radio Rodja 756 AM Radio Rodja 756AM

    • Religione e spiritualità

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

    Jujur kepada Allah ‘Azza wa Jalla

    Jujur kepada Allah ‘Azza wa Jalla

    Jujur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Hadits-Hadits Perbaikan Hati. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada Senin, 3 Dzulhijjah 1445 H / 10 Juni 2024 M.















    Kajian Islam Ilmiah Tentang Jujur kepada Allah ‘Azza wa Jalla







    Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,







    عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا







    “Wajib bagi kalian untuk jujur, karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Dan seseorang terus-menerus jujur dan berusaha untuk jujur sampai ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. Dan jauhilah kebohongan dan kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan menunjukkan dan mengajak serta menghantarkan kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan menghantarkan kepada neraka. Seorang terus berdusta dan sengaja berdusta sampai dituliskan di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim).







    Juga dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu berada di atas satu kendaraan. Kemudian Nabi berkata, “Wahai Muadz bin Jabal.” Muadz menjawab, “Aku menjawab panggilanmu Ya Rasulullah.” Nabi memanggil lagi, “Wahai Muadz.” Muadz menjawab, “Aku menjawab panggilanmu Ya Rasulullah.” Hal ini dilakukan tiga kali oleh Rasulullah. Kemudian Nabi bersabda,







    مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ







    “Tidak seorang pun yang bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah jujur dari hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka atasnya.”







    Muadz berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku mengabarkan kepada manusia sehingga mereka bahagia?” Nabi menjawab, “Kalau begitu mereka akan bersantai-santai.” Muadz tetap mengabarkan hadits ini karena takut berdosa (jika menyembunyikan ilmu). (HR. Bukhari).







    Sesungguhnya di antara tingkatan yang tinggi dalam agama adalah jujur kepada Allah ‘Azza wa Jalla, baik dalam ucapan, perbuatan, dan dalam semua kondisi, untuk mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,







    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ







    “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah[9]: 119)







    Kejujuran adalah cara terbaik untuk memperbaiki hati. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memotivasi dan menganjurkan untuk selalu jujur kepada Al...

    Syariat Mengembalikan Manusia Kepada Fitrahnya

    Syariat Mengembalikan Manusia Kepada Fitrahnya

    Syariat Mengembalikan Manusia Kepada Fitrahnya ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 3 Dzulhijjah 1445 H / 10 Juni 2024 M.















    Kajian tentang Syariat Mengembalikan Manusia Kepada Fitrahnya







    Sesungguhnya, salah satu di antara tujuan syariat adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Ini adalah salah satu tujuan Allah menurunkan Islam kepada manusia, yaitu agar manusia bisa kembali kepada fitrah mereka.







    Dalam hadits Qudsi, Nabi berkata bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,







    إني خلقتُ عبادي حنفاءَ فاجتالتْهم الشياطينُ







    “Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hambaKu hanif (di atas fitrah mereka), namun datanglah setan-setan menyesatkan mereka.”







    Salah satu talbis iblis terhadap manusia adalah mengeluarkan mereka dari fitrah, sehingga mereka berjalan tidak di atas fitrah mereka sebagai manusia. Itu pula yang dilakukan iblis terhadap kaum sufi, yaitu mengeluarkan mereka dari fitrah dan melanggar fitrah itu sendiri. Di antaranya adalah banyak sekali riwayat yang dinukil kepada kita dari mereka tentang kebiasaan mereka untuk tidak tidur, tidak memberikan hak bagi tubuh, dan menyiksa diri dengan berbagai amal yang mereka pandang ibadah. Tapi sebenarnya itu bukan ibadah karena ibadah adalah sesuatu yang harus ada tuntunannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika tidak, maka itu tidak tergolong ibadah, walaupun pelakunya merasa itu ibadah.







    Lebih tepatnya, ini adalah amal-amal yang mereka kerjakan dengan anggapan bahwa amal itu mendekatkan mereka kepada Allah, tapi ternyata tidak. Amal itu tidak mendekatkan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.







    Terakhir, kita bahas penukilan dari Abul Hasan Yunus bin Abi Bakar Asy-Syibli. Dia berkata, suatu malam ayahku berdiri mengerjakan shalat dengan satu kaki berpijak di atas lantai, sedang kaki yang satunya lagi terjulur ke bawah. Aku mendengar ayahku berkata kepada matanya, “Jika kamu terpejam, aku akan lemparkan kamu ke bawah.” Ayahku terus dalam kondisi seperti itu hingga subuh tiba. Keesokannya, ayahku berkata kepadaku, “Anakku, semalam aku tidak mendengar ada makhluk yang berdzikir kepada Allah selain ayam jantan yang harganya sepertiga dirham.”







    Seperti itu dia mengerjakan shalat malam dengan berpijak di atas lantai dengan satu kaki, dan dia tidak memejamkan matanya sampai pagi. Artinya, dia tidak tidur. Ini adalah hal yang tidak sejalan dengan ibadah yang dikerjakan Nabi. Nabi tidur dan Nabi juga mengerjakan shalat, seperti yang dinukil kepada kita tentang tiga orang yang mendatangi Aisyah bertanya tentang ibadah Nabi dan mereka merasa itu sedikit. Maka mereka berkata, salah satunya adalah, “Adapun aku, aku akan mengerjakan shalat malam dan aku tidak akan tidur.” Maka ketika berita itu sampai kepada Nabi, Nabi berkata, “Mengapa ada orang-orang yang mengatakan begini dan begitu? Adapun aku, aku berpuasa, aku juga berbuka, aku shalat, aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita,” yaitu aku juga berumah tangga, tidak menghindari kaum wanita. Fitrahnya seperti itu.







    Manusia perlu tidur karena memang fitrah mereka tidur. Maka Allah menyuruh kita untuk tidur pada waktunya, seperti malam hari. Bahkan, Nabi menganjurkan kita untuk tidur siang walaupun sekejap.

    Doa Masuk Masjid

    Doa Masuk Masjid

    Doa Masuk Masjid ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Doa dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Zulhijjah 1445 H / 10 Juni 2024 M.















    Kajian Tentang Doa Masuk Masjid







    Kali ini kita membahas tempat yang istimewa, yaitu masjid. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan adab sebelum masuk masjid, seperti membaca doa.







    Ada beberapa redaksi doa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum masuk masjid adalah,







    بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ







    Yang lebih familiar adalah, “اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ” adapun yang awalnya mungkin baru terdengar oleh beberapa dari kita hari ini.







    Apa dalil yang melandasi doa tersebut? Dalilnya ada dua:







    Pertama, hadits yang dituturkan oleh Putri Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Fatimah Radhiyallahu ‘Anha. Beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila masuk masjid, Rasulullah biasa membaca doa, بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ (Dengan menyebut nama Allah, semoga keselamatan terlimpahkan kepada Rasulullah).” (HR. Ahmad dan dinilai Shahih Lighairihi oleh al-Arnaut.)







    Kedua, Hadits yang familiar bagi kita adalah hadits yang disampaikan oleh seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dikenal dengan julukan Abu Usaid Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,







    إذا دخلَ أحدُكُمُ المسجِدَ فليقُلْ اللَّهُمَّ افتَح لي أبوابَ رحمتِكَ







    “Seandainya kalian masuk masjid, hendaklah membaca: ‘Allahummaftahli abwaba rahmatik (Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu.)'” (HR. Muslim.)







    Jadi, dua hadits di atas kita gabungkan menjadi satu doa,







    بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ







    Doa ini diawali dengan basmalah, yaitu ucapan “Bismillah.” Bismillah biasa diterjemahkan dengan “menyebut nama Allah.” Kata para ulama, maksudnya adalah saat kita menyebutkan nama Allah, intinya kita minta pertolongan dari Allah. Maka dari itu, ketika kita akan melakukan macam-macam aktivitas, disunnahkan membaca “Bismillah.”







    Bagaimana kandungan doa ini? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.







    Download mp3 Kajian























    Mari turut membagikan link download kajian “Doa Pergi ke Masjid” ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting

    Shalat dalam Keadaan Sangat Genting ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 3 Zulhijjah 1445 H / 10 Juni 2024 M.















    Download kajian sebelumnya: Shalat Khauf







    Kajian Tentang Shalat dalam Keadaan Sangat Genting







    Pada kesempatan sebelumnya, kita sudah membahas tentang shalat khauf, yaitu shalat ketika keadaan genting, seperti saat menghadapi musuh. Kita telah membahas bahwa shalat khauf memiliki empat cara yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kini, kita akan membahas satu cara lagi, yaitu ketika keadaan menjadi sangat genting sekali.







    Jika sebelumnya keadaan genting saat menghadapi musuh masih memungkinkan kaum muslimin untuk membuat barisan, dari satu sisi masih ada kelonggaran karena masih bisa mengkondisikan keadaan, tapi dari sisi lain ada kegentingan karena berhadapan dengan musuh.







    Namun, kali ini kita akan membahas keadaan yang sangat genting, seperti di tengah-tengah peperangan, di mana kita tidak bisa mengondisikan diri, tidak bisa berbaris, atau bahkan berdiri.







    Disebutkan bahwa apabila ketakutan menjadi sangat tinggi atau keadaan genting menjadi luar biasa sampai-sampai mereka tidak bisa shalat berjamaah seperti sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi mereka masih punya harapan bahwa keadaan tersebut bisa berakhir sebelum berlalunya waktu yang mukhtar (waktu ikhtiar), maka mereka disunnahkan untuk mengakhirkan shalatnya. Misalnya, waktu shalat ashar memiliki waktu mukhtar sampai sebelum matahari menguning. Ketika matahari menguning, itu adalah waktu darurat, sehingga tidak boleh mengakhirkan shalat sampai waktu tersebut kecuali ada udzur.







    Namun, apabila tidak ada harapan untuk itu dan waktu ikhtiar telah habis, sedangkan keadaan masih sangat genting, maka disebutkan bahwa mereka terpaksa shalat dengan cara isyarat sesuai kemampuan mereka. Misalnya, jika harus tiarap, maka shalat dalam keadaan tiarap; jika bisa duduk, maka shalat dalam keadaan duduk; jika bisa berdiri, maka shalat dalam keadaan berdiri; jika bisa rukuk, maka harus ada rukuknya; jika bisa sujud, maka harus ada sujudnya. Jika tidak bisa, maka rukuk dan sujudnya dilakukan dengan isyarat, yaitu dimana isyarat sujud lebih rendah daripada isyarat rukuk.







    Lalu bagaimana jika tidak bisa melakukan isyarat, misalnya dalam keadaan tiarap? Kita tidak bisa membungkukkan badan lebih rendah ketika sujud daripada ketika rukuk. Maka lakukan isyarat semampunya.







    Jika tidak bisa shalat kecuali dalam keadaan berjalan, maka lakukan shalat dalam keadaan berjalan. Jika tidak bisa shalat kecuali dengan naik kendaraan, maka lakukan shalat dengan naik kendaraan. Hal ini karena keadaan yang sangat genting. Seperti ini sebenarnya tidak boleh dilakukan dalam shalat, tapi karena keadaan sangat genting sekali. Bahkan jika tidak bisa menghadap kiblat, maka shalatlah tanpa menghadap kiblat. Ini sudah merupakan keadaan darurat. Para ulama mengatakan الضرورات تبيح المحظورات (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang asalnya diharamkan).







    Setelah melakukan shalat dengan cara yang seperti itu, jika kemudian keadaan aman kembali, maka tidak perlu mengulangi shalat tersebut, baik waktunya masih tersisa ataupun sudah lewat. Karena shalat tersebut itu masih sesuai dengan tuntunan...

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan

    Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 27 Dzulqa’dah 1445 H / 4 Juni 2024 M.















    Kajian Tentang Bahaya Memaksakan Pendapat Tanpa Memberi Penjelasan







    Kita akan melanjutkan poin tentang beberapa kesalahan yang harus dihindari. Ada tiga poin yang sudah kita bahas, terakhir adalah memaksakan pendapat tanpa memberi penjelasan, yaitu tanpa menyertakannya dengan argumentasi.







    Khusus remaja, tentunya dalam proses kedewasaan, akal mereka sudah semakin sempurna dan matang. Tentu mereka tidak bisa menerima atau menelan apapun mentah-mentah. Mereka sudah bisa berpikir kritis, dan kadang-kadang ini yang menjadi masalah bagi orang tua yang tidak siap untuk berargumentasi dengan remajanya dan masih menganggap mereka seperti anak kecil yang harus nurut saja.







    Memang anak harus menaati dan menuruti orang tua dalam perkara yang makruf. Hanya saja, kita juga harus pahami bahwa ketika anak itu remaja, akalnya sudah berkembang dan dia tidak bisa menerima begitu saja apa yang kita katakan. Tentunya kita juga ingin dia tidak menerima omongan siapapun di luar sana tanpa alasan. Maka itu harus dibangun dari rumah. Jangan kita biasakan dia menelan apapun mentah-mentah. Sehingga tanpa disadari, orang tua telah memberikan contoh taklid kepada anak.







    Orang tua harus siap untuk menyampaikan argumentasi, dan itu bukan suatu hal yang salah jika anak meminta argumentasi. Itu harus dipahami dan dimaklumi oleh orang tua. Maka kadang-kadang kita perlu, misalnya, menyampaikan satu instruksi, pendapat, atau pandangan dengan menyertakan argumentasi. Tidak lagi dengan kata-kata yang mengandung pemaksaan seperti “ikuti saja, titik,” atau “jangan banyak tanya, jangan banyak bicara.” Itu membungkam bukan hanya mulutnya, tetapi juga otaknya.







    Hal ini tidak baik bagi anak remaja, khususnya untuk mendidik mereka berpikir kritis. Begitulah fitrahnya manusia, seiring dengan bertambahnya usia, maka semakin matang akalnya. Maka jangan dimentahkan dengan kata-kata seperti yang banyak diucapkan oleh orang tua, “Kamu ikuti saja kata ibu, titik. Jangan banyak tanya.”







    Kita juga ingin dia itu mengikuti kata-kata kita, tapi tentunya berbeda ketika kita menghadapi bocah dengan anak remaja. Kalau bocah, mungkin kita berkata seperti itu karena dia belum bisa berpikir, belum matang akalnya, bahkan masih sangat mentah. Tapi, remaja berbeda.







    Demikian seperti nabi ketika berkomunikasi atau berdialog dengan remaja. Nabi selalu menyertakan alasan: mengapa beliau perintahkan, mengapa beliau anjurkan, mengapa beliau suruh demikian. Padahal beliau seorang nabi. Kita sudah angkat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ketika Nabi Ibrahim mengajak Ismail untuk melaksanakan perintah untuk menyembelihnya, Nabi Ibrahim tidak langsung mengambil pisau dan mengeksekusi. Tidak, tapi beliau menghargai kematangan akal anaknya, Ismail, yang saat itu, kata Allah, sudah masuk usia rusyd, dimana dia sudah bisa berdiri sendiri dan mengurus dirinya sendiri.







     فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ







    “Bagaimana menurut pendapatmu?” (QS. As-Saffat[37]: 102)







    Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.







    Download mp3 Kajian

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 27 Dzulqa’dah 1445 H / 4 Juni 2024 M.







    Kajian sebelumnya: Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji















    Kajian Tentang Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji







    Kita masih pada bab larangan dari sikap membangga-banggakan diri dan sikap melampaui batas atau berbuat zalim kepada orang lain. Hadits yang telah kita bahas adalah hadits pertama dari bab ini, yaitu hadits ‘Iyadh bin Himar Radhiyallahu ‘Anhu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,







    إنَّ اللهَ تَعَالَى أوْحَى إلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ، وَلاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ







    “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang bersikap melampaui batas kepada orang lain, dan tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas yang lainnya.” (HR. Muslim)







    Hadits ini menunjukkan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi ‘Alaihish Shalatu was Salam. Allah memerintahkan kepada beliau untuk menyampaikan kepada umat agar bersikap tawadhu (rendah hati), karena dengan sikap tawadhu dan rendah hati ini, maka seorang tidak akan mendzalimi saudaranya. Maka hendaknya seorang mukmin memiliki sifat rendah hati.







    Rendah hati ini sebagai penawar dari kedzaliman. Jika seorang tidak rendah hati, dia takabur, sombong, dan angkuh, maka dia akan melampaui batas terhadap orang lain. Tetapi ketika dia memiliki sifat tawadhu, maka dia tidak akan mendzalimi orang lain. Ini satu arahan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.







    Dan janganlah seorang membanggakan dirinya atas orang lain. Apa yang perlu dibanggakan? Manusia ini penuh dengan kekurangan, khilaf, kesalahan dan kelemahan. Makanya Rasul ‘Alaihish Shalatu was Salam melarang orang membanggakan dirinya atas orang lain. Apalagi yang menunjukkan kemuliaan seorang hamba adalah ketakwaannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,







    …إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ…







    “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu sekalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat[49]: 13)







    Maka hal-hal yang dibanggakan selain ketakwaan adalah tidak dibenarkan. Misalnya orang bangga dengan keturunan dan hartanya, padahal harta tidak akan mengekalkan dia di dunia ini, harta juga tidak akan menjadi penyelamat baginya di akhirat kelak, kecuali harta yang dimanfaatkan di jalan Allah. Demikian pula keturunan. Keturunan yang dibanggakan tidak akan bisa menolong di hari kiamat kelak, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim. Kata beliau ‘Alaihish Shalatu was Salam,







    مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ







    “Siapa yang diperlambat (masuk surga) oleh amalnya, maka dia tidak bisa dipercepat dengan keturunannya.” (HR. Muslim)







    Jadi, janganlah membanggakan diri.

Top podcast nella categoria Religione e spiritualità

Anima Ribelle Podcast con Ellis De Bona
Ellis De Bona
Cerco il Tuo volto
Cerco il Tuo volto
I MISTERI dell'OCCULTO di Paola Borrescio
Paola Borrescio
Viaggio nella Bibbia
Ad maiorem Dei gloriam
Il Tempo del Risveglio
Jano
Taccuino celeste
Riccardo Maccioni - Avvenire

Potrebbero piacerti anche…

Podcast Dakwah Sunnah
podcastdakwahsunnah
Firanda Andirja Official
Firanda Andirja
Cerita Sejarah Islam
Cerita Sejarah Islam Podcast
Radio Muhajir Project
Muhajir Project
Muhammad Nuzul Dzikri Podcast
Zilzal Ananta
Kajian Ustadz Khalid Basalamah
Kajian Islam