14 episodes

All About RUSH,
from Indonesian Perspective.

2112 Podcast 2112 Podcast

    • Society & Culture

All About RUSH,
from Indonesian Perspective.

    Eps. 14: Middletown Dreams

    Eps. 14: Middletown Dreams

    Menurut buku of “Rush, Rock Music, and the Middle Class: Dreaming in Middletown” karya Chris McDonald (2009), kritik Rush terhadap kehidupan suburban dan strategi untuk melarikan diri dari kehidupan tersebut tidak lain merupakan cerminan dari aspirasi sekaligus kecemasan kelas menengah. Kecemasan akan ketidakpastian, akan kondisi berada di tengah-tengah yang terhimpit dan terombang-ambing oleh bermacam persoalan. Antara dorongan libertarian dengan keteraturan sekaligus konformitas, antara kekuatan intelektual yang berbenturan dengan kenyataan lemahnya posisi kelas menengah secara ekonomi-politik.

    Namun di sisi lain, keterombang-ambingan inilah yang justru membukakan kesempatan bagi kelas menengah untuk berkontemplasi. Memikirkan kembali dalam-dalam perjalanan hidupnya dan memaknainya. Dalam hal inilah, karya seni (apapun bentuk seninya) memegang peran besar menjadi medium ataupun pemantik hadirnya momen kontemplatif tersebut. Dalam momen seperti inilah, lagu (terutama syair/liriknya) dapat menghantarkan manusia untuk dapat berdialog dengan dirinya sendiri, yang merupakan syarat utama kontemplasi. Inilah yang sejatinya dialami oleh Gandu Permana, seorang guru drum yang juga lulusan Desain Produk asal perguruan tinggi ternama Surabaya. Gandu adalah admin dari komunitas maya penggemar Rush yang bernama Rushgasm. Kepada Barto dan Yuka, Gandu menceritakan bagaimana lagu-lagu Rush merepresentasikan fragmen-fragmen penting dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari naik-turun dan pasang-surut penghidupan, hingga perjalanan spiritual yang mempertemukannya pada pertanyaan besar: “Bagaimanakah kehidupan hendak membentuk saya kali ini?”

    Berbeda dengan obrolan di 2112 Podcast yang biasanya, perbincangan Barto dan Yuka dengan Gandu dalam episode keempat belas ini lebih - jika dapat dikatakan demikian - kontemplatif. Obrolan mereka menempatkan siapapun yang mendengarkan podcast ini, baik penggemar berat Rush ataupun bukan, bahwa kita tidak lebih dari tiga karakter dalam lirik lagu “Middletown Dreams” (Power Windows, 1985), yaitu si salesman, si anak muda bergitar yang minggat dari kotanya, si Madonna setengah baya. Meskipun demikian, Peart secara tidak langsung menegaskan bahwa kelas menengah punya satu kekuatan sederhana yang mampu mendorong mereka untuk melakukan hal-hal penting dalam hidup: mimpi.

    Dreams flow across the heartland
    Feeding on the fires
    Dreams transport desires
    Drive you when you're down
    Dreams transport the ones
    Who need to get out of town

    • 1 hr 36 min
    Eps. 13: Bastille Day

    Eps. 13: Bastille Day

    Bastille Day (Hari Bastille) adalah peringatan atas penyerbuan kaum revolusioner Prancis ke penjara Bastille untuk merebut amunisi, pada 14 Juli 1789. Peristiwa tersebut kemudian menjadi hari nasional Prancis, sekaligus menandai pemantik api gerakan demokrasi di seluruh Eropa yang berlangsung hingga abad keduapuluh. Bagi penggemar setia RUSH, Bastille Day adalah salah satu lagu dari album ketiga mereka yang berjudul “Caress of Steel” (1975). Lagu ini tentunya bercerita tentang tidak terhindarkannya pertumpahan darah dalam perjuangan menumbangkan rezim monarki totalitarian dan menegakkan demokrasi. Entah apa yang Peart maksudkan dengan dalam potongan lirik ini “.. And they're marching to Bastille day. La guillotine will claim her bloody prize. Sing, o choirs of cacophony. Well, the king has kneeled to let his kingdom rise.” Ketika berbagai wilayah jajahan Eropa di benua Amerika, Asia dan Afrika satu per satu memerdekakan dirinya, maka sejarah mencatat bagaimana demokrasi menjadi semangat zaman baru yang menggema ke seluruh penjuru dunia.

    Bagi banyak orang, Rendi Khrisna adalah bintang sinetron. Sebagian lagi mengenalnya sebagai pemain bass Bragi—band pop-rock asal Jakarta—yang telah merilis tiga album. Namun, sedikit orang yang tahu bahwa Rendi adalah juga penggemar progressive rock. Rendi sangat mengagumi sosok Geddy Lee, baik sebagai pemain bass RUSH maupun sebagai manusia biasa. Kekaguman itu dengan sendirinya memotivasi Rendi untuk mengejar teknik bermain bass sebaik mungkin. Motivasi itu berbuah hasil kepiawaiannya membetot bass dengan kualitas yang tidak perlu diragukan. Bukti ini didapat dari laporan pandangan mata beberapa temannya ketika ia memainkan alur bass lagu “Analog Kid” dengan sangat baik. Sisi musikalitas ini menurut Rendi sendiri, tidak perlu ditampilkan seluruhnya dalam rekaman-rekaman Bragi. Rendi juga menceritakan bagaimana persahabatan semasa kuliah di FISIP UI terbentuk melalui RUSH jam session, berburu dan menonton bersama tayangan rekaman video musik serta konser RUSH. Lalu apa hubungannya dengan Bastille Day? Tidak ada. Kebetulan, “Bastille Day” adalah lagu RUSH yang paling disukai oleh Rendi. Itu saja. Simak obrolan - curhatan Rendi Khrisna tentang RUSH kepada Barto dan Yuka dalam episode ketigabelas ini.

    • 1 hr 50 min
    Eps. 12: The Big Money

    Eps. 12: The Big Money

    It's the power and the glory,
    It's a war in paradise.
    It's a Cinderella story,
    On a tumble of the dice.
    “The Big Money” adalah lagu pembuka dalam album “Power Windows” (1985) yang bercerita tentang kapitalisme global. Tanpa harus repot-repot mengambil kelas pengantar ekonomi makro ataupun belajar kritisisme Marxian, kita dapat menyimak pandangan pribadi Neil Peart - sebagai penulis lirik - tentang akumulasi kapital. Peart, seperti biasa, mencoba bertutur secara obyektif tanpa berpretensi memasukkan jargon perlawanan maupun dukungan. Menurut Sjamsu Rahardja, seorang ekonom dari World Bank yang sekarang menempati pos di Nursultan (dahulu Astana), Kazakhstan, lirik lagu “The Big Money” mengingatkannya pada sebuah peristiwa penting dalam percaturan ekonomi global yang sejaman dengan album “Power Windows.” Yaitu, di saat ekspansi ekonomi Jepang ke Amerika. Peart sendiri mengakui bahwa inspirasi lirik tersebut diperolehnya dari buku berjudul sama, karya John Dos Passos. “The Big Money” (1936) merupakan kritik Dos Passos terhadap gagasan “American Dream” yang menurutnya hanya akan membuat manusia kehilangan otentisitas.

    Sjamsu sendiri adalah gitaris legendaris dari Brawijaya Band, band sekolahan asal SMA Pangudi Luhur, Jakarta, yang dikenal sangat progresif (dalam konteks aliran musik bukan dalam konteks ideologi politik) pada kurun 1985-1988. Kepada Barto dan Yuka, Sjamsu menceritakan bagaimana pertemuannya dengan RUSH sejak masih duduk di bangku SMP hingga kuliah. Mulai dari rasa penasarannya dengan gambar “starman” yang tertempel pada jaket jeans milik kakak-kakak kelasnya, saling tukar teknik bermain gitar lagu “The Trees” di warung dekat sekolah, memainkan lagu YYZ semasa SMA, hingga pemahamannya atas makna lirik “The Big Money” ketika duduk di bangku kuliah. Simak obrolan ngalor-ngidul ketiga fanboys RUSH dalam episode ke duabelas ini.

    • 1 hr 36 min
    Eps. 11: 2112

    Eps. 11: 2112

    Sebagai bagian dari Budaya Populer, musik populer menempati posisi yang dilematis. Di satu sisi, diskursus tentang musik populer sarat dengan kontroversi, dituding sebagai pemicu dekadensi moral generasi muda. Mulai dari dansa-dansi Chacha dan Jive, Rock ’n’ Roll ala Bill Haley and the Comets hingga The Beatles dan The Rolling Stones, lalu Punk dan Heavy Metal, Rave dan Techno lantas entah apalagi seterusnya. Namun di sisi lainnya, musik populer tidak dapat dipungkiri memainkan peran penting dalam konstruksi kebudayaan pada masanya. Musik populer dapat menjadi pembuka wawasan estetik untuk orang banyak, ketika praktik dan karya seni tidak selalu mudah diakses oleh orang awam.

    Setelah sepuluh minggu berturut-turut mengudara, Barto dan Yuka melakukan kilas balik terhadap perbincangan mereka dalam kesepuluh tajuk dan dengan sembilan narasumber. Tentu saja tidak semua cukup untuk diperbincangkan lantaran terbatasnya waktu. Meski demikian, beberapa kata kunci penting yang muncul menjadi perhatian mereka berdua untuk dibahas lebih lanjut. Seperti halnya album keempat Rush bertajuk “2112” rilisan 1976, episode kesebelas ini menjadi penanda masuknya podcast ini ke dalam rangkaian tema baru, dengan sederet narasumber baru pula tentunya. Simak saja obrolan ngalor-ngidul kedua fanboys ini dalam episode kesebelas yang diberi tajuk “2112.”

    • 1 hr 39 min
    Eps. 10: Exit... Stage Left

    Eps. 10: Exit... Stage Left

    “Berapa lama ya durasi ngobrolnya?” tanya Coki pada Yuka melalui aplikasi chat, ketika ia diundang untuk menjadi narasumber 2112 Podcast. “Mulai jam 9 sampai kelar. Rata-rata sih sekitar satu setengah sampai dua jam,” jawab Yuka. “Wanjer… Hahaha… Gue sih nggak tau sanggup berapa lama, perasaan angle gue terhadap Rush ya itu-itu saja buat gue dari dulu.” . Itulah sekelumit perbincangan awal tentang bagaimana Coki Singgih, seorang periset dan konsultan komunikasi massa yang tengah sibuk menyusun rencana proyek edukasi tentang musik populer, berani mengaku dirinya sebagai penggemar RUSH. Seperti yang sudah diduga sebelumnya dan seperti yang telah Yuka peringatkan, bahwa sangat mungkin Coki sendirilah yang tidak dapat berhenti bercerita tentang banyak hal antara RUSH dan dirinya.

    Praktik musik populer, sebagaimana praktik kebudayaan lainnya adalah sebuah proses “making meaning.” Estetika bunyi berpadu dengan rangkaian kata-kata puitis yang hadir sebagai musik selalu dapat menembus ruang-ruang pemaknaan dan mengguratkan jejak penting. Adakalanya jejak tersebut kita sadari, namun kadang terekam jauh di ambang sadar seseorang. “The music speaks for itself,” justru karena minimnya informasi tentang budaya populer global yang dapat diakses oleh anak-anak muda Indonesia di dekade 1980-an, membuat Coki harus mengonstruksi sendiri pemaknaannya terhadap RUSH. Berdasarkan pengalaman itu, Coki berpendapat bahwa konsumsi musik di masa-masa pertumbuhan seseorang menjadi sangat penting bagi perkembangan mental dan intelektual. Misalnya, belajar untuk memaknai relasi dengan orang lain, bersikap etis dan memiliki daya pikir yang kritis. Kepada Barto dan Yuka, Coki bercerita tentang bagaimana hal-hal tersebut terpicu oleh pertemuannya dengan album Exit… Stage Left (1981) ketika ia masih berusia 10 tahun. Simak perbincangan yang cair, santai dan penuh canda antara mereka bertiga dalam episode kesepuluh ini.

    • 2 hrs 14 min
    Eps. 09: Prime Mover

    Eps. 09: Prime Mover

    Pada dekade 1980-an, perang dingin antara Negara Dunia Pertama (blok Kapitalis) dengan Negara Dunia Kedua (blok Komunis) mencapai puncaknya. Kekuatiran akan pecahnya perang nuklir menjadi keresahan kolektif yang terekam dalam budaya populer, terutama musik rock. Banyak lagu lahir di masa itu yang menarasikan pesan perdamaian. Kita dapat temukan gejala tersebut pada musik populer Barat, tentunya. Meskipun demikian, tidak semua menelusuri rute tematik yang sama. Di belahan utara benua Amerika, RUSH justru mulai memasuki masa kontemplatif, dan bahkan cenderung spiritual dengan cara mereka sendiri. Di tengah gempitanya narasi “look good and feel good” di panggung musik populer dunia, RUSH justru menampilkan diri mereka sebagai observer, alias si pengamat. Demikianlah, ungkap Firman Norosoma, penulis yang banyak mengulas aktivitas seni dan budaya.

    Kepada 2112 Podcast, Firman menceritakan bagaimana minatnya terhadap progressive rock bertumbuhkembang semasa remaja pada akhir abad keduapuluh hingga awal abad keduapuluh satu. Mulai dari bangku sekolah, hingga peran di lapak-lapak kaset bekas sepanjang Jalan Gembong hingga Jalan Pemuda di Surabaya yang tidak ubahnya “community center” bagi penggemar genre musik populer yang “tidak populer ini.” Kisah Firman boleh jadi terdengar remeh, akan tetapi, sejatinya menceritakan bagaimana konsumsi terhadap budaya populer global memberi makna pada sekelompok kecil remaja Indonesia pada masa itu. Simak perbincangan antara Barto dan Yuka dengan Firman yang ngalor-ngidul dalam episode kesembilan ini.

    • 1 hr 34 min

Top Podcasts In Society & Culture

Between Two Beers Podcast
Steven Holloway & Seamus Marten
The Upside Podcast
AIA Vitality & TVNZ
Stuff You Should Know
iHeartPodcasts
The Louis Theroux Podcast
Spotify Studios
Shameless
Shameless Media
What It Was Like
Superreal