10 episodes

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

Radio Rodja 756 AM Radio Rodja 756AM

    • Religion & Spirituality

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas

    Bab Larangan Membangga-Banggakan Diri dan Melampaui Batas adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 27 Dzulqa’dah 1445 H / 4 Juni 2024 M.







    Kajian sebelumnya: Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji















    Kajian Tentang Bab Berkhianat dan Membatalkan Janji







    Kita masih pada bab larangan dari sikap membangga-banggakan diri dan sikap melampaui batas atau berbuat zalim kepada orang lain. Hadits yang telah kita bahas adalah hadits pertama dari bab ini, yaitu hadits ‘Iyadh bin Himar Radhiyallahu ‘Anhu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,







    إنَّ اللهَ تَعَالَى أوْحَى إلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ، وَلاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أحَدٍ







    “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang bersikap melampaui batas kepada orang lain, dan tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas yang lainnya.” (HR. Muslim)







    Hadits ini menunjukkan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi ‘Alaihish Shalatu was Salam. Allah memerintahkan kepada beliau untuk menyampaikan kepada umat agar bersikap tawadhu (rendah hati), karena dengan sikap tawadhu dan rendah hati ini, maka seorang tidak akan mendzalimi saudaranya. Maka hendaknya seorang mukmin memiliki sifat rendah hati.







    Rendah hati ini sebagai penawar dari kedzaliman. Jika seorang tidak rendah hati, dia takabur, sombong, dan angkuh, maka dia akan melampaui batas terhadap orang lain. Tetapi ketika dia memiliki sifat tawadhu, maka dia tidak akan mendzalimi orang lain. Ini satu arahan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.







    Dan janganlah seorang membanggakan dirinya atas orang lain. Apa yang perlu dibanggakan? Manusia ini penuh dengan kekurangan, khilaf, kesalahan dan kelemahan. Makanya Rasul ‘Alaihish Shalatu was Salam melarang orang membanggakan dirinya atas orang lain. Apalagi yang menunjukkan kemuliaan seorang hamba adalah ketakwaannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,







    …إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ…







    “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu sekalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat[49]: 13)







    Maka hal-hal yang dibanggakan selain ketakwaan adalah tidak dibenarkan. Misalnya orang bangga dengan keturunan dan hartanya, padahal harta tidak akan mengekalkan dia di dunia ini, harta juga tidak akan menjadi penyelamat baginya di akhirat kelak, kecuali harta yang dimanfaatkan di jalan Allah. Demikian pula keturunan. Keturunan yang dibanggakan tidak akan bisa menolong di hari kiamat kelak, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim. Kata beliau ‘Alaihish Shalatu was Salam,







    مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ







    “Siapa yang diperlambat (masuk surga) oleh amalnya, maka dia tidak bisa dipercepat dengan keturunannya.” (HR. Muslim)







    Jadi, janganlah membanggakan diri.

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri

    Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 26 Dzulqa’dah 1445 H / 3 Juni 2024 M.















    Kajian tentang Kisah Kaum Sufi yang Merendahkan dan Menghinakan Diri







    Kita masih berbicara tentang bagaimana tipu daya iblis terhadap kaum sufi dalam hal merendahkan dan menghinakan diri sendiri. Di antaranya, kemarin kita bahas satu riwayat yang dinukil oleh mereka dari Abu Abdillah Al-Husri. Dia bercerita bahwa selama 20 tahun, Abu Jafar Al-Haddad bekerja tiap hari dengan upah 1 dinar, dan uang itu secara rutin dia infakkan kepada orang-orang fakir. Dia juga berpuasa dan biasa keluar antara Maghrib dan Isya untuk mengetuk pintu-pintu rumah manusia meminta sedekah untuk berbuka puasa kepada mereka. Jadi, orang ini bekerja dan punya penghasilan, tapi semua penghasilan itu dia infakkan. Lalu, dia berpuasa tiap hari, dan antara Maghrib dan Isya untuk buka puasa dia tidak punya uang, sehingga harus mendatangi pintu-pintu rumah manusia dan meminta mereka makanan berbuka.







    Ini perkara yang tidak sejalan dengan pendidikan yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa kita dilarang untuk menginfakkan semua harta hingga tidak tersisa untuk kita, karena diri kita juga punya hak, dan apa yang kita keluarkan untuk diri kita juga terhitung sedekah. Jadi, sedekah yang kita keluarkan untuk manusia tentunya tidak menghabiskan dan meludeskan harta kita sehingga harus meminta-minta kepada manusia. Inilah yang dilarang nabi kepada Sa’ad bin Abi Waqqas ketika ingin menginfakkan separuh dari hartanya. Nabi mengatakan, “Sepertiga saja, dan sepertiga itu juga sudah banyak. Engkau tinggalkan keluargamu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada manusia.”







    Lihat: Wasiat Adalah Untuk Selain Ahli Waris – Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 180-183







    Jadi, tidak boleh semua kita infakkan sehingga tidak ada yang tersisa untuk diri kita, sebab apa yang kita keluarkan untuk diri kita juga terhitung sedekah. Yang kita keluarkan untuk keluarga kita juga terhitung sedekah, karena mereka punya hak, diri kita juga punya hak yang harus kita tunaikan. Maka sikap seperti ini tentunya keliru. Mungkin sebagian orang berdalil dengan kisah Abu Bakar yang menginfakkan semua hartanya lalu mengira bahwa betul-betul ludes tidak tersisa sedikit pun untuk dirinya. Ini adalah satu pemahaman yang keliru.







    Maksudnya, “semua” di sini bukan artinya habis tidak tersisa sama sekali. Maksudnya adalah sebagian besarnya, bukan semua sehingga setelah itu kita harus mengemis karena tidak punya apa-apa. Menyedekahkan semuanya itu tidak sejalan dengan pengajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.







    Jadi, letakkanlah setiap hak itu pada tempatnya dan menurut porsinya. Tidak mungkin kita bantu tetangga sementara keluarga kita kelaparan, tidak ada sesuatu untuk dimakan sehingga harus meminta kepada manusia untuk mencukupi kebutuhan kita sendiri. Ini adalah prinsip yang salah. Maka Nabi tidak membolehkan Sa’ad bin Abi Waqqas untuk mewakafkan separuh dari hartanya. Sepertiga saja, dan itu juga sudah banyak.







    Bagaimana penjelasan lengkapnya?

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat

    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Sabtu, 25 Dzulqa’dah 1445 H / 2 Juni 2024 M.















    Larangan Keras Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat







    Kita masuk pada bab larangan keras lewat di hadapan orang yang sedang shalat.







    Hadits 337:







    Dari Busar bin Said, bahwa Zaid bin Khalid Al-Juhani mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk bertanya apa yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ tentang orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat. Abu Juhaim berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,







    لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ







    “Seandainya orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat tahu (dosa) apa yang akan ia dapatkan, maka lebih baik dia berdiri selama empat puluh daripada lewat di hadapan orang yang sedang shalat.” Abu Nadhir berkata, “Aku tidak tahu apakah beliau berkata empat puluh hari, atau bulan, atau tahun.” (HR. Muslim)







    Haramnya lewat di depan orang yang sedang shalat







    Dari hadits ini kita mengetahui haramnya lewat di depan orang yang sedang shalat antara ia dengan sutrah. Karena di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengancam. Kata beliau, “Lebih baik seseorang berdiri 40 daripada ia melewati orang yang sedang shalat di hadapannya.”







    Apa yang dimaksud dengan 40? Di situ nabi tidak menjelaskan 40 apa. Apakah 40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun, tidak dijelaskan. Ini dalam rangka memberikan pesan bahwa ini perkara yang berat. Ini bukan perkara yang ringan. Bayangkan, lebih baik seseorang berdiri 40 (tidak diketahui, bisa jadi 40 hari, bisa jadi 40 bulan, atau bisa jadi 40 tahun). Maka dari itu, hati-hati jangan sampai kita melewati orang yang sedang shalat.







    Kata Imam Asy-Syaukani, menjelaskan hadits ini bahwa seandainya orang yang melewati di hadapan orang shalat mengetahui bagaimana besarnya dosa yang ia lakukan, tentu ia akan lebih memilih berdiri 40 dibandingkan dia melewatinya. Berarti hadits ini menunjukkan bahwa melewati di hadapan orang yang sedang shalat itu termasuk dosa-dosa besar yang pelakunya terancam masuk neraka.







    Ini berlaku kalau dia shalat sendirian. Adapun kalau dia shalat berjamaah, maka sutrahnya makmum adalah sutrahnya Imam. Jadi, misalnya kita lewat di depan shaf pertama tapi di belakang imam, maka ini boleh. Karena pernah Ibnu Abbas melakukan itu. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas pernah naik keledai kemudian melewati di hadapan shaf pertama, tepat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia lewat begitu saja dengan keledainya. Kata Ibnu Abbas, “Tidak ada seorang pun yang mengingkariku.” Kalau itu perkara yang mungkar, pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskannya, karena nabi maksum, nabi terjaga dari kesalahan.







    Lalu bagaimana cara mencegah orang yang mau lewat di hadapan orang yang sedang shalat? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.







    Download mp3 Kajian























    Mari turut membagikan link download a href="https://www.

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin

    Khutbah Jumat: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi, Bogor, pada Jum’at, 23 Dzulqa’dah 1445 H / 31 Mei 2024 M.















    Khutbah Jumat Pertama: Kemuliaan dan Keperkasaan Seorang Mukmin







    Rasul kita yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam didatangi oleh Malaikat Jibril. Lalu Jibril berkata kepada beliau,







    يا محمَّدُ ! عِشْ ما شئتَ فإنَّك ميِّتٌ…







    “Ya Muhammad, hiduplah sesukamu, sesungguhnya kamu akan meninggal dunia. Cintailah orang yang kamu cintai, sesungguhnya kamu pasti akan berpisah dengannya. Dan beramallah sesuai dengan kehendakmu, sesungguhnya kamu pasti akan diberikan balasan oleh Allah. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malamnya, dan keperkasaannya saat ia tidak membutuhkan manusia.” (Sebuah wasiat yang dikeluarkan Imam At-Thabrani dalam Mu’jam-nya dan dihasankan oleh Syekh Albani Rahimahullah.)







    Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, silakan kamu hidup sesukamu, kamu akan meninggal dunia.” Semua manusia, semua kita pasti akan meninggal dunia. Allah berfirman,







    كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ







    “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 185)







    Kematian itu sesuatu yang pasti. Dan setelah kematian itu yang harus kita pikirkan. Karena setelah kematian kita akan diberikan oleh Allah balasan setimpal sesuai apa yang kita amalkan di dunia.







    Persiapkanlah diri kita menuju kematian. Rasul kita yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam menyuruh kita banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,







    أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ الْمَوْتَ







    “Perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.”







    Sekaya apa pun kita, hidup seenak apa pun, tetap kita akan meninggal dunia. Kita akan dibungkus dengan kain kafan kemudian dimasukkan dalam liang lahad. Di sana tidak ada teman, tidak ada siapa-siapa yang akan membantu kecuali amalan kita.







    HP yang selalu kita pegang akan meninggalkan kita. Teman-teman yang sangat kita cintai pun akan pergi dan melupakan kita. Istri dan anak-anak kita juga akan pergi dan meninggalkan kita. Kita akan sendiri di liang lahad, didatangi malaikat Munkar dan Nakir, dan ditanya, “Man Rabbuka?” Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa agamamu? Siapkah kita, saudaraku, untuk hari itu? Karena siapa yang selamat di kuburnya, maka yang setelahnya lebih mudah lagi. Dan siapa yang tidak selamat di kuburnya, kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka setelahnya lebih berat lagi.







    “Silakan kamu hidup sesukamu, sesungguhnya kamu pasti akan meninggal dunia. Silahkan cintai siapa yang kamu sukai, sesungguhnya kamu pasti akan berpisah dengannya.”







    Perpisahan itu pasti, saudaraku, dengan orang-orang yang kita cintai. Mungkin kita yang dahulu pergi meninggalkan mereka atau mereka yang dahulu pergi meninggalkan kita. Yang jelas, mencintai seseorang janganlah berlebih-lebihan. Disebutkan dalam sebuah riwayat,







    أَحْبِبْ حَبِيبَك هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَك يَوْمًا مَا







    “Cintailah saudaramu yang kamu cintai sesuai dengan kadarnya. Bisa jadi akan menjadi musuhmu kelak suatu hari.”

    Berita Ghaib Yang Allah Wahyukan – Tafsir Surah Ali Imran 44

    Berita Ghaib Yang Allah Wahyukan – Tafsir Surah Ali Imran 44

    Berita Ghaib Yang Allah Wahyukan – Tafsir Surah Ali Imran 44 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 20 Dzulqa’dah 1445 H / 28 Mei 2024 M.















    Download kajian sebelumnya: Disyariatkan Memberikan Kabar Gembira – Tafsir Surah Ali Imran 39







    Berita Ghaib Yang Allah Wahyukan – Tafsir Surah Ali Imran 44







    Kita masuk ke ayat yang ke-44 dari Surah Ali Imran. Setelah menceritakan tentang kisah Nabi Zakaria, demikian pula kisah Maryam. Allah berfirman,







    ذَٰلِكَ مِنْ أَنبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ ۚ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ







    “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan mengasuh Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 44)







    “Itu semua adalah sebagian berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu.” Ini menunjukkan bahwa Rasul kita yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam tidak mengetahui yang ghaib, akan tetapi beliau diberikan wahyu oleh Allah. Maka, yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kabarkan tentang apa yang terjadi di masa depan, semua itu wahyu dari Allah.







    Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk berita-berita sesuatu yang ghaib yang tidak diketahui dan tidak terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “نُوحِيهِ إِلَيْكَ” (yang Kami wahyukan kepadamu).







    Wahyu secara bahasa artinya adalah pemberitahuan dengan cepat dan tersembunyi. Sedangkan dalam syariat, wahyu adalah pengabaran dari Allah kepada nabiNya dengan apa yang Allah kehendaki dari syariatNya.







    Wahyu yang Allah turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu bermacam-macam. Terkadang berupa mimpi, makanya mimpi para nabi itu termasuk wahyu. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya, itu juga wahyu.







    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di awal-awal juga menerima wahyu berupa mimpi. Kata Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,







    أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ 







    “Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur.” (HR. Bukhari)







    Terkadang, wahyu itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didatangi oleh Malaikat Jibril dengan bentuk manusia, kemudian mengajar bicara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan terkadang, wahyu itu berbentuk seperti suara lonceng, ini merupakan hal yang paling berat bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di musim yang sangat dingin diberikan wahyu dengan jenis ini sampai beliau keringatan.







    Wahyu hanya diberikan kepada nabi dan rasul. Adapun selain nabi dan rasul,

    Hindari Memandang Rendah Anak

    Hindari Memandang Rendah Anak

    Hindari Memandang Rendah Anak merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 20 Dzulqa’dah 1445 H / 28 Mei 2024 M.















    Kajian Tentang Hindari Memandang Rendah Anak







    Kita masih membahas kesalahan-kesalahan yang harus dihindari (dalam komunikasi dengan remaja). Di antaranya yaitu suka memburuk-burukkan, menjelek-jelekkan, dan memandang rendah anak. Mungkin ini akibat membandingkan anak dengan anak yang lain, sehingga terkesan kita merendahkannya dan menjelekkannya karena dia tidak bisa seperti Fulan dan Fulan. Ini adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan orang tua kepada anak-anak mereka, terutama remaja yang tentunya mereka mengerti betapa jeleknya ketika dia dipandang rendah oleh orang tuanya sendiri. Mungkin karena akibat dia dibandingkan dengan anak-anak yang lain, ada perasaan bahwa ini tidak fair bagi dirinya dan ini akan membuat anak itu cenderung memberontak apabila hal ini terus dilakukan.







    Banyak orang tua suka mempermasalahkan hal-hal yang tidak perlu dipermasalahkan atau yang masih bisa ditoleransi. Sehingga kadang-kadang masalah-masalah kecil selalu diangkat dan dipermasalahkan. Mungkin orang tua ini merasa tidak ada topik lain untuk dibahas atau diangkat untuk dijadikan materi dialog komunikasi dengan anak, sehingga hal-hal kecil yang kadang-kadang sepele dan sebenarnya masih bisa ditolerir kita besar-besarkan.







    Terutama para ibu, di sini yang kadang-kadang karena kemampuan berpikir mereka juga terbatas, sehingga kemampuan mereka berkomunikasi dengan anak-anak remaja mereka juga terbatas. Kadang-kadang hal-hal yang tidak perlu diangkat dan dibahas ternyata dipermasalahkan. Ini harus dihindari. Sebenarnya kita buang-buang energi kalau kita mempermasalahkan hal-hal yang kecil. Bahkan ada yang langsung menvonis, menyerang anak itu dengan kata-kata, menyerangnya secara verbal, misalnya memarahinya dengan berlebihan, dan ini akan menjatuhkan mental anak. Yang lebih parah, yaitu akan menurunkan kepercayaan anak terhadap orang tuanya. Ini sangat berbahaya karena anak akan menghindari dan menjauhi orang tuanya. Sebagian orang tua mungkin tidak sadar bahwa mereka sudah mulai dijauhi oleh anak-anak remaja mereka karena selalu mengangkat masalah-masalah yang sebenarnya tidak perlu diangkat.







    Maka hal-hal yang masih bisa kita beri toleransi, berilah toleransi kepada mereka. Kita juga sama, sebenarnya kita yang dewasa saja kadang-kadang kalau dipersalahkan terus maka apa yang kita lakukan? Kita merasa kenapa saya tidak dikasih toleransi? Semua manusia perlu toleransi, kita dan remaja juga. Apabila kita harus divonis setiap kesalahan yang kita lakukan, dada kita akan sempit, pikiran kita juga akan buntu. Kita seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa, mati kreativitas kita. Itu kalau selalu dilihat sisi yang buruk pada diri kita.







    Di sinilah pentingnya kita menjadi orang yang cerdas. Orang yang cerdas itu adalah orang yang bisa melihat sesuatu dari berbagai sisi, tidak hanya dari satu sisi saja. Dengan itu kita bisa memberikan toleransi kepada orang lain dan kita bisa memahami orang lain. Kalau kita hanya berpikir melihat dari satu sisi saja, maka orang lain tidak ada benarnya dan kita tidak ada salahnya. Kita akan selalu merasa benar apapun yang kita lakukan. Karena manusia seburuk-buruk apapun yang dilakukannya, dia pasti punya argumentasi, terlepas benar atau salah, atas apa yang dilakukannya itu. Kalau dia melihatnya dari satu arah saja,

Top Podcasts In Religion & Spirituality

Faith In Action (Video)
Keith Moore
The Strong Women Podcast
Colson Center
Heartbeat of Faith
Pray.com
Adelaide Heward-Mills
Adelaide Heward-Mills
«Жизнь, полная радости» с Джойс Майер
Джойс Майер
Pr Rachid Haddach
Rachid Haddach

You Might Also Like

Podcast Dakwah Sunnah
podcastdakwahsunnah
Firanda Andirja Official
Firanda Andirja
Radio Muhajir Project
Muhajir Project
Cerita Sejarah Islam
Cerita Sejarah Islam Podcast
Muhammad Nuzul Dzikri Podcast
Zilzal Ananta
Mufti Menk
Muslim Central