Profesi guru sering dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah gelar yang menunjukkan penghargaan atas peran penting mereka dalam membangun generasi penerus. Di balik penghormatan ini, tersimpan tanggung jawab besar: mendidik, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral di tengah berbagai tantangan yang terus berkembang.
Namun, realitas profesi ini tidak selalu seindah julukannya. Permasalahan mengenai kesejahteraan guru di Indonesia, beban tugas yang semakin banyak, hingga maraknya kriminalisasi guru belakangan ini, menjadi momok yang menyeramkan bagi mereka.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti baru-baru ini menyampaikan pandangannya mengenai perlindungan terhadap profesi guru, sebuah isu yang semakin relevan di tengah meningkatnya tekanan sosial dan hukum yang sering dihadapi tenaga pendidik. Dalam pernyataannya, ia membuka kemungkinan untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terkait perlunya pembentukan Undang-Undang (UU) Perlindungan Guru yang secara spesifik mengatur hak dan perlindungan hukum bagi para guru.
Di sisi lain, Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa regulasi yang ada saat ini, terutama UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebenarnya telah mencakup berbagai aspek perlindungan yang dibutuhkan profesi ini. Pernyataan ini menyoroti adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan antara penyempurnaan regulasi dan optimalisasi implementasi kebijakan yang sudah ada.
Lantas, apakah wacana pembentukan undang-undang ini memang mendesak untuk memberikan perlindungan pada guru?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Dewi Rahmwati, peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute.
Dewi melihat bahwa banyak orang beranggapan, meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap guru dalam konflik di lingkungan sekolah disebabkan oleh pandangan bahwa anak memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak. UU ini dianggap memberikan legitimasi penuh untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk tindakan yang dilakukan dalam konteks pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, sebenarnya sudah ada aturan yang jelas mengenai jenis hukuman atau tindakan pendisiplinan yang boleh dilakukan oleh guru. Hukuman tersebut bukanlah bentuk kekerasan, melainkan langkah mendidik untuk membantu siswa memahami tanggung jawab dan memperbaiki perilaku.
Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru tetap menghadapi ancaman hukum karena kesalahpahaman atau penafsiran yang tidak tepat atas tindakan mereka. Situasi ini akhirnya memunculkan pertanyaan penting: bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan antara melindungi hak anak dan memastikan guru tetap memiliki otoritas untuk mendidik? Apakah perlindungan yang diberikan kepada anak melalui UU Perlindungan Anak sudah benar-benar selaras dengan perlindungan terhadap profesi guru?
Dewi berpendapat bahwa profesi guru sebenarnya sudah mendapatkan perlindungan hukum yang cukup melalui berbagai aturan yang ada di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Kedua aturan ini dirancang khusus untuk melindungi guru dalam menjalankan tugasnya, baik dari segi hukum maupun profesionalisme kerja.
Dengan adanya aturan-aturan tersebut, wacana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Guru sebenarnya perlu dipikirkan lagi. Dewi menilai bahwa hal ini bisa menimbulkan tumpang tindih aturan dan malah mengalihkan fokus dari pelaksanaan aturan yang sudah ada.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
Informationen
- Sendung
- Kanal
- HäufigkeitZweiwöchentlich
- Veröffentlicht9. Januar 2025 um 00:28 UTC
- Länge26 Min.
- BewertungUnbedenklich