10 episodi

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

Radio Rodja 756 AM Radio Rodja 756AM

    • Religione e spiritualità

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

    Kesalahan-Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Komunikasi dengan Remaja

    Kesalahan-Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Komunikasi dengan Remaja

    Kesalahan-Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Komunikasi dengan Remaja merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 13 Dzulqa’dah 1445 H / 21 Mei 2024 M.















    Kajian Tentang Kesalahan-Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Komunikasi dengan Remaja







    Komunikasi yang hangat dan lancar antara orang tua dan remaja adalah kunci penting dalam mencapai kebaikan bersama. Sebagai pihak yang lebih dewasa, orang tua semestinya bersungguh-sungguh belajar dan memperbaiki diri. Tentunya, para orang tua memiliki pengalaman yang lebih daripada anak-anak remaja. Mereka tentunya lebih banyak tahu. Dan seiring dengan bertambahnya usia, biasanya menjadi lebih santun dan lebih bisa mengendalikan diri. Berbeda dengan anak remaja yang mungkin masih berapi-api, dengan gairah muda dan semangat darah muda yang biasanya memiliki sifat impulsif dan eksplosif.







    Maka, orang tua harus menjadi penyeimbang di sini, agar bisa menjadi pendamping sekaligus pembimbing yang mampu menyuguhkan suasana yang hangat dan perasaan yang nyaman, khususnya ketika berkomunikasi dan berdialog dengan mereka. Orang tua tidak boleh membuat remaja tambah stres, tidak nyaman, atau bingung karena komunikasinya tanpa arah dan tidak terarah, bukan membimbing tapi membingungkan. Tentunya, ini perlu kematangan ilmu dan kedewasaan untuk melihat suatu masalah tidak hanya dari satu sisi tapi dari banyak sisi. Ini akan memperkaya etika komunikasi kita, sehingga tidak picik dan seperti pepatah “seperti katak di bawah tempurung.”







    Kadang-kadang orang tua tidak nyambung dengan anak remajanya karena mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak up-to-date. Sehingga remaja tidak mengerti, dan orang tua selalu membanding-bandingkan dengan masanya waktu dia remaja dulu. Ini tidak sama tentunya, dan ini juga tidak bisa dijadikan ukuran. “Dulu, ayah masih remaja begini,” ini beda, tidak bisa disamakan karena tantangannya berbeda. Jadi, itu kurang bijak juga kalau kita menyamakan kondisi remaja kita dulu dengan kondisi anak remaja sekarang. Mereka pasti kurang nyambung karena mereka tidak bisa membayangkan bagaimana orang tua mereka waktu remaja dulu. Kondisi dulu tidak masuk dalam kepala mereka, mereka tidak bisa menggambarkannya. Mereka hanya mendapat cerita dari orang tua.







    Maka, sebenarnya kita tidak perlu membandingkan masa remaja kita dengan masa remaja anak-anak zaman sekarang. Kadang-kadang pembicaraan itu tidak relate dan tidak menyentuh masalah mereka. Lebih parah lagi, kadang-kadang tidak memberikan solusi. Ini yang membingungkan, kalau kita berkomunikasi dan berbicara tentang masalah-masalah yang mereka hadapi tapi tanpa solusi, seolah-olah kita menyuruh mereka untuk mencari solusi sendiri. Maka dari itu, para orang tua sebelum menasihati, sebaiknya menata dan mengonsep lebih dulu nasihat yang akan disampaikan, materi yang akan dibicarakan, sehingga lebih terarah dan tidak membuat bingung orang yang diajak dialog atau bicara.







    Mau tidak mau, para orang tua juga harus menyelami dan mengetahui sedikit banyak tentang dunia remaja hari ini karena tantangan mereka sangat besar dan banyak. Mungkin tidak seperti masa remaja kita dulu yang lebih simpel dan sederhana, berbeda dengan sekarang. Contohnya, dari sisi informasi yang masuk dan sampai kepada mereka, hari ini manusia dicekoki dengan informasi yang luar biasa banyaknya. Hal ini mempengaruhi pola pikir, cara pandang, dan gaya hidup mereka.

    • 56 min
    Buruk Sangka Sesama Muslim

    Buruk Sangka Sesama Muslim

    Buruk Sangka Sesama Muslim adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Hadits-Hadits Perbaikan Hati. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada Senin, 12 Dzulqa’dah 1445 H / 20 Mei 2024 M.















    Kajian Islam Ilmiah Tentang Buruk Sangka Sesama Muslim







    Imam Bukhari dan Muslim, dalam dua kitab shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,







    إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ، ولا تَحَسَّسُوا، ولا تَجَسَّسُوا، ولا تَنافَسُوا، ولا تَحاسَدُوا، ولا تَباغَضُوا، ولا تَدابَرُوا، وكُونُوا عِبادَ اللهِ إخْوانًا.







    “Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian mencari-cari kesalahan, mengintai-intai kesalahan, janganlah selalu berlomba-lomba saling iri, saling hasad, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari Muslim)







    Sesungguhnya, di antara tujuan-tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim adalah menjaga persaudaraan keimanan, menjaga hubungan keagamaan yang merupakan hubungan yang paling kuat dan tali yang paling kokoh, serta menghindari semua hal yang bisa melemahkan atau merusak persaudaraan. Allah Ta’ala berfirman,







    اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ







    “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah hubungan antara saudara-saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat[49]: 10)







    Ada beberapa perkara yang diperingatkan oleh syariat dan dilarang olehnya, yang bisa mempengaruhi persaudaraan keimanan, serta bisa merusak dan melemahkan persaudaraan, yaitu prasangka buruk kepada saudara sesama Muslim. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,







    إيَّاكُمْ والظَّنَّ، فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ







    “Jauhilah prasangka, sesungguhnya prasangka tersebut adalah seburuk-buruk perkataan.” Yaitu bisikan jiwa yang dibisikan oleh setan di dalam jiwa seorang manusia. Tentu yang dimaksud di sini adalah larangan dari prasangka buruk, karena hal ini sama dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’anul Karim setelah firman Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” Allah berfirman,







    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ…







    “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat[49]: 13)







    Sesungguhnya, persangkaan buruk yang dilakukan oleh seorang Muslim kepada saudaranya merupakan salah satu penyakit dari pengyakit-penyakit hati, yang bisa berdampak besar dan memberikan pengaruh yang sangat buruk dan berbahaya dalam merusak persaudaraan. Bahkan, hal ini bisa menghancurkan persaudaraan sesama kaum Muslimin. Persangkaan buruk adalah prasangka yang ada di dalam hati yang tidak dibangun di atas bukti, melainkan hanya bersandar pada ucapan yang ia dengar dari saudaranya atau kelakuan yang ia lihat dari saudaranya. Kemudian,

    Konsep Zuhud Yang Salah

    Konsep Zuhud Yang Salah

    Konsep Zuhud Yang Salah ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 12 Dzulqa’dah 1445 H / 20 Mei 2024 M.















    Kajian tentang Konsep Zuhud Yang Salah







    Kita masih berbicara tentang kaum Sufi dan sikap mereka yang menyimpang dari syariat, masuk dalam bab menghinakan diri sendiri. Ini salah satu perkara yang dilakukan oleh kaum Sufi untuk menunjukkan kezuhudan, kewara’an, ataupun keshalihan. Mereka beranggapan bahwa untuk menjadi orang yang tawadhu, harus menghinakan diri; untuk jadi zuhud, harus miskin. Ini sebenarnya satu pemahaman yang salah, karena zuhud itu tidak harus miskin.







    Zuhud adalah bagaimana seorang hamba bisa membersihkan hatinya dari kecondongan kepada dunia atau terbebasnya hati seseorang dari keterikatan kepada dunia. Maka, kezuhudan itu tidak berkaitan dengan status sosial. Siapapun bisa zuhud apabila dia bisa membebaskan dan melepaskan belenggu dunia dari hatinya, baik itu si kaya maupun si miskin.







    Berapa banyak orang-orang miskin gagal zuhud karena di dalam hatinya masih tersimpan belenggu dunia, yaitu ambisi untuk mengejar dunia. Padahal dunia menjauh darinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membentangkan dunia itu untuknya. Dia miskin, tapi hatinya terus terikat dengan dunia, orientasinya kepada dunia, dipenuhi dengan ambisi-ambisi dan ketamakan-ketamakan kepada dunia. Sehingga banyak kita lihat orang miskin main judi, apalagi sekarang ada namanya judi online. Kalau kita lihat, orang-orang yang terjebak dalam praktik judi online banyak di antara mereka justru orang miskin. Kenapa mereka bisa terjerat pada perjudian itu dan mereka tahu itu judi? Karena hati mereka belum terbebas dari belenggu dunia. Padahal mereka miskin, ketamakan dan keserakahan kepada dunia masih menghiasi hati mereka. Lalu bagaimana mereka bisa zuhud?







    Jadi, kezuhudan itu juga tidak berkaitan secara langsung dengan status sosial, apakah orang itu miskin atau kaya. Berapa banyak orang-orang kaya justru bisa membebaskan belenggu dunia dari hatinya. Dia menjadi orang kaya yang dermawan, mau berbagi, bahkan mereka berbagi sebelum diminta. Tidak ada ketamakan pada hati mereka, bahkan mereka berusaha menjauh, tapi dunia justru mengejar mereka. Allah takdirkan mereka menjadi orang-orang yang kaya,







     ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ…







    “Itulah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki.” (QS. Al-Jumu’ah[62]: 4)







    Jadi, kezuhudan juga tidak berkaitan dengan status sosial. Artinya, untuk jadi orang zuhud tidak harus jatuh miskin.







    Demikian juga, untuk menjadi orang tawadhu tidak perlu menghinakan diri. Namun, konsep yang ada di kalangan kaum Sufi ini justru agak aneh dan menyimpang. Mereka mengidentikkan kezuhudan dengan kemiskinan. Maka sebelumnya, kita banyak mengupas kisah-kisah atau cerita-cerita dari mereka yang membuang harta untuk memiskinkan diri. Karena menurut mereka, zuhud itu tidak bisa dilakukan kalau tidak miskin. Ini adalah konsep zuhud yang salah.







    Demikian juga, kisah-kisah sebelumnya tentang orang-orang Sufi yang sengaja menghinakan diri, menjadikan diri mereka hina supaya bisa menjadi orang yang tawadhu. Untuk bisa menjadi orang shalih, mereka terus ibadah dan meninggalkan aktivitas dunia, seperti mencari nafkah, agar bisa menjadi orang shalih. Seolah-olah,

    • 37 min
    Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian

    Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian

    Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 12 Dzulqa’dah 1445 H / 20 Mei 2024 M.















    Kajian Tentang Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian







    Kembali kita mengkaji fikih pendidikan anak. Kali ini sampai di serial nomor 192, mengangkat tema mengajari anak sopan santun dan keberanian. Berarti ada dua hal yang perlu kita ajarkan kepada anak: yang pertama, sopan santun; yang kedua, keberanian.







    Kenapa tidak dibahas satu-satu saja? Sekarang bahas mengajarkan anak sopan santun, nanti pertemuan berikutnya ngajari anak keberanian? Karena ada maksudnya. Sebagian orang mengira bahwa sopan santun dan keberanian itu bukan dua hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Ada sebagian orang mengira tidak mungkin ada orang sopan tapi berani, ada orang berani tapi sopan. Biasanya kalau orang sopan itu penakut atau pemalu dalam makna yang tidak baik. Atau sebaliknya, kalau ada orang berani biasanya ngomongnya kasar, tidak sopan. Ini adalah pemahaman yang harus diluruskan. Orang itu bisa sopan dan berani di waktu yang sama, bisa berani dan sopan di waktu yang sama. Jadi ini bukan dua hal yang kontradiktif. Tidak berarti bahwa orang yang sopan itu penakut atau orang yang berani itu tidak sopan.







    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, panutan kita, biasa mengajarkan anak-anak kecil di zaman beliau dua hal tersebut secara bersamaan. Jadi, dalam satu momen, dalam satu kejadian, dalam satu peristiwa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan keberanian dan sopan santun sekaligus. Jadilah anak yang sopan dan jadilah anak yang pemberani. Jadilah anak yang pemberani dan jadilah anak yang sopan.







    Mari kita lihat contohnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Diceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum, dan saat itu beliau tidak sendirian. Beliau bersama dengan beberapa orang sahabat. Allah takdirkan saat itu ada yang duduk di sebelah kanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ada yang duduk di sebelah kiri. Biasanya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kalau habis minum, maka beliau akan mempersilakan orang yang di sebelah kanannya untuk minum setelah beliau. Itu kebiasaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itulah sunnahnya. Hal ini karena kanan lebih istimewa daripada kiri. Makanya kalau kita melakukan sesuatu yang baik-baik, pakai tangan kanan. Kalau melakukan sesuatu yang kotor-kotor, pakai tangan kiri.







    Makanya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam habis minum, beliau persilakan biasanya orang yang di sebelah kanan. Tapi saat itu, yang duduk di sebelah kanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah anak kecil. Terus yang duduk di sebelah kirinya adalah orang-orang tua. Secara etika, yang didahulukan adalah orang tua.







    Apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Kalau beliau kasih yang kanan, padahal itu yang benar, nanti orang-orang tua agak gimana kan? Masa didahulukan anak kecil padahal ada orang tua? Kalau Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulukan yang tua, mereka duduknya di sebelah kiri, menyelisihi sunnah. Sunnahnya mendahulukan yang kanan.Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minta izin kepada anak kecil.







    Bayangkan, anak kecil diminta izin: “Boleh tidak, gelas ini saya kasihkan dulu kepada orang tua yang ada di sebelah kiri saya?

    • 42 min
    Sebab-Sebab Lain yang Membolehkan Menjamak Shalat

    Sebab-Sebab Lain yang Membolehkan Menjamak Shalat

    Sebab-Sebab Lain yang Membolehkan Menjamak Shalat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 12 Dzulqa’dah 1445 H / 20 Mei 2024 M.















    Download kajian sebelumnya: Berapa Lama Seseorang Boleh Mengqashar Shalat







    Kajian Tentang Sebab-Sebab Lain yang Membolehkan Menjamak Shalat







    Pada pertemuan sebelumnya, kita sudah masuk ke pembahasan yang berkaitan dengan menjamak shalat. Menjamak shalat yaitu mengumpulkan shalat zuhur dan shalat ashar dalam satu waktu, begitu pula shalat magrib dan shalat isya dalam satu waktu. Kemarin kita juga sudah membahas bahwa menjamak ini di dalam safar disyariatkan. Seseorang dibolehkan untuk menjamak ketika sedang melakukan safar atau melakukan perjalanan jauh.







    Namun, safar bukanlah satu-satunya hal yang menjadikan kita boleh melakukan jamak. Ada sebab-sebab lain yang menjadikan kita boleh menggabungkan shalat zuhur dan shalat ashar, begitu pula shalat magrib dan shalat isya dalam satu waktu. Kita akan membahas di sini sebab-sebab lain yang menjadikan kita boleh menjamak shalat-shalat tersebut.







    Hujan







    Hujan adalah salah satu sebab yang menjadikan seseorang boleh menjamak shalatnya. Hal ini berlaku apabila kita shalatnya di masjid. Apabila shalatnya di rumah, maka hujan bukanlah sebab seseorang dibolehkan untuk menjamak shalat. Mengapa hujan ini menjadikan seseorang dibolehkan untuk menjamak shalatnya? Karena orang yang berangkat ke masjid kemudian setelah itu turun hujan, maka kalau dia diwajibkan untuk pulang kemudian pergi lagi ke masjid, hal ini bisa memberatkan dia. Apalagi di zaman dahulu ketika jalan-jalan belum ada aspal atau belum dibeton, jalan masih berupa tanah yang ketika terkena hujan maka akan sulit dilewati. Karena kondisi seperti inilah, akhirnya syariat memberikan keringanan ketika hujan turun.







    Begitu pula di zaman kita ini, walaupun sudah ada mobil dan kita mudah untuk membawa payung ke masjid, tetap saja ada sisi berat ketika hujan turun untuk bolak-balik ke masjid sampai lima kali dalam sehari. Apalagi di negara kita di musim hujan, jika harus bolak-balik lima kali dalam sehari ke masjid dalam keadaan hujan yang berhari-hari turun, hal ini tentu akan memberatkan. Maka syariat memberikan keringanan. Misalnya, jika kita shalat zuhur di masjid, kemudian turun hujan sampai salam, maka dibolehkan bagi kita untuk berjamaah shalat ashar ketika itu.







    Ketika menjamak shalat dalam keadaan tidak safar, maka kita diwajibkan untuk melengkapi shalat. Jadi, zuhur empat rakaat, ashar yang kita gabungkan dengan zuhur juga empat rakaat.







    Jika kita shalat magrib dalam keadaan hujan deras dan setelah salam hujan masih deras, maka kita boleh menjamak shalat isya bersama shalat magrib dan kita melakukan shalat isya sebanyak empat rakaat. Mengapa? Karena kita bukan dalam keadaan safar, sedangkan meringkas shalat menjadi dua rakaat itu khusus untuk orang-orang yang sedang dalam keadaan safar.







    Dalil yang menunjukkan bahwa hujan membolehkan seseorang untuk menjamak shalat adalah hadits dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. Beliau mengatakan:







    جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر

    • 56 min
    Bab I’tidal dan Kesempurnaan Shalat

    Bab I’tidal dan Kesempurnaan Shalat

    Bab I’tidal dan Kesempurnaan Shalat merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Sabtu, 11 Dzulqa’dah 1445 H / 19 Mei 2024 M.















    Bab I’tidal dan Kesempurnaan Shalat







    Dari Al-Bara’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:







     رَمَقْتُ الصَّلَاةَ مَعَ مُحَمَّدٍ ﷺ فَوَجَدْتُ قِيَامَهُ فَرَكْعَتَهُ فَاعْتِدَالَهُ بَعْدَ رُكُوعِهِ فَسَجْدَتَهُ فَجَلْسَتَهُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فَسَجْدَتَهُ فَجَلْسَتَهُ مَا بَيْنَ التَّسْلِيمِ وَالِانْصِرَافِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ.







    “Aku memperhatikan shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka aku dapati berdirinya beliau, rukuknya, i’tidalnya setelah rukuk, sujudnya, duduknya di antara dua sujud, sujudnya kembali, dan duduknya beliau antara taslim dan insiraf, itu hampir sama panjangnya.” (HR. Muslim)







    Hadits ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama bahwa yang paling utama di dalam shalat adalah kesamaan panjang antara berdiri, rukuk, i’tidal, dan sujud. Hal ini karena terjadi ikhtilaf di kalangan ulama tentang yang paling utama: apakah berdirinya atau memperbanyak rukuk dan sujud, atau sama panjangnya.







    Sebagian ulama mengatakan bahwa yang paling utama adalah memperbanyak rukuk dan sujud. Dalilnya adalah hadits, dimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang sahabat: “Mintalah.” Sahabat itu berkata: “Aku minta agar bisa menemanimu di surga, wahai Rasulullah.” Nabi berkata: “Tidak ada yang lain?” Sahabat itu berkata: “Hanya itu saja.” Nabi berkata: ” Kalau begitu, bantulah aku atas dirimu dengan banyak sujud.” Ini menunjukkan bahwa memperbanyak rukuk dan sujud itu lebih utama. Demikian pula hadits yang menyebutkan bahwa setiap kali seorang hamba sujud, Allah mengangkat satu derajat dan gugurkan satu kesalahan. Ini adalah madzhab Ibnu Umar, dimana dia merajihkan bahwa yang paling utama adalah memperbanyak rukuk dan sujud.







    Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang paling utama adalah panjangnya berdiri, terutama untuk shalat malam. Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat satu rakaat dengan membaca surah Al-Baqarah, An-Nisa, dan Ali Imran. Dalam hadits Aisyah juga disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat tahajud dengan berdiri yang panjang sampai kedua kakinya bengkak. Ketika Aisyah bertanya, Rasulullah menjawab: “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Ini menunjukkan bahwa yang paling utama adalah panjang berdirinya. Mereka juga menafsirkan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi ditanya tentang shalat yang paling utama, dan Nabi menjawab: “Panjangnya Qunut,” yang mereka tafsirkan qunut sebagai panjang berdiri.







    Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa yang paling utama adalah kesamaan panjang antara berdiri, rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin Azib di atas, dimana ia memperhatikan shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendapati bahwa berdirinya, rukuknya, i’tidalnya, sujudnya, dan duduk di antara dua sujudnya adalah hampir sama. Ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.







    Adapun dalil yang menyebutkan tentang banyak sujud,

    • 56 min

Top podcast nella categoria Religione e spiritualità

Taccuino celeste
Riccardo Maccioni - Avvenire
The Way Out Is In
Plum Village
وعي
Hazem El Seddiq, Ahmed Amer & Sherif Ali
Esercizi Spirituali
Ad maiorem Dei gloriam
Le catechesi di don Fabio Rosini
Enrico
Pane Quotidiano 🥖 Commento al Vangelo del giorno
Parrocchie di Negrar

Potrebbero piacerti anche…

Podcast Dakwah Sunnah
podcastdakwahsunnah
Cerita Sejarah Islam
Cerita Sejarah Islam Podcast
Firanda Andirja Official
Firanda Andirja
Radio Muhajir Project
Muhajir Project
Tentang Rasa
Tentangrasa
Kumpulan Dakwah Sunnah
PodcastSunnah