Pesan Untuk Maba ahmad robith
-
- ビジネス
Lususan corona tau apa tentang dunia kampus?
Untuk maba-maba
Mata Luka Sengkon Karta
Serupa Maskumambang2
pupuh mengantarkan wejangan hidup
kecapi dalam suara sunyi menyendiri
pupuh dan kecapi membalut nyeri
menyatu dalam suara genting
terluka, melukai, dilukai, dan luka-luka
menganga akibat ulah manusia
Terengah-Engah dalam Tabung dan Selang
aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri
kesederhanaan panutan hidup
dapat untung
dilipat dan ditabung
1974 tanah air yang kucinta
berumur dua puluh sembilan tahun
waktu yang muda bagi berdirinya sebuah negara
lambang garuda
dasarnya pancasila
undang-undang empat lima
merajut banyak peristiwa
peralihan kepemimpinan yang mendesak
bung karno diganti pak harto
dengan dalih keamanan negara
pembantaian enam jenderal satu perwira
enam jam dalam satu malam
mati di lubang tak berguna
tak ada dalam perang mahabarata
bahkan di sejarah dunia
hanya di sejarah indonesia
pemusnahan golongan kiri
PKI wajib mati
pemimpin otoriter
REPELITA
rencana pembangunan lima tahun
bisa jadi
rencana pembantaian lima tahun
di tahun-tahun berikutnya
kudapati penembak misterius
tak ada salah apalagi benar
tak ada hukum negara
pembantaian dimana mana
diburu sampai got dor
di mulut dor
di kepala
diikat tali
dikafani karung
penguasa punya tahta
yang tiada bisa diada-ada
akulah sengkon yang sakit
berusaha mengenang setiap luka
di dada, di punggung, di kaki
di batuk yang berlapis tuberkulosis
Malam Jumat Dua Satu November 1974
setiap malam jum’at
yasin dilantunkan dengan hidmat
bintang-bintang berdzikir di kedipannya
suara-suara binatang
melengkingkan pujian untuk tuhan
istriku masih mengenakan mukena
mengambilkan minum dari dapur
di kejauhan terdengar warga desa gaduh
“adili si keluarga rampok itu”
“ya… usir dari kampung ini”
“bakar saja rumahnya”
“betul”
di lubang bilik
ada banyak obor dan petromak menyala
teriakan tegas
“sodara sengkon, sodara sudah dikepung ABRI!
kalau mau selamat, menyerahlah!
sodara tidak bisa kabur!”
istriku kaget
“kok kamu, kang?”
kebingungan
“demi allah saya tidak berbuat jahat!”
masih dalam suara yang sama
“kalau sodara tidak keluar
dalam hitungan tiga
kami akan mengeluarkan
tembakan peringatan satu, dua… ti…g….”
secepat yang kubisa aku keluar angkat tangan
di pintu ratusan warga
mulai melontarkan sumpah serapah
anjing!
Goblok
babi!
tai!
sampah!
segalanya ada di mulut warga
kata-kata tak mewakili peri kemanusian
warga desa bengis seperti serigala
ganas
tak ada rasa kasihan
dari batu sampai bambu
dari golok sampai balok
dari cerulit sampai arit
diacung-acungkan ke arahku
serempak berkata “allahu akbar!!!”
batu, bambu, dan balok beterbangan ke arahku
“sodara-sodara sekalian, tolong hentikan
biarkan pengadilan yang memutuskan hukuman”
aku masih diselimuti kebingungan
disambut rajia seluruh badan
kepalaku ditodong senjata laras panjang
mendekati puluhan ABRI dan Polisi
“ya… gantung saja!”
“dasar orang tak tahu diri!”
“sampah masyarakat!”
duk! dak!
aku dikerumuni pukulan warga
ABRI dan Polisi ikut-ikutan menendang
dor!
suara tembakan di langit
terdengar sayup
aku terkapar di tanah
seorang ABRI menggusurku
darah dan becek tanah bercampur di tubuh
aku dilemparkan ke atas bak mobil
kondisi diantara sadar atau tidak
selang kejadian
sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil
ada sebagian tubuh yang menindih
kuperhatikan wajah yang penuh luka itu
“karta?”
kami ditangkap dengan tuduhan perampokan
juga pembunuhan
Sengkon d
Mata Luka Sengkon Karta
Serupa Maskumambang2
pupuh mengantarkan wejangan hidup
kecapi dalam suara sunyi menyendiri
pupuh dan kecapi membalut nyeri
menyatu dalam suara genting
terluka, melukai, dilukai, dan luka-luka
menganga akibat ulah manusia
Terengah-Engah dalam Tabung dan Selang
aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri
kesederhanaan panutan hidup
dapat untung
dilipat dan ditabung
1974 tanah air yang kucinta
berumu
-
Pesan untuk maba
Mata Luka Sengkon Karta
Serupa Maskumambang2
pupuh mengantarkan wejangan hidup
kecapi dalam suara sunyi menyendiri
pupuh dan kecapi membalut nyeri
menyatu dalam suara genting
terluka, melukai, dilukai, dan luka-luka
menganga akibat ulah manusia
Terengah-Engah dalam Tabung dan Selang
aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri
kesederhanaan panutan hidup
dapat untung
dilipat dan ditabung
1974 tanah air yang kucinta
berumur dua puluh sembilan tahun
waktu yang muda bagi berdirinya sebuah negara
lambang garuda
dasarnya pancasila
undang-undang empat lima
merajut banyak peristiwa
peralihan kepemimpinan yang mendesak
bung karno diganti pak harto
dengan dalih keamanan negara
pembantaian enam jenderal satu perwira
enam jam dalam satu malam
mati di lubang tak berguna
tak ada dalam perang mahabarata
bahkan di sejarah dunia
hanya di sejarah indonesia
pemusnahan golongan kiri
PKI wajib mati
pemimpin otoriter
REPELITA
rencana pembangunan lima tahun
bisa jadi
rencana pembantaian lima tahun
di tahun-tahun berikutnya
kudapati penembak misterius
tak ada salah apalagi benar
tak ada hukum negara
pembantaian dimana mana
diburu sampai got dor
di mulut dor
di kepala
diikat tali
dikafani karung
penguasa punya tahta
yang tiada bisa diada-ada
akulah sengkon yang sakit
berusaha mengenang setiap luka
di dada, di punggung, di kaki
di batuk yang berlapis tuberkulosis
Malam Jumat Dua Satu November 1974
setiap malam jum’at
yasin dilantunkan dengan hidmat
bintang-bintang berdzikir di kedipannya
suara-suara binatang
melengkingkan pujian untuk tuhan
istriku masih mengenakan mukena
mengambilkan minum dari dapur
di kejauhan terdengar warga desa gaduh
“adili si keluarga rampok itu”
“ya… usir dari kampung ini”
“bakar saja rumahnya”
“betul”
di lubang bilik
ada banyak obor dan petromak menyala
teriakan tegas
“sodara sengkon, sodara sudah dikepung ABRI!
kalau mau selamat, menyerahlah!
sodara tidak bisa kabur!”
istriku kaget
“kok kamu, kang?”
kebingungan
“demi allah saya tidak berbuat jahat!”
masih dalam suara yang sama
“kalau sodara tidak keluar
dalam hitungan tiga
kami akan mengeluarkan
tembakan peringatan satu, dua… ti…g….”
secepat yang kubisa aku keluar angkat tangan
di pintu ratusan warga
mulai melontarkan sumpah serapah
anjing!
Goblok
babi!
tai!
sampah!
segalanya ada di mulut warga
kata-kata tak mewakili peri kemanusian
warga desa bengis seperti serigala
ganas
tak ada rasa kasihan
dari batu sampai bambu
dari golok sampai balok
dari cerulit sampai arit
diacung-acungkan ke arahku
serempak berkata “allahu akbar!!!”
batu, bambu, dan balok beterbangan ke arahku
“sodara-sodara sekalian, tolong hentikan
biarkan pengadilan yang memutuskan hukuman”
aku masih diselimuti kebingungan
disambut rajia seluruh badan
kepalaku ditodong senjata laras panjang
mendekati puluhan ABRI dan Polisi
“ya… gantung saja!”
“dasar orang tak tahu diri!”
“sampah masyarakat!”
duk! dak!
aku dikerumuni pukulan warga
ABRI dan Polisi ikut-ikutan menendang
dor!
suara tembakan di langit
terdengar sayup
aku terkapar di tanah
seorang ABRI menggusurku
darah dan becek tanah bercampur di tubuh
aku dilemparkan ke atas bak mobil
kondisi diantara sadar atau tidak
selang kejadian
sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil
ada sebagian tubuh yang menindih
kuperhatikan wajah yang penuh luka itu
“karta?”
kami ditangkap dengan tuduhan perampokan
juga pembunuhan
Sengkon dan karta -