Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756AM
Radio Rodja 756 AM

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

单集

  1. 9小时前

    Lingkungan Penuh Harapan Positif

    Lingkungan Penuh Harapan Positif merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 14 Rajab 1446 H / 14 Januari 2025 M. Kajian Tentang Lingkungan Penuh Harapan Positif Pembahasan kali ini diangkat dari buku Ada Apa dengan Remaja. Kita akan melanjutkan pokok-pokok bahasannya, sekaligus mengingat kembali pembahasan sebelumnya tentang metode Nabi dalam menyampaikan saran dan kritik. Salah satu poin penting yang diangkat adalah bagaimana Nabi memberikan targhib (motivasi) dalam menyampaikan kritik, bukan menjatuhkan atau mematahkan semangat seseorang. Inilah yang disebut dengan kritik membangun, bukan kritik yang justru membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri atau merasa tidak mampu melakukan apa-apa. Sebagai contoh, dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan nasihat dengan cara yang penuh hikmah dan kasih sayang. Cara Menyampaikan Kritik dengan Tepat Dalam menyampaikan kritik kepada anak atau siapa pun, cara penyampaian sangatlah penting. Pendidikan itu lebih banyak berkaitan dengan teknis pelaksanaan dibandingkan sekadar teori di atas kertas. Oleh karena itu, cara penyampaian bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, tetapi tetap harus mengikuti kaidah yang telah diajarkan dalam Islam. Salah satu hal utama yang perlu diperhatikan adalah ketulusan niat dan tujuan. Kritik, nasihat, atau masukan yang diberikan haruslah bertujuan untuk membangun, meningkatkan motivasi, dan membantu orang tersebut menjadi lebih baik. Jangan sampai kritik malah mendiskreditkan, menjatuhkan, atau merendahkan martabat orang yang diberi masukan. Ketika memberikan kritik atau saran, penting bagi kita untuk memperhatikan cara penyampaiannya. Kritik yang tidak tepat dapat berdampak negatif, terutama pada anak-anak atau remaja. Sebagai contoh, jika kita ingin mengajak anak untuk mengerjakan shalat malam, tetapi menggunakan kata-kata seperti, “Jangan seperti hewan ternak, hanya makan, minum, dan tidur,” maka ucapan ini terdengar menjatuhkan, tidak bijaksana, dan kurang menyenangkan. Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan saran atau kritik. Beliau melakukannya dengan penuh hikmah dan kasih sayang, seperti dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Rasulullah bersabda: نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ “Sebaik-baik orang adalah Abdullah, seandainya dia mengerjakan shalat malam.“ (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan keseimbangan antara pujian dan saran. Nabi memuji Abdullah bin Umar dengan menyebutnya sebagai “sebaik-baik orang”. Namun, Nabi juga memberikan masukan agar dia memperbaiki dirinya dengan mengerjakan shalat malam. Dalam mendidik anak atau memberikan kritik, kita perlu mengapresiasi sisi positif mereka sekaligus memberikan saran yang membangun. Mungkin ada banyak kekurangan yang harus diperbaiki, tetapi jangan lupa untuk mengakui kelebihan mereka. Hal ini memberikan motivasi agar mereka lebih bersemangat memperbaiki diri. Jika kritik disampaikan dengan kalimat yang keras, seperti “Kamu kerjaannya hanya tidur, makan, dan minum. Pergi sana shalat malam!”,

    55 分钟
  2. 1天前

    Pertemuan Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dengan Ayahnya

    Pertemuan Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dengan Ayahnya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, / 13 Rajab 1446 H / 13 Januari 2025 M. Kajian sebelumnya: Kebodohan Sebab Segala Keburukan Kajian Tentang Pertemuan Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dengan Ayahnya Pada kajian ini dibahas kisah akhir perjalanan Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam, khususnya ketika beliau berjumpa kembali dengan saudara-saudaranya yang sebelumnya telah menyakitinya. Dalam peristiwa tersebut, Nabi Yusuf diberi kabar bahwa ayahnya, Nabi Ya’qub, telah kehilangan penglihatannya. Oleh karena itu, Nabi Yusuf berkata sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Qur’an: اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَٰذَا فَأَلْقُوهُ عَلَىٰ وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ “Pulanglah kalian dengan membawa pakaianku ini, lalu usapkanlah ke wajah ayahku, niscaya ia akan dapat melihat kembali. Dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku.” (QS. Yusuf [12]: 93) وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ ۖ لَوْلَا أَنْ تُفَنِّدُونِ “Ketika kafilah mereka keluar dari Mesir, Nabi Ya’qub berkata: ‘Sungguh aku mencium aroma Yusuf, walaupun kalian mengira aku lemah akal.'” (QS. Yusuf [12]: 94) قَالُوا تَاللَّهِ إِنَّكَ لَفِي ضَلَالِكَ الْقَدِيمِ “Namun, keluarga Nabi Ya’qub yang ada di sekitarnya berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya engkau masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.'” (QS. Yusuf [12]: 95) Kemudian, ketika pembawa kabar gembira tiba, ia membawa baju Nabi Yusuf dan mengusapkannya ke wajah Nabi Ya’qub. Dengan izin Allah, Nabi Ya’qub dapat melihat kembali. Allah berfirman: فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَىٰ وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا ۖ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Maka ketika datang pembawa kabar gembira itu, ia meletakkan baju itu ke wajahnya, lalu kembalilah penglihatannya. Nabi Ya’qub berkata, ‘Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui?'” (QS. Yusuf [12]: 96) قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ “Setelah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk dosa-dosa kami. Sungguh, kami adalah orang-orang yang bersalah.'” (QS. Yusuf [12]: 97) قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Nabi Ya’qub pun menjawab: ‘Aku akan memohonkan ampunan untuk kalian kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Yusuf [12]: 98) Ayat-ayat ini mengandung banyak faedah. Di antaranya: Mukjizat Para Nabi dan Rasul Mukjizat merupakan kejadian luar biasa yang dimiliki oleh mereka. Dalam kisah ini, Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam bertanya kepada saudara-saudaranya tentang keadaan ayahnya,

    46 分钟
  3. 1天前

    Doa Iftitah: Wajjahtu Wajhiya

    Doa Iftitah: Wajjahtu Wajhiya ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Doa dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, / 13 Rajab 1446 H / 13 Januari 2025 M. Kajian sebelumnya: Doa Iftitah Allahumma Ba‘id Baini Kajian Tentang Doa Iftitah: Wajjahtu Wajhiya Pada kajian ini, kita mengangkat tema Fikih Doa dan Zikir, khususnya Redaksi Doa Bagian Ketiga. Kajian ini merupakan serial nomor 227. Pada pertemuan sebelumnya, telah disampaikan dua redaksi doa iftitah. Doa pertama adalah redaksi yang paling pendek, yaitu: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ “Mahasuci Engkau, ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Mahaberkah nama-Mu, Mahatinggi keagungan-Mu, dan tidak ada tuhan selain Engkau.” Selanjutnya, kita mengkaji doa iftitah dengan ukuran yang sedang. Yaitu Doa Iftitah Allahumma Ba‘id Baini. Pada kesempatan ini, kita masih melanjutkan pembahasan doa iftitah yang juga termasuk ukuran sedang, yaitu doa yang mungkin sudah tidak asing bagi banyak dari kita. Bahkan, mungkin doa ini sudah diajarkan sejak kecil. Doanya berbunyi: وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Aku menghadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus (hanif), dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim).” Meskipun banyak dari kita yang telah menghafal doa ini sejak kecil, sering kali panjang pendek bacaan atau cara membacanya masih keliru. Hal ini terjadi karena dahulu kita menghafal doa hanya dengan mendengar, tanpa melihat tulisan aslinya. Kebiasaan ini rentan menimbulkan kesalahan, baik dalam panjang pendek bacaan maupun susunan kata. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus meningkatkan pemahaman dan memperbaiki bacaan doa. Dengan demikian, kita tidak hanya berhenti pada tahap awal pembelajaran, tetapi naik ke jenjang yang lebih tinggi dalam memahami agama. Ayo kita terus belajar, naik kelas dari pemahaman tingkat dasar menuju pemahaman yang lebih mendalam. Landasar Doa Iftitah: Wajjahtu Wajhiya Landasan doa ini berasal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh menantu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Ali menikah dengan Fatimah, putri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu, hadits ini diriwayatkan oleh menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apabila membuka shalat (iftitah), beliau membaca: وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ ص...

    48 分钟
  4. 2天前

    Hal-Hal Setelah Shalat Berjamaah: Imam Menghadap Makmum

    Hal-Hal Setelah Shalat Berjamaah: Imam Menghadap Makmum ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, / 13 Rajab 1446 H / 13 Januari 2025 M. Download kajian sebelumnya: Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat Kajian Tentang Hal-Hal Setelah Shalat Berjamaah: Imam Menghadap Makmum Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang hal-hal yang dilakukan setelah selesai shalat. Ketika imam selesai shalat, ia dianjurkan untuk menghadap kepada makmumnya. Namun, sebelum menghadap, imam disunnahkan untuk berdiam sejenak. Setelah salam ke kanan dan ke kiri, imam diam sebentar untuk membaca istighfar tiga kali dan melanjutkan dengan membaca: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ “Ya Allah, Engkau adalah sumber keselamatan, dari-Mu keselamatan itu datang. Mahasuci Engkau, wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan.” Setelah itu, imam baru menghadap kepada makmum, bukan terus menghadap ke kiblat sebagaimana yang dilakukan oleh banyak imam saat ini. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu mencontohkan hal ini. Hal ini berdasarkan hadits Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ “Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila selesai dari shalatnya, beliau menghadap kepada kami dengan wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini juga dijelaskan dalam hadits dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ أَتَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ… “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengimami kami shalat Subuh di Hudaibiyah setelah malam yang diiringi hujan. Setelah beliau selesai (shalat), beliau menghadap kepada orang-orang dan bersabda: ‘Apakah kalian tahu apa yang dikatakan oleh Rabb kalian?'” (HR. Bukhari dan Muslim) Dianjurkan bagi imam, ketika menghadap kepada makmum, untuk lebih condong ke arah kanan. Hal ini didasarkan pada hadits dari sahabat Al-Bara bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu, yang berkata: كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ، يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ “Dahulu, ketika kami shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kami senang berada di bagian kanan beliau, karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami.“ (HR. Muslim dan Abu Dawud) Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika menghadap kepada makmum, biasanya lebih condong ke arah kanan. Oleh sebab itu, sahabat Al-Bara bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu lebih suka memilih shaf di bagian kanan belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selanjutnya,

    1 小时 9 分钟
  5. 3天前

    Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits

    Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 09 Rajab 1446 H / 09 Januari 2025 M. Kajian sebelumnya: Membicarakan Kesalahan Ulama Kajian Islam Tentang Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits Kajian kali ini masih terkait dengan pembahasan sebelumnya tentang pentingnya menyebutkan, membahas, serta menjelaskan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan para ulama. Pembahasan ini fokus pada kelemahan yang berkaitan dengan hafalan atau disiplin ilmu hadits yang spesifik. Tujuannya adalah menjaga agar hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap murni dan tidak tercampur dengan kelemahan. Namun demikian, kehormatan para ulama dan harga diri mereka tidak boleh ditumpahkan. Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata: لُحُومُ الْعُلَمَاءِ مَسْمُومَةٌ، مَنْ شَمَّهَا مَرِضَ، وَمَنْ أَكَلَهَا مَاتَ “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya akan sakit, dan siapa yang memakannya akan mati.” Berbicara tentang kejelekan seseorang secara umum, termasuk orang awam, dianggap sebagai ghibah (menggunjing). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: … وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ… “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12) Namun, ada kondisi tertentu di mana membicarakan kesalahan dilakukan untuk tujuan yang lebih mendasar, seperti menjaga keaslian agama dan hadits. Dalam konteks ini, hal tersebut justru menjadi ibadah. Imam Ahmad Rahimahullah juga pernah ditanya oleh seorang muridnya tentang seseorang yang melaksanakan ibadah seperti puasa, iktikaf, dan shalat, dibandingkan dengan orang yang membahas kesalahan ahlul bid’ah. Beliau menjawab, “Jika seseorang beribadah seperti yang kamu tanyakan, maka manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Adapun berbicara tentang kesalahan orang yang melakukan kebid’ahan, manfaatnya kembali kepada seluruh kaum muslimin, sehingga hal ini lebih utama.” Ketika berbicara tentang kesalahan orang yang menyampaikan agama, tujuannya bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan memberikan nasihat kepada kaum muslimin serta menjaga agar orang tersebut tidak menambah dosanya. Sebagai contoh, ada seseorang yang menyampaikan sebuah ajaran, tetapi ajaran itu salah. Orang seperti ini perlu dinasihati. Jika ia tidak mau menerima nasihat, dikhawatirkan kesalahan tersebut akan diperjuangkan dan diikuti oleh banyak orang, sehingga menimbulkan dosa yang lebih besar. Orang yang mengajarkan kesalahan juga akan menumpuk dosanya sendiri. Oleh karena itu, salah satu bentuk kasih sayang seorang alim adalah memberitahukan kesalahan orang lain agar kesalahan tersebut tidak diikuti dan tidak berulang. Banyak contoh terkait hal ini. Sebelumnya, kita telah membahas beberapa riwayat,

    1 小时 18 分钟
  6. 3天前

    Sikap Ahlusunah wal Jamaah terhadap Penguasa

    Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Penguasa adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 08 Rajab 1446 H / 08 Januari 2025 M. Kajian Islam Tentang Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Penguasa Salah satu pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tunduk dan patuh kepada penguasa dalam perkara yang makruf, yaitu perkara yang bukan kemaksiatan. Imam Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari Rahimahullah berkata bahwa di antara perkara yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka selalu tunduk, patuh, mendengar, dan taat kepada para penguasa, pemimpin, atau pemerintah kaum muslimin dalam perkara-perkara yang Allah cintai dan ridhai. Siapa pun yang memegang atau menjabat sebagai penguasa, pemimpin, atau pemerintah kaum muslimin dan disepakati oleh kaum muslimin serta mereka ridha kepadanya, maka dia pantas disebut sebagai Amirul Mukminin (Pemimpin Orang-Orang Beriman). Di antara pokok-pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dijelaskan oleh Allah Azza wa Jalla dan diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam banyak hadits adalah perintah kepada kaum muslimin untuk selalu taat dan patuh kepada pemerintah, tunduk kepada penguasa, serta bersatu di atas jamaah kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ… “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa [4]: 59) Para ulama menyatakan bahwa ulil amri mencakup dua golongan, yaitu ulama (ahli ilmu) dan umara (para pemimpin dan penguasa). Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’anul Karim. Tidak ada perbedaan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai kewajiban menaati penguasa dalam perkara yang bukan maksiat. Makna firman Allah Azza wa Jalla وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (Dan pemimpin-pemimpin di antara kalian), yaitu ulil amri dari kalangan kaum muslimin. Selama pemimpin tersebut masih beragama Islam, kewajiban untuk taat tetap berlaku, meskipun ia seorang fasik atau dzalim. Bahkan, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama, selama masih tersisa seberat zarah dari keislamannya, kewajiban menaati tetap ada, selama bukan dalam perkara maksiat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ “Aku wasiatkan kepada kalian semua untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan patuh serta taat (kepada pemimpin) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi) Takwa adalah wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Semua umat wajib bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Setelah pesan takwa, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan agar umatnya selalu taat dan patuh kepada penguasa kaum muslimin. Ini merupakan pokok aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah—selalu bersatu di bawah kepemimpinan kaum muslimin.

    1 小时 23 分钟
  7. 6天前

    Diharamkannya Mengatakan Syahinsyah (Raja Diraja) kepada Penguasa

    Diharamkannya Mengatakan Syahinsyah (Raja Diraja) kepada Penguasa adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 07 Rajab 1446 H / 07 Januari 2025 M. Kajian sebelumnya: Membatalkan Sumpah yang Menghalangi Kebaikan Kajian Tentang Diharamkannya Mengatakan Syahinsyah (Raja Diraja) kepada Penguasa Pembahasan terakhir kita adalah tentang dianjurkannya seseorang ketika meminta surga Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyebut nama Allah. Pada kajian ini membahas tentang diharamkannya seseorang mengatakan kepada penguasa (raja, presiden, khalifah, atau amirul mukminin) dengan istilah “Syahinsyah”. Syahinsyah yang dimaksud adalah “Raja Diraja” atau “Raja Segala Raja”. Istilah ini tidak dibenarkan digunakan untuk menyebut penguasa atau pemimpin, karena Malikul Muluk hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah adalah Raja dari semua raja yang ada. Oleh karena itu, istilah atau nama ini tidak boleh digunakan untuk seorang pemimpin atau penguasa di dunia. Disebutkan di sini bahwa makna dari istilah syahinsyah dalam bahasa Arab adalah Malikul Muluk (Raja Segala Raja). Tidak ada yang patut disifatkan dengan nama ini kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula hal ini berlaku untuk nama-nama Allah lainnya. Tidak boleh diberikan kepada seseorang secara langsung, misalnya nama Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih). Nama ini hanya milik Allah. Jika ingin menggunakan nama tersebut, hendaknya didahului dengan kata ‘Abdu (hamba), seperti Abdurrahman (Hamba Allah Yang Maha Pengasih). Ini adalah adab yang harus dipahami dan diterapkan dalam penamaan. Imam An-Nawawi rahimahullah membawakan hadits pertama dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: إنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ – عز وجل – رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ “Sesungguhnya nama yang paling hina/rendah di sisi Allah ‘Ta’ala’Azza wa Jalla adalah seseorang yang menamakan dirinya Malik Al-Amlak (Raja Segala Raja).” (Muttafaqun ‘alaihi) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan umatnya segala sesuatu yang menjadi bimbingan dan arahan dalam berbagai aspek kehidupan, baik aqidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Bahkan, dalam hal pemberian nama pun Rasulullah memberikan arahan yang jelas. Adapun penyebutan seseorang dengan nama Malik Al-Muluk atau Malik Al-Amlak termasuk dalam kategori nama yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan judul bab yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah, yaitu باب تحريم, yang artinya larangan. Dengan demikian, hukumnya haram menamai seseorang dengan istilah tersebut. Hadits ini memberikan pelajaran penting kepada kita, di antaranya adalah tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa Allah memiliki 99 nama, yaitu 100 kurang satu, ini yang diketahui dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Hakikatnya, nama-nama Allah lebih dari 99,

    1 小时 19 分钟
  8. 1月8日

    Bersikap Ramah kepada Anak

    Bersikap Ramah kepada Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 06 Rajab 1446 H / 06 Januari 2025 M. Kajian Tentang Bersikap Ramah kepada Anak Bersikap ramah kepada anak sangat penting karena itulah yang diajarkan dalam Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang dan sikap lembut, termasuk kepada anak-anak. Mengapa demikian? Karena manfaat yang dihasilkan dari sikap ramah sangat banyak. Salah satu manfaat bersikap ramah kepada anak adalah memunculkan kepercayaan diri pada diri mereka. Ketika orang tua atau guru bersikap ramah, anak akan merasa dihargai, diterima, dan dicintai. Jika seorang anak merasa dihargai dan dicintai, ia akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat. Kepercayaan diri ini sangat penting karena menjadi dasar bagi anak untuk menemukan dan mengembangkan bakat serta minatnya. Anak yang percaya diri akan berusaha maksimal untuk mengembangkan potensi dirinya. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh terburu-buru menilai anak sebagai tidak berbakat atau pemalu hanya karena mereka terlihat pendiam atau kurang responsif. Sebaliknya, introspeksi diri perlu dilakukan. Bisa jadi, sikap orang tua yang kurang ramah atau kurang memberikan apresiasi memengaruhi perilaku anak. Contohnya, ketika anak pulang ke rumah, ia tidak disambut dengan hangat. Ketika anak bercerita, orang tua sibuk dengan ponsel mereka. Jika anak tidak dihargai dalam kesehariannya, maka rasa minder atau tidak percaya diri bisa berkembang. Namun, jika anak diperlakukan dengan ramah, dihargai, dan dicintai, ia akan merasa nyaman. Kondisi psikologis yang nyaman ini akan membuat anak lebih mudah menemukan bakat dan minatnya, lalu mengembangkannya secara maksimal. Selain itu, sikap ramah dari orang tua juga membantu membangun hubungan yang hangat antara anak dan orang tua. Hubungan yang hangat ini akan membuat anak merasa nyaman untuk mencurahkan isi hatinya kepada orang tuanya. Pentingnya Mendengarkan Curhat Anak Mengapa perlu mendengarkan curhat anak? Jika anak memiliki perasaan atau pengalaman yang ingin ia ceritakan tetapi tidak mendapat tempat untuk mencurahkannya di rumah, ia akan mencari tempat lain. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan ia temui di luar sana. Sangat mungkin ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki pengaruh buruk. Contoh nyata sering kita jumpai di jalanan. Ketika melewati lampu merah, sering terlihat anak-anak dengan rambut pirang dan gaya cukuran unik yang dikenal sebagai anak punk. Mereka makan, ngobrol, bahkan tidur di pinggir jalan atau emperan toko. Anak-anak seperti itu tentunya memiliki orang tua dan rumah, entah itu rumah sendiri atau kontrakan. Namun, mengapa mereka memilih menghabiskan waktu di jalanan bersama teman-teman yang baru dikenal beberapa hari, sementara orang tua mereka sudah mendampingi belasan tahun? Hal ini sangat mungkin terjadi karena anak-anak tersebut tidak mendapatkan sambutan hangat di rumah. Mereka segan atau bahkan takut untuk bercerita kepada orang tua karena kurangnya sikap ramah. Kebalikan dari ramah adalah dingin, dan kebalikan dari empati adalah tidak peduli. Banyak anak yang di rumahnya diperlakukan dengan kasar, dingin, atau diabaikan. Keberadaan mereka tidak dianggap, dan sering kali mereka mendengar kata-kata yang menyakitkan hati, seperti:“Anak ini tidak ada gunanya!

    44 分钟
  9. 1月8日

    Fikih Shalat Gerhana

    Fikih Shalat Gerhana merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 05 Rajab 1446 H / 05 Januari 2025 M. Kajian Tentang Fikih Shalat Gerhana Kajian kita masih membahas tentang fikih shalat gerhana. Hukum Shalat Gerhana Hukum shalat gerhana matahari (الكسوف) menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkadah. Namun, sebagian ulama, seperti Abu Hanifah, Siddiq Hasan Khan, Syaikh Albani, dan Asy-Syaukani, berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا “Apabila kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan), maka shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perintah dalam hadits tersebut dianggap bersifat wajib karena hukum asal dari perintah adalah kewajiban. Adapun mengenai gerhana bulan (الخسوف), terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan hukumnya sunnah. Namun, sebagian ulama seperti Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjamaah, melainkan sendiri-sendiri. Mereka beralasan adanya kesulitan (masyaqqah), terutama jika gerhana terjadi di malam hari, apalagi di tengah malam. Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan), maka shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Waktu Shalat Gerhana Waktu shalat gerhana dimulai sejak awal gerhana hingga selesai. Shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat panjang. Pada rakaat pertama, beliau membaca Surah Al-Baqarah atau yang setara panjangnya. Apabila setelah shalat gerhana selesai masih terjadi gerhana, maka tidak disyariatkan untuk mengulangi shalat. Namun, disarankan untuk memperbanyak ibadah lain seperti takbir, tahmid, sedekah, dan sebagainya. Shalat gerhana ini disyariatkan saat seseorang melihat gerhana. Jika gerhana tidak terlihat, seperti terhalang oleh awan, maka tidak disyariatkan melaksanakan shalat gerhana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjelaskan bahwa hal ini karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian melihat keduanya” Perintah ini menunjukkan bahwa syariatnya shalat gerhana bergantung pada penglihatan. Jika tidak terlihat, misalnya karena tertutup awan, maka shalat tidak disyariatkan. Apa yang Dilakukan Saat Gerhana? Ketika melihat gerhana, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan: Pertama, memperbanyak dzikir, istigfar, takbir, dan sedekah.Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: فَإِذَا رَأَيْتُمۡ ذَٰلِكَ فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ وَكَبِّرُواْ وَصَلُّواْ وَتَصَدَّقُواْ “Apabila kalian melihat gerhana, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, segera pergi ke masjid untuk shalat gerhana. Shalat Kusuf hukumnya sunnah muakkadah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya fardhu kifayah.

    49 分钟
  10. 1月7日

    Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat

    Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 01 Rajab 1446 H / 01 Januari 2025 M. Kajian Islam Tentang Iman dan Aqidah Ahlus Sunnah terhadap Sahabat Pada pembahasan sebelumnya, beliau menjelaskan beberapa tanda-tanda kiamat, terutama tanda-tanda besar seperti turunnya Dajjal, Nabi Isa ‘Alaihis Salam, dan keluarnya Imam Mahdi. Adapun pada pembahasan hari ini, beliau berbicara tentang iman dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau Rahimahullah mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini iman adalah ucapan, perbuatan, niat, dan kesesuaian dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Iman bertambah dan juga berkurang. Beliau menegaskan bahwa iman bertambah sesuai kehendak Allah Azza wa Jalla dan bisa berkurang, bahkan bisa tidak tersisa sama sekali. Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa iman secara bahasa adalah الإقرار (penetapan). Ketika seseorang mengimani, berarti dia menetapkan. Adapun secara syariat, iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh. Iman harus diyakini dalam hati seseorang. Di antaranya adalah iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk, serta segala rincian yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap muslim. Iman harus diucapkan dengan lisan, seperti kalimat أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ. Selama seseorang mampu berbicara, ia harus mengucapkannya. Adapun jika ia bisu, maka boleh menggantinya dengan isyarat. Iman juga harus dibuktikan dengan perbuatan anggota badan. Seseorang yang mengaku beriman harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan, seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, haji jika mampu, dan mengeluarkan zakat jika hartanya telah mencapai batas nisab yang ditentukan. Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Iman dapat bertambah, naik, kuat, dan kokoh, tetapi juga bisa melemah, berkurang, dan rapuh. Iman bertambah dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Semakin seseorang memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka keimanannya akan bertambah. Keimanan juga meningkat dengan menambah ibadah-ibadah sunnah di samping ibadah wajib, seperti memperbanyak zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, berbakti kepada orang tua, bersilaturahim, serta memperbanyak sedekah. Semua ini dapat memperkuat keimanan. Sebaliknya, iman berkurang dengan maksiat dan perbuatan dosa, terutama dosa besar seperti zina, riba, memakan harta anak yatim, meminum khamar, dan lain sebagainya. Semua ini jelas akan sangat mengurangi keimanan seseorang. Keyakinan ini berbeda dengan kelompok Murjiah, yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Murjiah mengatakan bahwa iman cukup diyakini dalam hati tanpa harus diucapkan dengan lisan. Atau kelompok Murjiah yang lain mengatakan bahwa iman cukup diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan tidak harus dibuktikan dengan amal perbuatan. Padahal, iman yang benar adalah yang diyakini dalam hati,

    1 小时 16 分钟
4.1
共 5 分
7 个评分

关于

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

你可能还喜欢

若要收听包含儿童不宜内容的单集,请登录。

关注此节目的最新内容

登录或注册,以关注节目、存储单集,并获取最新更新。

选择国家或地区

非洲、中东和印度

亚太地区

欧洲

拉丁美洲和加勒比海地区

美国和加拿大