Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756AM
Radio Rodja 756 AM

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

Episodes

  1. 3 DAYS AGO

    Dimakruhkannya Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat

    Dimakruhkannya Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 17 Desember 2024 M. Kajian sebelumnya: Larangan dan Adab di Masjid Kajian Tentang Dimakruhkannya Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat Kita sampai pada bab tentang dimakruhkannya duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah posisi di mana seseorang mengaitkan kedua tangannya di sekitar lututnya, sementara betisnya didirikan, lalu ditahan dengan kedua tangan. Posisi ini dimakruhkan ketika seseorang sedang mendengarkan khutbah pada hari Jumat. Posisi duduk ini disebutkan secara rinci sebagai berikut: seseorang duduk dengan betis ditegakkan, kedua lututnya dirangkul, dan tubuhnya agak condong ke belakang. Hadits yang dibawakan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala berasal dari Mu’adz bin Anas Al-Juhani Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الحِبْوَةِ يَومَ الجُمعَةِ وَالإمَامُ يَخْطُبُ “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang duduk ihtiba’ pada hari Jumat ketika imam sedang menyampaikan khutbahnya.” (HR. Abu Dawud, hadits ini hasan) Hikmah Larangan Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala telah menjelaskan hikmah di balik larangan duduk ihtiba’ pada hari Jumat ketika khatib sedang menyampaikan khutbah. Hikmah tersebut adalah sebagai berikut: * Menyebabkan kantuk. Duduk seperti ini dapat membuat seseorang mudah mengantuk. Jika seseorang mengantuk, ia tidak bisa mendengarkan khutbah secara sempurna, bahkan kehilangan konsentrasi. Kantuk, apalagi tidur, akan mengurangi perhatian dan menghilangkan sebagian ingatan. * Kehilangan konsentrasi. Saat mendengarkan khutbah atau ceramah, seseorang seharusnya berkonsentrasi penuh agar dapat memahami pesan yang disampaikan oleh khatib. Duduk ihtiba’ mengganggu kemampuan ini. * Berpotensi membatalkan wudhu. Posisi duduk ihtiba’ memudahkan keluarnya angin dari dubur seseorang, yang dapat membatalkan wudhu tanpa disadari. Dengan penjelasan ini, umat Islam disarankan untuk menghindari duduk ihtiba’ saat mendengarkan khutbah Jumat agar dapat menjalankan ibadah dengan khusyuk dan wudhu tetap terjaga. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang duduk dalam posisi ini saat imam sedang berkhutbah, larangan tersebut memiliki maksud yang jelas. Di baliknya terdapat anjuran agar setiap muslim yang datang pada hari Jumat benar-benar mendengarkan dan berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh khatib. Nasihat dan khutbah yang disampaikan oleh khatib bertujuan untuk memberikan pelajaran dan hikmah bagi para pendengar. Oleh karena itu, sangat penting mendengar dengan seksama dan mengambil manfaat dari apa yang disampaikan. Bab Larangan Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Berniat Berqurban di Bulan Dzulhijah

    1h 18m
  2. 4 DAYS AGO

    Bijak dalam Memberikan Kritik kepada Remaja

    Bijak dalam Memberikan Kritik kepada Remaja merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 17 Desember 2024 M. Kajian Tentang Bijak dalam Memberikan Kritik kepada Remaja Kita sampai pada pembahasan tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang positif bagi remaja. Salah satu upayanya adalah dengan menjauhkan mereka dari hal-hal yang dapat menjatuhkan mental, seperti kritik yang berlebihan. Ada ungkapan bahwa kritik sebaiknya membangun, tetapi sering kali kita sulit membedakan antara kritik yang membangun dan kritik yang menjatuhkan. Di sinilah para pendidik, terutama orang tua, perlu memahami bahwa kritik yang berlebihan dapat berdampak buruk. Misalnya, orang tua yang terus-menerus memberikan kritik saat berdialog dengan anak remajanya, tanpa diimbangi apresiasi. Memang, ada banyak hal yang mungkin perlu diperbaiki dari anak-anak remaja kita, tetapi pendekatannya tidak selalu harus berupa kritik. Jika hanya fokus mengkritik, kita akan tampak seperti komentator yang miskin solusi dan pelit dalam memberikan apresiasi. Pendekatan yang seimbang antara kritik dan apresiasi sangat diperlukan. Dengan begitu, remaja dapat melihat sisi positif dan negatif dalam dirinya. Sisi positif yang mereka miliki perlu dikembangkan, sedangkan sisi negatif perlu diperbaiki. Jika yang mereka dengar hanyalah kritik, apalagi dalam bentuk yang berlebihan, hal itu justru bisa menjatuhkan mental mereka, meskipun tujuan kritik tersebut sebenarnya untuk membangun. Jadi, kritik yang berlebihan bukanlah metode pendidikan yang baik. Bukan berarti kritik tidak diperlukan, tetapi jika selalu dilakukan secara berlebihan, hal itu justru bisa merusak. Kritik yang negatif, merendahkan, atau menjatuhkan mental harus dihindari. Banyak dari kita yang tidak bisa membedakan antara kritik yang membangun dengan sikap menyalahkan, merendahkan, mendiskreditkan, atau menyudutkan. Sering kali, kritik yang kita sampaikan cenderung mengarah pada hal-hal yang bersifat pribadi, seperti karakter bawaan sejak lahir. Jika seseorang lahir dengan membawa sifat tertentu, lalu hal tersebut terus dikritik, ini akan menjadi beban berat baginya. Sebab, mengubah sesuatu yang merupakan karakter bawaan bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dalam menyampaikan kritik, sehingga dapat menjadi masukan yang membangun, bukan sebaliknya. Seseorang harus bijaksana dalam menghadapi persoalan ini. Jika terus-menerus fokus pada kekurangan atau kesalahan tertentu, hal itu akan menjadi beban bagi anak didik atau seseorang yang menerima kritik. Tidak semua kesalahan atau kekurangan harus selalu ditanggapi dengan kritik. Kritik harus diberikan secara proporsional, seperti garam dalam masakan—tidak boleh terlalu banyak, tetapi juga tidak boleh tidak ada sama sekali. Manusia membutuhkan kritik untuk perbaikan, karena kita memiliki banyak kekurangan. Namun, kritik yang berlebihan justru dapat merusak mental dan hubungan. Orang tua juga perlu menanamkan kesiapan mental pada anak agar dapat menerima kritik. Banyak orang yang tidak siap menghadapi kritikan, sehingga ini menjadi hal yang harus dilatih. Orang tua tidak hanya perlu mengkritik dengan bijaksana, tetapi juga membangun kesiapan mental anak untuk menerima kritik. Salah satu caranya adalah dengan memberikan contoh.

    1h 4m
  3. 4 DAYS AGO

    Menahan Menguap Semampunya

    Menahan Menguap Semampunya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Al-Adabul Mufrad. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. pada Senin, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Desember 2024 M. Kajian Islam Tentang Menahan Menguap Semampunya Kita masuk ke bab ke-426, yaitu bab tentang menguap. Bab ini sebenarnya telah dibahas sebelumnya, yaitu di awal bab tentang bersin. Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan bahwa Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Menguap adalah sesuatu yang tidak disukai Allah karena, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menguap berasal dari setan. Menguap dapat menimbulkan rasa malas dan kantuk, terutama setelah perut kenyang, meskipun tidak berada di waktu tidur. Jika seseorang menguap saat berada di majelis ilmu atau ketika shalat, hal itu menunjukkan bahwa ia sedang tidak dalam kondisi segar. Berbeda dengan bersin yang disukai Allah, menguap adalah sesuatu yang dibenci. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ “Apabila salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahan semampunya.” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan tiga tahapan dalam menghadapi menguap, sebuah perbuatan yang tidak disukai Allah ‘Azza wa Jalla. Tahapan-tahapan tersebut adalah: Tahapan Pertama: Berusaha menolaknyaJika merasa akan menguap, seseorang dapat menarik napas dalam-dalam atau bergerak agar perbuatan yang tidak disukai Allah itu tidak terjadi sama dirinya. Karena Allah tidak menyukai menguap, maka seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya tentu akan mencintai perbuatan yang disukai-Nya dan menjauhi yang tidak disukai-Nya. Oleh karena itu, kita harus berusaha menghindari atau menolak terjadinya menguap. Tahapan Kedua: Menahan MenguapJika seseorang tidak mampu menghindari terjadinya menguap, maka ia hendaknya berusaha menahan agar menguap tersebut tidak terlepas dari dirinya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah di atas. Usaha untuk menahan menguap ini dapat dilakukan dengan menutup mulut menggunakan kedua bibirnya, atau menahan dengan tangan agar mulut tidak terbuka. Tahapan Ketiga: Menutup Mulut Saat Menguap Apabila tetap tidak mampu menahan dan menguap terpaksa terjadi, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan untuk menutup mulut dengan tangan. Sebagaimana sabda beliau: فَلْيَضَعْ يَدَهُ عَلَى فِيهِ “Hendaklah ia meletakkan tangannya di mulutnya.” (HR. Ahmad dan yang lainnya) Hal ini dilakukan agar mulut yang terbuka saat menguap tidak terlihat. Sebagian orang membaca kalimat “A‘ūdzu billāhi minasy-syaithānir-rajīm” ketika menguap. Mereka beranggapan bahwa karena menguap berasal dari setan, maka membaca doa ini diperlukan. Namun, para ulama menjelaskan bahwa tidak ada hadits shahih yang menganjurkan membaca ta’awudz saat menguap. Oleh karena itu, tindakan ini tidak sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebaliknya,

    57 min
  4. 5 DAYS AGO

    Kebodohan Sebab Segala Keburukan

    Kebodohan Sebab Segala Keburukan adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Desember 2024 M. Kajian sebelumnya: Kesabaran dan Optimisme Nabi Ya’qub Kajian Tentang Kebodohan Sebab Segala Keburukan Kita akan melanjutkan pembacaan kisah tentang Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam, dan pada kesempatan yang mulia ini, kita akan membahas dari halaman 360, tepatnya ayat ke-88 hingga ke-92. Di antara faedah dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa kebodohan merupakan sebab dari seluruh keburukan. Kebodohan ini mendorong seseorang untuk melakukan kedzaliman, termasuk mendzalimi dan menganiaya orang-orang yang lemah, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam ketika beliau masih kecil. Oleh karena itu, Yusuf berkata kepada mereka sebagaimana yang Allah firmankan: قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُونَ “Dia (Yusuf) berkata: Tahukah kalian keburukan apa yang telah kalian perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya ketika dulu kalian bodoh tidak menyadari akibat perbuatan itu?” (QS. Yusuf [12]: 89). Keburukan tersebut disebabkan oleh kebodohan. Kebodohan ini juga dapat mendorong orang kepada keburukan-keburukan lainnya, termasuk kepada kesyirikan atau menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesyirikan yang ada di muka bumi ini, pada hakikatnya, disebabkan oleh kebodohan. Allah Ta’ala berfirman tentang permintaan kaum Nabi Musa dalam surah Al-A’raf: … قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ “Mereka berkata: ‘Wahai Musa, buatkanlah untuk kami sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai sesembahan-sesembahan itu.’ Musa menjawab: Sungguh, kalian adalah kaum yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7]: 138) Permintaan mereka untuk membuat sesembahan selain Allah adalah akibat dari kebodohan. Nabi Musa ‘Alaihis Salam menegaskan bahwa tindakan menyekutukan Allah disebabkan oleh kebodohan. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah di surah Az-Zumar: قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ ‎﴿٦٤﴾‏ وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ‎﴿٦٥﴾‏ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ ‎﴿٦٦﴾‏ “Katakanlah (Muhammad): ‘Apakah kalian memerintahkan aku untuk menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh? Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: Jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, sembahlah Allah saja dan jadilah termasuk orang-orang yang bersyukur.'” (QS. Az-Zumar [39]: 64–66) Orang yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah adalah orang yang bodoh. Dengan demikian, kesyirikan terjadi karena kebodohan,

    41 min
  5. 5 DAYS AGO

    Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat

    Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Desember 2024 M. Download kajian sebelumnya: Mengingatkan Imam yang Lupa atau Salah Kajian Tentang Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah, khususnya tentang permasalahan apabila imam tidak bisa berdiri saat shalat. Jika imam mengimami jamaah dalam keadaan duduk, apakah makmum harus ikut duduk atau tetap berdiri? Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat tentang apakah makmum wajib duduk, tetap berdiri, atau ada ketentuan lain. Pendapat Pertama: Makmum Harus Duduk Pendapat pertama menyatakan bahwa makmum harus duduk sebagaimana imamnya duduk, meskipun makmum mampu berdiri. Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا “Apabila imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian dalam keadaan duduk.” Hadits ini bersifat umum, tanpa perincian apakah makmum mampu berdiri atau tidak. Oleh karena itu, pendapat ini menganggap bahwa perintah tersebut berlaku untuk semua keadaan, baik makmum mampu berdiri maupun tidak. Pendapat Kedua: Makmum Tetap Berdiri Pendapat kedua menyatakan bahwa makmum tetap diwajibkan berdiri jika mereka mampu, meskipun imam shalat dalam keadaan duduk. Kewajiban berdiri dalam shalat adalah rukun bagi makmum yang mampu, sementara duduknya imam dianggap sebagai keringanan khusus baginya karena udzur. Pendapat kedua ini berlandaskan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di akhir hayat beliau. Ketika itu, beliau mengimami kaum muslimin dalam keadaan duduk karena sakit yang mengantarkan beliau kepada wafatnya. Beliau tidak mampu berdiri, sehingga shalat dalam keadaan duduk, sedangkan kaum muslimin tetap shalat dalam keadaan berdiri. Adapun hadits yang disebutkan sebelumnya, yaitu perintah agar makmum shalat dalam keadaan duduk jika imam duduk, itu terjadi pada masa awal Islam. Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut terjadi setelah Perang Uhud, yaitu pada tahun 3 Hijriah. Sementara itu, hadits yang menjelaskan bahwa beliau sakit di akhir hayatnya, lalu shalat dalam keadaan duduk sementara para sahabatnya tetap berdiri, terjadi di akhir perjalanan dakwah beliau. Dengan demikian, hadits yang lebih akhir dianggap menghapus hukum hadits yang lebih awal (nasakh). Pendapat Ketiga: Memperinci Keadaan Pendapat ketiga menyatakan bahwa keadaan harus diperinci sebagai berikut: * Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, maka makmum juga harus berdiri, meskipun di tengah-tengah shalat imam tidak mampu berdiri lagi dan melanjutkan dalam keadaan duduk. * Jika imam sejak awal mengimami shalat dalam keadaan duduk, maka para makmum juga harus duduk. Pendapat ketiga ini mencoba menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Mereka memahami bahwa hadits yang dijadikan dalil oleh pe...

    1h 10m
  6. 6 DAYS AGO

    Membicarakan Kesalahan Ulama

    Membicarakan Kesalahan Ulama adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 10 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Desember 2024 M. Kajian sebelumnya: Pentingnya Ilmu Sanad dalam Menjaga Keotentikan Hadits Kajian Islam Tentang Membicarakan Kesalahan Ulama Pembahasan yang akan kita kaji bersama adalah mengenai membicarakan kekurangan orang lain. Secara umum, membicarakan kekurangan orang lain disebut ghibah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada para sahabat: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟»، قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ» “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang dia tidak suka.” Ketika seseorang menyebutkan sifat atau kebiasaan yang tidak disukai oleh orang lain, meskipun itu benar, hal tersebut sudah termasuk ghibah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas melarang ghibah, karena sering kali seseorang terjatuh dalam dosa ini hanya karena obrolan biasa, candaan, atau sekadar berbagi cerita. Bahkan, ironisnya, obrolan ghibah bisa terjadi setelah majelis ilmu yang membahas larangan ghibah itu sendiri. Para ulama juga mengingatkan bahwa lidah, jika tidak digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat seperti berzikir kepada Allah, akan mudah terjatuh pada dosa ghibah. Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: ذِكْرُ اللهِ دَوَاءٌ وَذِكْرُ النَّاسِ دَاءٌ “Mengingat Allah adalah obat, sementara mengingat manusia adalah penyakit.” Dalam lanjutan hadits tadi, ada yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ “Wahai Rasulullah, bagaimana jika apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar adanya?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Jika apa yang kamu katakan itu benar, maka kamu telah melakukan ghibah. Namun, jika tidak benar, berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim) Ghibah lebih tercela lagi jika dilakukan terhadap orang yang memiliki ilmu, jasa besar dalam menyebarkan syariat, atau menjadi teladan yang baik bagi umat. Membicarakan keburukan mereka hanya menambah dosa dan membuat masalah semakin buruk. Imam Nawawi rahimahullah, dalam penjelasan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, menyebutkan bahwa ghibah mencakup hal-hal yang tidak disukai oleh seseorang. Hal ini bisa berupa cara berbicara, cara berjalan, bentuk fisik, ciri khas tertentu dalam perilaku, aktivitas, atau bahkan masalah keluarga. Semua ini termasuk dalam kategori ghibah. Mengenai ghibah terhadap ulama, Imam Ahmad rahimahullah berkata: لُحُومُ الْعُلَمَاءِ مَسْمُومَةٌ، مَنْ شَمَّهَا مَرِضَ، وَمَنْ أَكَلَهَا مَاتَ

    1h 11m
  7. 12 DEC

    Keimanan terhadap Shirath

    Keimanan terhadap Shirath adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 9 Jumadil Akhir 1446 H / 11 Desember 2024 M. Kajian Islam Tentang Keimanan terhadap Shirath Pembahasan kita hari ini sampai pada perkataan penulis rahimahullah, والإيمان بالصراط على جهنم (Dan beriman kepada shirath). Shirath yaitu titian yang akan diletakkan di atas neraka Jahanam. Shirath ini akan menjatuhkan siapa saja yang Allah kehendaki dan akan berhasil melewati siapa saja yang Allah kehendaki. Dan akan terjatuh ke neraka Jahanam siapa yang Allah kehendaki, dan orang-orang yang melewati shirath akan memiliki cahaya sesuai dengan tingkatan keimanan mereka. Di antara kejadian pada hari kiamat yang wajib diyakini adalah semua manusia harus melewati titian ini. Sebelumnya, telah dibahas tentang syafaat, pertanyaan Munkar dan Nakir di kuburan, serta kebangkitan pada hari kiamat. Titian ini, yang diletakkan di atas neraka Jahanam, memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits. Titian tersebut lebih tipis daripada rambut, lebih tajam daripada pedang, sangat licin, dan panas seperti bara api. Setiap manusia harus melewati titian ini sesuai dengan kadar keimanan dan amalan mereka di dunia. Sebagian ulama menyebutkan bahwa kemampuan seseorang melewati titian ini bergantung pada amalnya di dunia. Jika di dunia ia selalu bersegera menuju kebaikan, sebagaimana firman Allah: وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ “Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133) Juga dalam ayat lain: …فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ… “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 148) Serta firman-Nya tentang shalat Jumat: …فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ… “Maka bersegeralah kamu menuju dzikir kepada Allah.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9) Ayat-ayat tersebut menunjukkan perintah untuk bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Kecepatan Melewati Shirath Berdasarkan Keimanan dan Amal Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang di dunia bersegera menuju kebaikan, berlomba-lomba, dan cepat dalam melaksanakan amal shalih, maka ketika melewati shirath pada hari kiamat, ia pun akan melewatinya dengan sangat cepat. Barangsiapa yang berhasil melewati titian ini, dialah orang yang sukses. Sebaliknya, siapa yang terjatuh, dialah orang yang sengsara dan benar-benar celaka. Disebutkan dalam banyak hadits tentang kondisi orang-orang saat melewati shirath. Di antara manusia ada yang melewatinya secepat pandangan mata, secepat kilat, atau seperti angin yang berhembus kencang. Hal ini menunjukkan keimanan dan ketakwaan yang sangat tinggi. Ada pula yang melewatinya seperti menaiki kuda pincang, unta, atau seperti seorang pelari yang kuat. Sebagian lainnya berjalan biasa, bahkan ada yang merangkak.

    1h 18m
  8. 11 DEC

    Melatih Mental Anak Untuk Menghadapi Kegagalan

    Melatih Mental Anak Untuk Menghadapi Kegagalan merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 8 Jumadil Akhir 1446 H / 10 Desember 2024 M. Kajian Tentang Melatih Mental Anak Untuk Menghadapi Kegagalan Kita masih berbicara tentang lingkungan yang mendidik tanggung jawab. Ada beberapa poin penting dalam hal ini. 1. Melatih untuk Berusaha Poin pertama adalah melatih untuk menghargai proses. Segala sesuatu harus ditempuh melalui usaha dan ikhtiar, tidak dengan kemalasan. Hal ini perlu ditanamkan terutama kepada anak-anak dan remaja, karena mereka tidak lama lagi akan memasuki dunia yang lebih nyata sebagai manusia dewasa. Lihat: Menanamkan Konsep Tawakal dan Usaha kepada Remaja 2. Siap Mental Menghadapi Kegagalan Poin kedua adalah kesiapan mental untuk menghadapi kegagalan. Dalam usaha, kadang hasilnya sesuai harapan, kadang tidak. Gagal, dalam pandangan kita, adalah ketika hasil tidak sesuai dengan yang direncanakan atau bahkan berkebalikan dari harapan. Kesuksesan sering kita pandang sebagai sesuatu yang berjalan sesuai rencana. Namun, kegagalan dan kesuksesan sebenarnya masuk dalam bagian iman kepada takdir. Kita perlu menanamkan hal ini terutama kepada anak-anak dan remaja. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjelaskan hal ini kepada Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau menyampaikan pelajaran penting, salah satunya adalah tentang takdir. Dalam hadits Jibril disebutkan bahwa seorang Muslim harus menerima takdir, baik yang baik maupun yang buruk. وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ “Dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim) Lihat: Hadits Arbain Ke 2 – Pengertian Islam, Iman dan Ihsan Kita harus mempersiapkan diri untuk menerima ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Menerima takdir yang baik mungkin tidak menjadi masalah besar, karena hampir semua orang bisa melakukannya. Namun, menerima takdir yang buruk, yang pahit, tidak semua orang mampu melakukannya. Oleh karena itu, perlu ada latihan untuk diri kita, terutama untuk anak-anak, agar mereka bisa menerima kenyataan pahit. Hal-hal yang tidak sejalan dengan harapan adalah bagian dari ujian hidup yang harus diterima dengan sabar dan ikhlas. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita doa untuk menghadapi berbagai keadaan. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata: ْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﻣَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻪِ ﺗَﺘِﻢُّ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕُ ‏» . ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﻣَﺎ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺣَﺎﻝٍ ‏» “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang beliau inginkan, beliau membaca: Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.

    56 min
  9. 10 DEC

    Kesabaran dan Optimisme Nabi Ya’qub

    Kesabaran dan Optimisme Nabi Ya’qub adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 7 Jumadil Akhir 1446 H / 9 Desember 2024 M. Kajian sebelumnya: Takwa Sebagai Kunci Kebahagiaan Dunia dan Akhirat Kajian Tentang Kesabaran dan Optimisme Nabi Ya’qub Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang kisah Binyamin yang ditahan di Mesir. Hal ini merupakan bagian dari rencana yang dibuat oleh Nabi Yusuf, sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: …كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ… “Demikianlah Kami membuat suatu rencana untuk Yusuf.” (QS. Yusuf [12]: 76). Ketika Binyamin tidak bisa pulang bersama saudara-saudaranya ke Kan’an, mereka kembali kepada Nabi Ya‘qub dan memberikan kabar yang membuat Nabi Ya‘qub semakin bersedih. Dalam Al-Qur’an, disebutkan bagaimana Nabi Ya‘qub mengeluhkan kesusahannya kepada Allah. Allah berfirman: قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Ya’qub menjawab: ‘Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui.'” (QS. Yusuf [12]: 86). Pelajaran yang luar biasa dapat kita ambil dari Nabi Ya‘qub ‘Alaihis Salam. Beliau hanya mengeluhkan seluruh kesusahan dan kesedihannya kepada Allah. Ini adalah pengajaran penting bagi kita. Jika menghadapi masalah, sebaiknya kita mengadukannya kepada Allah, bukan kepada manusia. Sebagian dari kita mungkin terbiasa “curhat” kepada sesama, tetapi Al-Qur’an mengajarkan bahwa tempat terbaik untuk mengadu adalah Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Selain itu, dari kisah ini kita juga belajar tentang kesabaran yang luar biasa dari Nabi Ya‘qub. Beliau mengajarkan kepada kita untuk tetap bersabar dalam menghadapi berbagai ujian hidup dengan terus bergantung kepada Allah. Dalam surah Yusuf ayat 83, Nabi Ya‘qub berkata: …فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Maka kesabaran yang baik (itulah kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (QS. Yusuf [12]: 83). Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah pentingnya kesabaran dan sikap optimis. Nabi Ya‘qub mengajarkan untuk selalu berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Meskipun terpisah bertahun-tahun dari Nabi Yusuf, putra yang sangat dicintainya, beliau tidak pernah putus asa. Harapannya kepada rahmat Allah tetap terjaga, sambil terus menanti karunia dan rahmat-Nya untuk mempertemukannya kembali dengan semua anak-anaknya. Subhanallah, inilah bentuk keteguhan hati yang luar biasa. Nabi Ya‘qub menunjukkan kepada kita dua amal yang sangat kuat: kesabaran (shabr) dan harapan (raja’). Harapan yang beliau miliki begitu besar, tanpa sedikit pun pesimisme atau putus asa. Dalam surah Yusuf ayat 87,

    50 min
  10. 10 DEC

    Menanamkan Sifat Amanah pada Anak

    Menanamkan Sifat Amanah pada Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 7 Jumadil Akhir 1446 H / 9 Desember 2024 M. Kajian Tentang Menanamkan Sifat Amanah pada Anak Kita kembali mengkaji fikih pendidikan anak, kali ini memasuki serial ke-202 dengan tema Menanamkan Sifat Amanah pada Anak. Apakah pembahasan ini penting? Jawabannya sangat penting. Mengapa demikian? Karena keimanan seseorang tidak akan sempurna jika ia tidak memiliki sifat amanah. Semakin sempurna amanah seseorang, maka semakin sempurna pula keimanannya. Lalu, apakah orang yang tidak amanah memiliki keimanan yang sempurna? Jawabannya adalah belum. Orang yang tidak amanah, termasuk korupsi, tentu imannya tidak sempurna. Bahkan jika ia rajin shalat lima waktu atau haji berkali-kali. Salah satu tanda kesempurnaan keimanan seseorang adalah apakah ia amanah atau tidak. Ketika kita berbicara tentang korupsi, Indonesia termasuk negara yang memprihatinkan dalam hal ini. Operasi Tangkap Tangan (OTT) seakan tidak pernah berhenti. Ironisnya, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim. Lebih menyedihkan lagi, terkadang pelaku yang di-OTT adalah mereka yang bergelar haji. Na’udzubillahi min dzalik. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Namun, sekadar mengeluh, mengumpat, atau mem-posting keprihatinan di media sosial tidak akan menyelesaikan masalah. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Kita harus menjadi bagian dari solusi, khususnya dalam pendidikan antikorupsi. Bagaimana caranya? Meski kita bukan pejabat, jaksa, atau polisi, kita tetap dapat mencegah korupsi sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing, sesuai dengan wewenang yang kita miliki. Misalnya, sebagai orang tua, kita bisa memulai dengan mendidik anak-anak kita agar memiliki sifat amanah sejak dini. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, kita berkontribusi pada upaya mencegah korupsi di masa depan. Kita semua adalah orang tua. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah mendidik anak-anak agar memiliki sifat antikorupsi sejak dini. Bagaimana caranya? Dengan menanamkan sifat amanah pada anak. Lalu, apa langkah-langkahnya? Ada tiga langkah yang perlu diperhatikan. Mari kita mulai dari langkah pertama. Langkah Pertama, Mencontohkan Sifat amanah Agar anak-anak memiliki sifat amanah sehingga kelak, insyaAllah, jika menjadi pejabat, mereka tidak akan tergoda untuk korupsi, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh orang tua adalah mencontohkan sifat amanah. Siapa yang harus memberi contoh? Tentu orang tuanya. Bagaimana mungkin orang tua bisa mengajarkan anak sifat amanah jika dirinya sendiri tidak amanah? Bagaimana seorang ibu memotivasi anak perempuannya untuk menutup aurat dan memakai jilbab jika ibunya sendiri tidak berjilbab? Jika kita ingin anak-anak kita menjadi baik, maka mulailah dari orang tua. Sebab, anak adalah peniru ulung. Anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya, baik itu hal baik maupun buruk. Misalnya, jika ada anak yang terus-menerus bermain ponsel tanpa mengenal waktu—saat waktu shalat, tidur, atau mengaji—siapa yang menjadi contoh bagi anak tersebut? Kemungkinan besar, anak itu meniru kebiasaan salah satu atau bahkan kedua orang tuanya.

    44 min
4.8
out of 5
341 Ratings

About

Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba Allah dengan cara-cara yang benar.

You Might Also Like

To listen to explicit episodes, sign in.

Stay up to date with this show

Sign in or sign up to follow shows, save episodes and get the latest updates.

Select a country or region

Africa, Middle East, and India

Asia Pacific

Europe

Latin America and the Caribbean

The United States and Canada